Rabu, 26 Juni 2013

Politisasi Media Massa

Politisasi Media Massa
Supadiyanto ;   Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro Semarang,
Dosen pada Jurusan KPI Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 25 Juni 2013


Media massa memiliki relasi sangat kuat dengan terciptanya sejarah dan demokrasi di negeri ini. Sebab, dengan melihat berbagai kliping (koleksi) berita-berita yang sudah disajikan media massa cetak maupun elektronik, kita bisa melihat berbagai realitas politik maupun kenyataan politik yang tersembunyi di balik pemberitaan tersebut.

Pada masa prakemerdekaan, media massa dijadikan alat perjuangan dalam menggelorakan semangat perjuangan mengusir kaum penjajah. Di masa Orde Lama, media massa dikendalikan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan membangun kedigdayaan berbudaya politik. Atmosfer tersebut menciptakan adanya politisasi media massa, di mana setiap partai politik cenderung memiliki media massanya masing-masing. Sedangkan di era Orde Baru, media massa diatur sedemikian rupa (dikekang dan dipolitisir), sehingga mampu menjadi kekuatan ampuh bagi penguasa untuk mendukung legitimasi dan hegemoninya atas publik.

Di zaman Orde Reformasi, media massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Kecenderungan yang terjadi selama ini, malahan para praktisi media massa termasuk para konglomerat media massa di Tanah Air berkeinginan menjadi penguasa politik. Entah dengan bergabung atau mendirikan organisasi politik atau dengan mendeklarasikan keikutsertaannya dalam pesta demokrasi lima tahunan bernama pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilu kepala daerah.

Dari analisis politik, pemilu dan pilkada merupakan agenda lima tahunan yang menjadi ajang pertarungan politik paling nyata antara para politikus, pemilik modal (pebisnis), akademikus, peneliti dan massa. Sah-sah saja para pemilik media massa memiliki kepentingan besar dalam berbagai momentum politik berupa pesta demokrasi. Sebab hajatan politik berupa pemilu dan pilkada, akan mengubah tatanan politik dalam skala nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas, pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan keamanan.

Sangat wajar, para konglomerat media massa berlomba-lomba dalam memberikan dukungan politik maupun finansial kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan jabatan eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan, adanya pergantian atau pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi media massa yang dimiliki.

Kompetisi bisnis antara para konglomerat media massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah perebutan pangsa pasar yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki wilayah pengaruh politik, di mana masing-masing konglomerat media merasa memiliki kepentingan politik untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan media, sekaligus kalau bisa menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan. Sebab pusat-pusat kekuasaan itu sangat efektif dalam mempengaruhi pasar atau masyarakat.

Terjunnya para konglomerat media massa dalam dunia politik, apakah dapat dikatakan akan mengurangi idealisme media massa dan juga berpengaruh negatif pada masa depan politik di Indonesia? Pertanyaan di atas, sangat tepat menjadi bahan penelitian/kajian lintas sektoral, khususnya para peneliti politik, tata negara, hukum dan psikologi komunikasi. Sebab dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalnya Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampungpost dan lain-lain) melalui Partai Nasional Demokrat, dan Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group kini menjadi Menteri BUMN, jelas berpengaruh besar pada kemurnian media massa dalam mencerdaskan publik.

Sebab, pada konteks itu, Media Group akan memiliki "sikap ganda" dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta berita-berita yang dinilai sebagai kontrapolitiknya. Begitu pun dengan Jawa Pos Group, tentu saja akan memiliki "ambiguitas" dalam menentukan sikap ketika mengkritisi keburukan/kekurangan yang dimiliki oleh Dahlan Iskan, Kementerian BUMN dan jajaran di bawahnya.

Dalam teori ekonomi politik media, sebuah gagasan yang dimunculkan oleh kelompok pemikir dari Frankfurt School Jerman, menyatakan bahwa berbagai kebijakan redaksional yang digulirkan oleh perusahaan-perusahaan media massa sangat terdekteksi oleh berbagai kepentingan ekonomi (bisnis) dan kepentingan politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh idealisme dalam mendirikan media massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena persekongkolan (konspirasi) antara para politikus dan pengusaha media massa. Sebab para politikus memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berbagai pemikiran dan gagasannya agar diketahui publik, sedangkan media massa membutuhkan sumber-sumber berita yang mampu menarik minat dari kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa.

Dengan terjunnya para pengusaha media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi media massa tersebut seolah lebur dalam satu pihak. Kini para pengusaha media massa itu sekaligus yang menjadi politikusnya. Artinya, mereka akan menggunakan perusahaan media massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni, menyosialisasikan berbagai manuver-manuver politik maupun nonpolitik yang dimiliki oleh pengusaha media massa yang telah berprofesi ganda menjadi politikus tersebut, untuk merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik media massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera kehidupan bangsa ini, ketika negeri ini dikuasai oleh para politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat media massa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar