Jumat, 28 Juni 2013

Politisi dan Etika Berdemokrasi

Politisi dan Etika Berdemokrasi
Salahudin ;  Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Penulis Buku “Korupsi Demokrasi dan Pembangunan Daerah”
SUAR OKEZONE, 28 Juni 2013



Akhir-akhir ini terdapat fenomena menarik ditunjukkan oleh politisi yang ikut berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Politisi yang kalah di dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) beralih untuk coba berkompetisi di dalam pemilihan legislatif (Pileg) dan atau ikut berkompetisi pada Pilkada di daerah lain. Selain itu, tidak sedikit politisi yang sedang menjabat sebagai menteri, kepala daerah, dan kepala desa ikut berkompetisi di dalam Pileg.  

Pemilihan umum hanya dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Karena itu, bagi politisi, momen pemilihan umum adalah kesempatan berharga untuk diikuti guna mendapatkan kekuasaan. Politisi menentukan strategi dan langkah politik yang dianggap dan dinilai jitu untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak jarang politisi melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan seperti mengabaikan peraturan hukum dan etika politik. Sulit bagi politisi menerima kekalahan dalam pemilihan umum. Ketika politisi kalah dalam kompetisi beragam reaksi yang ditunjukkan seperti ikut kompetisi politik pada tempat lain dan beralih untuk ikut kompetisi pada  bentuk pemilihan umum lain (Pilkada ke Pileg).

Beberapa nama berikut ini adalah sedikit dari banyak nama mantan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kalah pada Pilkada beralih maju pada Pileg, yaitu Mantan calon kepala daerah Tebo Yopi, mantan calon kepala daerah Tanjung Jabung Barat Syafrial, mantan calon kepala daerah Kerinci Ami Taher, mantan calon kepala daerah Pasuruan, Dade Angga, mantan calon wakil kepala daerah Pasuruan Anwar Sadad, mantan calon gubernur NTB, Surya Jaya Purnama ST, mantan calon wakil gubernur NTB Johan Rosihan ST. 

Langkah para politisi di atas tidak ada yang salah karena bagian dari kebebasan individu (politisi) yang dijamin demokrasi. Kebebasan berpolitik, memilih dan dipilih serta menentukan sikap politik adalah hak politisi yang tidak dapat dibatasi dan dihalangi oleh siapapun. Karena itu, syah-syah saja bagi politisi bersikap politik seperti tersebut. 
  
Selain itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2013 memperbolehkan para politisi yang sedang ikut kompetisi pada Pilkada atau sedang menjabat sebagai kepala daerah untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (Caleg). Jaminan demokrasi akan kebebasan memberikan peluang kepada siapapun untuk berkompetisi dalam politik. Pertauran hukum dikeluarkan memperkuat eksistensi politisi dalam mencari dan meraih kekuasaan politik. Pemahaman akan demokrasi seperti ini sangat memungkinkan terciptanya politik aristokrasi. 
  
Menurut Carlton Clymer, politik aristokrasi adalah kekuasaan yang dikuasi oleh sekelompok elit  masyarakat yang mempunyai status sosial, kekayaan dan kekuasaan politik yang besar. Didalam politik Aristokrasi, kekuasaan politik hanya dinikmati oleh satu generasi ke generasi aristokrat yang lain. Bukan tidak mungkin, di tengah sikap politisi yang seperti ini, Indonesia sebagai negara demokrasi beralih menjadi negara aristokrasi seperti yang didefinisikan Carlton tersebut. Secara langsung, aristokrasi adalah politik yang diharamkan di dalam demokrasi. Karena itu, untuk membangun demokrasi sebaiknya sikap politisi dalam berpolitik perlu dibatasi di dalam memanfaatkan momen politik. 
  
Kebebasan demokrasi bukan dalam arti memberikan kebebasan politisi untuk memanfaatkan segala momentum politik. Sikap politisi yang memanfaatkan segala momentum politik dalam waktu yang sama adalah bentuk arogansi politik politisi yang tidak diajarkan di dalam demokrasi. Di dalam demokrasi, kebebasan politik terikat oleh etika politik yang dilandasi nilai keadilan. Nilai keadilan dalam etika politik demokrasi adalah nilai yang mengharuskan politisi untuk mengedepankan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan dengan baik sehingga regenerasi politik dapat dipertanggung jawabkan secara nyata. Kegagalan politik politisi dalam Pilkada kemudian dalam waktu yang sama beralih kepada Pileg memungkinkan rotasi dan siklus kekuasaan berjalan ditempat. Kekuasaan hanya dapat dikuasi oleh sekolompok elit masyarakat.
  
Dalam perspektif etika politik demokrasi, langkah pemerintah memberi legitimasi hukum kepada politisi untuk memanfaatkan kompetisi politik dalam waktu yang sama, adalah bentuk upaya pemerintah menghancurkan demokrasi. Pemerintah berupaya menghidupkan oligarki, aristokrasi dan dinasti politik dalam negara demokrasi. Selain itu, politisi yang berkuasa di dalam legislatif pusat dan daerah sengaja membentuk aturan hukum untuk memperlancar dan mempertahankan kekuasaan pada lingkaran sekelompok elit. Pemerintah (KPU) dan politisi sedang berselingkuh untuk menghianati demokrasi. Pemerintah dan politisi menjadikan demokrasi sekadar retorika dan wacana untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sebaiknya, pemerintah dan politisi berintropeksi diri untuk memahami dosa-dosa politik akan demokrasi. Sudah saatnya politisi menempatkan demokrasi pada tempat yang sebenarnya guna mencapai nilai-nilai ideal yang terkandung didalamnya. 
  
Politisi harus menjaga kewibawaan, integritas, etika dan moralitas berdemokrasi dengan cara menghindari arogansi dalam mencari kekuasaan. Kekalahan pada Pilkada harus diterima baik dengan menunjukkan sikap kedewasaan dan pengormatan terhadap segala nilai ideal demokrasi. Kekalahan harus dipandang sebagai kesempatan untuk menentukan strategi dalam meraih kemenangan Pilkada pada periode berikutnya. Para politisi yang sedang menjabat kekuasaan politik baik sebagai kepala dan wakil kepala daerah, anggota legislatif, dan sebagai kepala desa harus bersabar untuk menjalankan amanah hingga tuntas masa periode kepemimpinan. Beralih meraih kekuasaan lain di tengah menjabat adalah penghianatan terhadap kepercayaan rakyat. Amanah rakyat harus dijalankan dengan tuntas dan penuh tanggung jawab sesuai masa periode yang ditentukan. Dengan seperti ini, demokrasi akan terwujud dengan baik dan dapat dirasakan oleh masyarakat akan eksistensinya sebagai sistem politik dan pemerintahan. 
  
Pada sisi lain, masyarakat sebagai pemilih harus mengedepankan sikap kritis obyektif dalam politik. Masyarakat harus menghidari politisi-politisi yang hanya mencari kekuasaan tanpa tujuan untuk memberdayakan kehidupan rakyat. Tanpa langkah aktif dan kritis obyektif dari masyarakat, demokrasi tetap menjadi simbol politik bagi negara tanpa makna politik berkeadaban untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Selain itu, demokrasi hanya menjadi sarana bagi sekelompok elit dalam mempertahankan kemapanan politik untuk kepentingan pragmatis tanpa makna baik bagi kehidupan rakyat seutuhnya. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dan kritis obyektif dalam memilih politisi sehingga lahir pemimpin yang bertanggungjawab, profesional, visioner, dan berbudaya untuk masa depan bangsa dan negara yang lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar