Rabu, 31 Juli 2013

Remisi = Hak, Bukan Hadiah, Bukan Pencitraan

Remisi = Hak, Bukan Hadiah, Bukan Pencitraan
Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar Emeritur Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
          KORAN SINDO, 31 Juli 2013



Pada 1960-an Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan politik hukum dalam pelaksanaan hukum pidana dengan mengadopsi Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1955) yang disesuaikan dengan filsafat pengayoman yang disebut pemasyarakatan. 

Konsep pemasyarakatan dilandaskan pada 10 prinsip dijiwai oleh Pancasila sebagai filsafat hidup manusia yang telah diakui pendiri negara ini di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada 1995 Pemerintah dan DPR RI ketika itu sepakat menetapkan politik pembinaan narapidana berdasarkan Sistem Pemasyarakatan sebagaimana diwujudkan dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU PAS 1995). 

Penulis sejak 1975 sampai 1979 turut serta melakukan penelitian ke 365 lembaga pemasyarakatan (lapas) ketika itu di seluruh Indonesia dan dihasilkan suatu Manual Pemasyarakatan sebagai embrio UU PAS 1995. 

Sejak pemberlakuan UU PAS 1995, selama 17 tahun sampai perubahan orientasi kebijakan pelaksanaan pidana oleh Pemerintah SBY dengan penerbitan PP terakhir Nomor 99 Tahun 2012 khusus untuk narapidana tertentu pemberian remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat dikecualikan berbeda dengan narapidana lain atas dasar jenis tindak pidana yaitu terorisme, korupsi, dan narkoba. Selama 17 tahun pelaksanaan UU Pemasyarakatan diakui tidak lepas dari ekses-ekses negatif selama narapidana menjalani hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan. 

Anggaran Kementerian Kehakiman sejak dulu sampai perubahan nama menjadi Kementerian Hukum dan HAM, khusus untuk Ditjen Pemasyarakatan, selalu meningkat dan merupakan anggaran terbesar di antara unit pelaksana teknis lain dalam lingkungan kementerian tersebut. Penambahan pembangunan lapas baru tentu menambah besar anggaran kementerian tersebut. 

Sedangkan jika dibandingkan dengan sistem kekuasaan kehakiman khususnya dalam proses judisial, tidak ada pembatasan jenis perkara yang masuk ke sistem peradilan pidana. Dengan begitu, alur keluar-masuk penghuni lapas relatif seimbang, bahkan lebih banyak yang masuk daripada yang bebas. Salah satu bukti dari kondisi ini adalah penghuni lapas melebihi kapasitas terutama di kota-kota besar dan di antaranya Lapas Tanjung Gusta, tempat di mana kebakaran dan kaburnya sejumlah narapidana dan hangusnya sejumlah dokumen lapas. 

Pertimbangan Pemerintah SBY untuk mengeluarkan PP pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu salah satunya alasan keamanan dan aspirasi masyarakat terutama terhadap narapidana korupsi. Pengetatan pemberian remisi yang intinya pembatasan waktu narapidana untuk dapat bertemu keluarganya dan memasuki kehidupan bermasyarakat dipandang dari sudut narapidana sebagai penundaan hak memperoleh remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat sesuai UU PAS 1995. 

Namun, jika kebijakan tersebut hanya karena alasan-alasan tersebut di atas sehingga negara harus memperketat pemberian remisi, dipandang tidak adil bila saja pemerintah mau mempertimbangkan jasa-jasa narapidana terlepas dari jenis kejahatannya. Ini bisa dilihat ketika mereka mau berkorban untuk ikut menangani bencana alam dan menjadi donor PMI, aktif menyukseskan pemilu apalagi jumlah seluruh narapidana dan tahanan total pada 29 Juli 2013 mencapai 16.0765 orang, termasuk narapidana narkoba, terorisme, dan korupsi. 

Dari sudut perundang-undangan, dalam praktik sering terjadi perubahan atau pencabutan suatu undang-undang termasuk perubahan kebijakan dalam pembinaan narapidana, tetapi perubahan atau pencabutan harus disertai justifikasi baik dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis, maupun komparatif. Dengan begitu, perubahan atau pencabutan UU tersebut tidak menimbulkan keresahan khusus di kalangan narapidana dan bersifat kontra-produktif. 

Fakta materiil membuktikan bahwa kebijakan tersebut tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor, pelaku terorisme, dan narkoba. Sebaliknya, semakin meningkatkan koruptor baru, generasi teroris, serta pelaku dan korban baru narkoba. Ketidakjelasan visi perubahan kebijakan pemerintah dalam pemberian pengetatan remisi terhadap narapidana tertentu semakin nyata ketika peristiwa Lapas Tanjung Gusta mampu mengubah seketika kebijakan tersebut dengan penerbitan SE Menkumham Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013. 

Aturan itu menegaskan bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak berlaku surut terhadap narapidana yang putusan pidananya telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesudah 12 November 2013. Perubahan kebijakan pemerintah yang mengikuti situasi ini sudah tentu oleh kalangan tertentu masyarakat dipandang inkonsistensi, bahkan cenderung dianggap setback. 

Sesungguhnya perubahan kebijakan tersebut menangkap aspirasi sekelompok narapidana tertentu terhadap pemberlakuan PP 99 Tahun 2012 yang dianggap tidak adil sehingga gejolak yang lebih besar akan muncul jika tidak ada perubahan kebijakan sebagaimana tertuang dalam SE menteri hukum dan HAM. Jangankan pandangan seseorang yang dapat berubah-ubah tergantung situasi yang dihadapi; seorang menteri saja dapat mengubah kebijakan yang berdampak luas terhadap nasib pembinaan narapidana di lapas. 

Seingat saya, seorang Albert Einstein yang jenius itu tidak percaya pada Tuhan selama hidupnya kemudian mengakui keberadaan-Nya ketika akan mengembuskan nafas terakhir. Apakah sikap seperti itu dianggap inkonsisten atau sejalan dengan pengaruh situasi lingkungan dan sejalan dengan perkembangan evolusioner biologis dan psikologis umat manusia? Sejak 2011–2013 saya telah menulis lima artikel tentang remisi, tapi tidak sedikit pun kata-kata saya menegaskan remisi terhadap koruptor harus dihapus. 

Tetapi, jelas saya katakan bahwa wacana penghapusan remisi masuk akal, tetapi harus dipertimbangkan ketentuan Standar Internasional tentang Minimum Perlakuan Narapidana Tahun 1955. Duplik Saudara Zamrony dalam KORAN SINDO pada 30 Juli 2013 terhadap artikel saya tidak ada yang baru dan signifikan jika dibandingkan dengan tulisan yang bersangkutan sebelumnya sehingga tentu memerlukan diskusi terbuka yang sangat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa fakultas hukum semester III. 

Yang jelas pengabdian saya selaku ilmuwan selama 40 tahun dan birokrat tidak sama dengan plesetan yang ditulis Saudara Zamrony dengan mengutip pendapat Saudara Mahfud MD (Tahun?): “menurut plesetan Profesor Mahfud MD, makna orisinal artinya ‘yang berpendapat bukan sesuai pendapatan dan berlogika bukan sesuai logistik’”. Kami berdua, Saudara Mahfud MD dan saya, saling menghormati satu sama lain sebagai sesama kaum intelektual. 

Dengan begitu, apa yang dikutip tersebut tidak berlaku pada diri saya dan plesetan itu mungkin cocok pada sebagian kawan-kawan pejuang antikorupsi seperti kasus ayat tembakau. ●

Koruptor Membasmi Koruptor

Koruptor Membasmi Koruptor
Dharma Pongrekun  ;  Dosen Utama STIK/PTIK
          KORAN SINDO, 31 Juli 2013



Begitu marak tayangan mengenai koruptor di media elektronik dan media cetak selama ini, namun yang mengherankan adalah melihat perilaku mereka yang seolaholah tidak bersalah, malahan selalu tersenyum di depan kamera wartawan. 

Koruptor atau dapat diidentikkan dengan maling memang hanya di Indonesia saja yang berlagak seperti selebritas, selalu dikejar wartawan. 

Masalah korupsi memang sangatlah sensitif untuk dibicarakan. Korupsi di Indonesia bukan lagi membudaya, melainkan lebih dari itu, sudah menjadi seni berkorupsi, bahkan hampir menjadi bagian dari lifestyle. Kalau kita kaji secara etimologi saja, asalkata“korupsi” berasaldari bahasaLatin,“corruptio” dari kata kerja “corrumpere” yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok.

Artinya adalah serangkaian tindakan pejabat publik, baik pejabat politik maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diamanahkan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Definisi korupsi, menurut Purwadarminta, adalah tindakan menyalahgunakan jabatan yang mengakibatkan kerugian negara. 

Dampak dari definisi yang seperti ini, apabila seorang pejabat melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan jabatannya, tapi tidak merugikan negara, tidak bisa dikatakan korupsi. Praktik seperti inilah yang menjadi korupsi terselubung, yang tidak bisa dituntut secara hukum, karena tidak dikategorikan merugikan negara. Tetapi, bila kita menggunakan definisi korupsi yang dikeluarkan WHO, yang dalam salah satu kalimatnya disebutkan bahwa yang masuk perbuatan korupsi bila mengandung unsur “mengambil yang bukan haknya”, praktik di atas termasuk kategori korupsi. 

Harus kita akui bersama bahwa memberantas korupsi di Indonesia tidaklah mudah karena sudah mendarah daging, juga diperparah karena justru akar masalahnya ada pada para aparatur negara kita sendiri. Dari data yang ada di KPK, pelaku korupsi di Indonesia sebesar 90% aparat negara mulai dari atas sampai yang paling bawah. Mulai pejabat kementerian, lembaga pemerintahan pusat, sampai petugas di kampung-kampung melakukannya. 

Sedangkan sisanya 10% dilakukan oleh swasta. Korupsi berakibat pada penurunan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah. Politisi dan pegawai negeri yang masuk kelompok elite saja bersikap korup. Rakyat kecil pun tidak memiliki alasan untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan bagi dirinya sebab yang dijadikan panutan memberikan keteladanan yang buruk. Para koruptor tidak mungkin akan memperjuangkan kebenaran dan keadilan karena itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk melakukan korupsi. 

Korupsi pasti akan menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang memberikan suap/sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan kepentingan masyarakat. Orangorang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri yang sebenarnya koruptor yang sesungguhnya. Korupsi dapat mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. 

Saat ini sudah terbentuk jaringan korupsi (corruption network) meliputi birokrat, politisi, aparat penegak hukum, aparat keamanan negara, perusahaan-perusahaan negara dan swasta tertentu, serta lembagalembaga hukum, pendidikan, dan penelitian yang seolah-olah terkesan “ilmiah” terhadap apa yang merupakan kebijakan jaringan itu. Katakanlah semacam mencari pembenaran. Jaringan itu bisa berlingkup regional dan nasional bahkan internasional sekalipun. 

Dengan demikian, para pelaku praktik korupsi atau koruptor itu tidak hanya sekadar meraup uang negara, tapi juga akan mengemas hasil korupsinya dengan lebih cantik agar KPK pun susah membedakan aliran dana antara yang haram dan halal dengan cara dicuci supaya terlihat seperti bersih. 

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa sebenarnya koruptor adalah seseorang atau sekelompok orang yang selalu mengatakan kami telah banyak berjuang untuk rakyat, sementara yang mereka perjuangkan adalah sebaliknya. Mereka dapat mengangkat sekaligus memberhentikanseorang pejabat sesuka hatinya dengan alasan kebutuhan organisasi. Mereka selalu berusaha membuat peraturan perundang-undangan yang katanya untuk kepentingan rakyat. 

Mereka selalu berpikir praktis kalau korupsi mudah dilakukan, tetapi sulit dibuktikan karena mereka memang orang yang mempunyai intelektual tinggi dan berkuasa baik itu orang kaya maupun pejabat. Sebab itu, mana mungkin korupsi bisa dilakukan oleh orang bodoh, miskin, dan rakyat jelata kalau tidak atas arahan yang punya kemampuan tersebut di atas. 

Belakangan ini mereka bahkan selalu tampil di hadapan rakyat bak malaikat pencabut nyawa baik melalui media elektronik, cetak, ataupun jejaring sosial dan menasihati rakyat untuk tidak ikut-ikutan melakukan korupsi seperti dirinya karena akan dibasmi apabila tidak seiring sejalan dengannya. Itulah sebabnya, kejahatan seperti itu disebut white color crime (kejahatan kerah putih).

Demikianlah fakta dari penegakan hukum yang sering terjadi, di mana koruptor yang lebih berkuasa membasmi koruptor yang lebih lemah berdasarkan hierarki saja. Langsung ataupun tidak langsung hal seperti inilah yang akan menjadi celah seorang pemimpin kehilangan kewibawaannya, bahkan tidak mustahil dapat menimbulkan pemberontakan anak buah bahkan rakyat sekaligus. 

Mereka tahu persis apa yang telah dan sedang dilakukan atasannya atau penguasa negeri (aparatur negara), tapi dengan kekuasaan mereka bertindak seolah-olah menertibkan anak buahnya ataupun rakyatnya, padahal saat yang sama mereka sedang melakukan perbuatan koruptif. Korupsi selalu akan terjadi apabila para penguasa meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat yang dilayaninya. 

Bagaikan roman picisan saja. Sungguh amat memalukan karena hanya berani menindas yang lemah, sementara untuk menertibkan dirinya saja mereka tidak mampu. Akhirnya tindakan para penguasa dapat saya kategorikan sebagai kleptokrasi yang arti harfiahnya adalah pemerintahan oleh para pencuri. Mereka pura-pura bertindak jujur dan dari dulu sampai sekarang mereka hanya senang berwacana tentang suatu “perubahan”, tapi tidak sungguh-sungguh mau mewujudkannya. 

Wacana yang dikumandangkan hanyalah untuk pencitraan, ibarat pakaian indah yang menutupi aurat. Saat ini sering kita hidup dalam euforia kata-kata yang indah, tapi tidak dalam perilaku yang benar. Akhirnya hukum pun diperkosa dengan indahnya oleh mereka yang punya uang dan yang miskin ditindas adalah fakta yang tidak bisa dibantah. 

Bahkan masih terlalu banyak koruptor yang tidak tersentuh hukum karena satu kejahatan mengawasi kejahatan yang satunya. Pejabat yang satu mengawasi satu pejabat lain sesuai hierarkinya. Tidak adil rasanya apabila menguji moral seseorang, tapi diuji oleh orang yang moralnya lebih rendah hanya karena jabatannya lebih tinggi. 

Namun, bagi kita generasi muda, tidakadaistilahmenyerah karena tidak ada pilihan lain kecuali memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya dan sesuatu yang harus kita perjuangkan. Apalagi wabah korupsi di Indonesia saat ini sudah menjadi penyakit mematikan yang sulit untuk disembuhkan, pemberantasannya harus dilakukan secara masif. Justru yang kita hadapi adalah mereka yang sedang diberi kekuasaan oleh rakyat, tapi sedang mabuk oleh hawa nafsu. 

Jika orang yang tidak berakhlak memerintah dan rakyat menerima; apabila segala sesuatu menjadi korup, tetapi mayoritasnya diam saja karena bagian untuk mereka sedang menunggu, kehancuran bangsa adalah buahnya. Apalagi kalau pemimpin yang ada sudah tidak bisa dihargai lagi. Kita membutuhkan kehadiran pemimpin yang benar, bukan hanya banyak bicara yang bagus, tapi tidak memberi keteladanan dalam kehidupannya atau dia sendiri koruptor. 

Yakinlah kalau di atas rapi dan tertib, pastilah yang di bawah akan tertib dan rapi juga. Ibarat kita mandi kalau mau bersih “Ya bilaslah mulai dari kepala, bukan cuma cuci tangan...” seperti yang selalu terjadi selama ini. Memberantas korupsi tidaklah bisa hanya slogan semata atau wacana, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri di mana seseorang harus berani berkata “tidak” terhadap perilaku koruptif sekalipun kesempatan itu ada dan tentu harus tangguh menghadapi corruptor fight back dengan segala risikonya. 

Keberanian seperti itu penting untuk dimiliki karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya, kemudian memastikan generasi-generasinya tetap bersih dan memusnahkan budaya-budaya yang mengindikasikan korupsi. Semua langkah pemberantasan korupsi di atas harus diiringi dengan menumbuh kembangkan budaya zero tolerance to corruption. 

Mari generasi muda bangsa kita bersatu untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara ini, mulai dari diri kita sendiri, keluarga, teman, dan lingkungan sekitar untuk memberantas kasus korupsi yang sudah menjadi wabah penyakit menular di negara tercinta ini supaya negara Indonesia bebas dari para koruptor. 

Semoga dengan optimisme yang kuat dan motivasi yang tulus dalam diri kita serta jalinan kerja sama yang saling menguatkan kita dapat memberantas para koruptor di negara Indonesia tercinta ini. Amin!!!

Mencari Figur Pemimpin Bangsa

Mencari Figur Pemimpin Bangsa
Nicolaus Uskono  ;  Dosen Ukrida, Asekma Don Bosco, dan Perbanas Jakarta,
Wakil Sekjen DPP Perindo
          KORAN SINDO, 31 Juli 2013



Akhir-akhir ini wacana tentang figur pemimpin bangsa yang ideal menjadi hot topic dalam berbagai media, baik media cetak, televisi, maupun media online. 

Wacana tersebut mengkristal dalam satu pertanyaan klasik: siapakah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang layak memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan (2014-2019)? Dalam konteks tersebut, sejumlah lembaga survei “rajin” membuat survei yang hasilnya memunculkan elektabilitas sejumlah tokoh masyarakat sekaligus menjadi semacam cermin kelayakan tokoh-tokoh tersebut memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan. 

Setiap lembaga survei tentu saja memiliki panduan, kriteria, dan tolok ukur tersendiri dalam melakukan survei. Para responden yang dipilih pun tentu saja memiliki kriteria dan tolok ukur tertentu dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan lembaga-lembaga survei. Pertanyaannya: apakah hasil survei sejumlah lembaga survei tersebut sudah cukup menjadi tolok ukur untuk menentukan siapa tokoh yang layak memimpin bangsa Indonesia lima tahun ke depan? 

Tentu saja tidak! Sebab pertanyaan yang diajukan lembaga survei tentu saja sangat sederhana dan tidak bisa secara komprehensif menyentuh esensi nilai-nilai kepemimpinan dalam tataran kepemimpinan presiden dan wakil presiden. Ada nilai-nilai lain yang lebih urgen yang secara inheren melekat dalam kualitas kepemimpinan calon presiden dan wakil presiden. Berkaitan dengan itu ada pendapat yang mengatakan, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang alchemist. 

Menurut Bill Torbert dkk dalam bukunya Action Inquiry (2004), pemimpin alchemist adalah pemimpin yang memiliki standar moralitas yang tinggi, berpartisipasi dalam transformasi pada aneka bidang kehidupan, serta menjadi simbol dan role model bagi banyak orang dalam behavior/perilaku. Dia juga dapat membangun komunikasi yang lebih menyapa dengan mereka yang dipimpinnya dan dengan publik, dapat mencapai target jangka pendek dan target jangka panjang. Ia juga mampu menciptakan momen-momen khusus/bersejarah dalam lembaga yang dipimpinnya. 

Seorang pemimpin alchemist juga harus menjadi motor perubahan dalam organisasi yang dipimpinnya. Ia harus mampu membawa perubahan dalam organisasinya secara extra ordinary dan simultan dalam berbagai tingkatan. Ia menghapus tradisi dan kebudayaan lama yang menghambat proses perubahan menuju kesuksesan. 

Sistem dan kultur usang diganti dengan sistem dan kultur yang lebih sesuai kondisi aktual. Kecuali itu, ia melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan semua pihak untuk menghasilkan cara-cara kerja baru dengan dukungan pengetahuan baru.

Figur Pemimpin Bangsa Alchemist 

Seorang calon presiden dan wakil presiden haruslah seorang pemimpin alchemist. Untuk itu, calon presiden dan wakil presiden haruslah memenuhi beberapa kriteria pokok berikut: Pertama, harus memiliki moralitas yang tinggi. Artinya seorang calon presiden dan wakil presiden harus menjadi model bagi rakyat dalam berperilaku. 

Moralitas seorang pemimpin bangsa antara lain tercermin dari watak dan kepribadiannya yang tidak mempraktikkan pola kepemimpinan yang ber-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Berkaitan dengan itu, seorang pemimpin bangsa harus rela dan ikhlas untuk menyingkirkan zona “kenyamanan” lama yang tidak produktif, dan bahkan berpotensi membuka peluang terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Kedua, seorang calon presiden dan wakil presiden harus menjadi motor perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, seseorang yang mau mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden harus terbukti telah berpartisipasi dalam transformasi dalam aneka bidang pembangunan, terbukti melakukan perubahan secara extra ordinary dan simultan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dengan begitu, jika ia terpilih kelak, ia akan menjadi penggerak perubahan, memberikan spirit perubahan tiada henti kepada rakyat untuk terus bekerja dan berusaha menciptakan kondisi bangsa dan negara menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ketiga, seorang calon presiden dan wakil presiden harus mampu membangun komunikasi yang lebih menyapa dengan rakyat. Artinya, pemimpin harus mampu mendengarkan dengan hati segala keluhan dan kebutuhan rakyatnya. Meminjam istilah Presiden Barack Obama, seorang calon kepala negara haruslah “listen to the people”. 

Keempat, seorang calon pemimpin bangsa harus memiliki visi pembangunan bangsa secara jelas, tegas, dan terintegrasi. Sekali lagi, meminjam istilah Obama, seorang pemimpin harus “provide an inspiring vision”. Selanjutnya ia mengomunikasikan visi tersebut dengan semua lembaga negara dan lembaga pemerintahan sehingga mereka secara total dan utuh mampu memahami dan menerima visi tersebut dengan hati gembira dan tanpa beban. 

Ia juga mengomunikasikan visi tersebut kepada seluruh rakyat sehingga rakyat memahami dan selanjutnya mendukung implementasi visi tersebut dalam caranya masingmasing. Singkat kata, seorang calon presiden dan wakil presiden harus mampu menunjukkan kepada publik bahwa ia seorang pemimpin alchemist yang mampu membawa perubahan secara unik dan fenomenal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berani melakukan perubahan secara extra ordinary dan simultan dalam berbagai bidang kehidupan dan memperbaiki semua kejadian buruk masa lampau dalam lingkup berbangsa dan bernegara. 

Calon presiden dan wakil presiden harus tampil sebagai motor perubahan yang andal yang terus-menerus menggerakkan rakyat untuk bekerja dan berusaha menuju kehidupan yang lebih bermartabat. ●

Pemilu Kamboja, Indonesia dan ASEAN

Pemilu Kamboja, Indonesia dan ASEAN
Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
          KORAN SINDO, 31 Juli 2013



Penduduk Kamboja adalah saudara yang perlu kita rengkuh menuju Komunitas ASEAN 2015 dan visi ASEAN 2020, yakni visi menuju masyarakat bersama yang saling asih dan asuh dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan sosial. 

Dengan posisinya di Indochina dan status ekonomi yang relatif sangat miskin, Kamboja mencari mitra dan patron kerja sama yang bisa membimbingnya ke posisi lebih terhormat dalam politik global. Di sana-sini investasi besar yang terlihat di negeri ini adalah dari China. Alasannya praktis saja, kebetulan secara ideologi mereka pernah sejalan dan negara ini masih terlalu miskin dan penduduknya kecil untuk bisa dianggap cukup menarik bagi investor asing lain untuk masuk. 

Ini yang sedang berusaha diubah oleh Kamboja. Di antara negara-negara ASEAN, Pemimpin Kamboja, yaitu Perdana Menteri Hun Sen, termasuk pemimpin yang paling lama memerintah pada dekade terakhir ini di luar Kesultanan Brunei. Ia terpilih menjadi perdana menteri pada 1985 atau kurang lebih 28 tahun lalu. Ia juga adalah salah satu dari pemimpin yang merasakan kejamnya masamasa Perang Dingin yang ditandai dengan kompetisi politik antara Sosialisme dan Kapitalisme. 

Para pemimpin negara lain yang pernah hidup di masa itu seperti Soeharto, Mahathir Mohammad, Fidel Ramos, atau Lee Kuan Yew telah lama mundur dari kancah politik formal. Hal ini membuat Hun Sen sebagai pemimpin paling senior bersama dengan Sultan Hassanal Bolkiah di negara-negara ASEAN. Dengan predikat tersebut, tidak heran apabila pemilihan umum di Kamboja menjadi perhatian banyak pihak. 

Masyarakat internasional menanti apakah pemilu di Kamboja akan memenuhi indikator-indikator demokrasi yang ditandai dengan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil atau justru sebaliknya. Harapan itu sebetulnya juga adalah harapan Hun Sen. Dalam zaman yang berubah, legitimasi politiknya baik di dalam negeri atau di luar negeri sangat ditentukan oleh proses dan hasil pemilu. Pemilu adalah investasi yang harus ia lakukan untuk mendapatkan insentif dari berbagai pihak untuk melanjutkan kepemimpinannya. 

Dalam konteks saat ini, di mana kebergantungan satu negara relatif tidak lagi terkait secara ideologis dengan negara lain dan kenyataan bahwa semua negara terintegrasi dalam sistem pasar, maka investasi dalam pemilu adalah sebuah keharusan. Acemoglu dan Robinson dalam teorinya tentang transisi politik yang mengacu pada pengalaman negara-negara Eropa Utara dan Latin Amerika, menyimpulkan investasi pemilu bersifat irreversible atau tidak dapat kembali lagi ke keadaan yang lama. 

Situasi di Mesir sedikitnya mengonfirmasi teori itu bahwa ketika militer melakukan kudeta, maka jalan lain yang harus ditawarkannya adalah mengulangi lagi pemilihan umum. Kondisi serupa juga terjadi pada saat militer melakukan kudeta pada kekuasaan Thaksin pada 2006. Elite militer yang melakukan kudeta menawarkan kembali pemilihan umum dan harus menerima hasil bahwa Yingluck Shinawatra, adiknya, menjadi perdana menteri Thailand. Temuan serupa juga didapatkan oleh Mario Chacon yang menganalisis transisi demokrasi negara-negara dari tahun 1972 hingga 2008. 

Ia menyimpulkan pemilu di dalam sebuah rezim yang dianggap tidak demokratis akan cenderung membuat elite rezim itu untuk bersikap lebih toleran terhadap demokrasi di masa mendatang. Karena pemilu adalah sebuah Sunk Costatau irreversible dalam istilah Acemoglu. Untuk itulah, pemerintah Kamboja melakukan ”investasi” berisiko tinggi dalam pemilu 28 Juli 2013. Partai pendukung Hun Sen yaitu CPP, menempuh jalur demokrasi terbuka untuk validasi kepemimpinannya lima tahun ke depan. 

Pemilu ini diawasi oleh 291 pemantau asing dari hampir seluruh negara dunia termasuk Azerbaijan, Hungaria, Turki, Amerika Serikat, Indonesia, Vietnam, China, Filipina, Korea Selatan, Jepang, dan masih banyak lagi. Media asing bebas berkeliaran di segala sudut. CPP realistis melihat situasi zaman sekarang sehingga melakukan redistribusi aset politik dengan mengundang Sam Rainsy untuk berkampanye bagi partainya CNRP. 

Kelompok oposisi terlihat sangat antusias. CNRP tidak menyia- nyiakan kesempatan mendapatkan ”panggung politik” dengan kehadiran Sam Rainsy. Meskipun hanya punya waktu 10 hari untuk berkampanye dan belum punya kesempatan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena pendaftaran caleg sudah lama berlalu, Sam Rainsy yang sangat fasih berbahasa Inggris ini telah memesona media asing. Ke manapunia pergiselalu dibuntuti media asing, bahkan sampai ada yang ikut satu mobil dengannya. 

Gaung kampanye partai politik oposisi yang lain langsung lenyap di balik ramainya sorak-sorai pendukung Rainsy. Situasi kampanye pendukung Rainsy jauh lebih ekspresif dibandingkan kampanye partai lain. Tetapi di sisi lain, bahkan pihak Sam Rainsy pun (yang tergolong terdepan di antara kelompok oposisi) sampai petang menjelang pemilu, pun pesimistis bisa menang dalam pemilu ini. Konsentrasi kampanye mereka adalah untuk mengkritik segala bentuk intimidasi dan kecurangan yang disinyalir dilakukan dan direncanakan secara sistematis oleh CPP. 

Tak ada pembicaraan soal apa program CNRP pascapemilu, atau bahkan apakah ada kemungkinan mereka mau berkoalisi membentuk kabinet bersama jika ternyata CNRP memenangkan kursi tambahan di parlemen. Perlu diketahui sistem pemilu di Kamboja adalah perwakilan proporsional. Artinya kemungkinan penambahan kursi bagi partai yang lebih kecil pun sangat dimungkinkan, karena kursi dibagikan secara proporsional sesuai peroleh suara di daerah pemilihan. CNRP terus menepis kemungkinan berpeluang menang. Hasilnya ternyata di luar dugaan kelompok oposisi. 

Dengan penghitungan suara yang terbuka, disaksikan publik yang bebas merekam prosesnya dengan telepon seluler, CNRP menang cukup telak di sejumlah daerah pemilihan. Sementara partai-partai oposisi lain hampir tidak ada yang memilih. Artinya telah terjadi polarisasi dukungan hanya pada dua partai, yakni CPP dan CNRP. Inilah yang membedakan kondisi Kamboja dengan Pemilu 1999 di Indonesia. 

Indonesia ”direpotkan” oleh urusan multipartai dan koalisi antarpartai, sementara di Kamboja hal tersebut bukan isu. Untuk itu, prospek tata kelola pemerintahan pascapemilu Juli 2013 di Kamboja sangat ditentukan oleh kedewasaan para pemimpin partai dalam menjaga iklim demokrasi pascapemilu. Semogamerekamencari penyelesaian lewat jalur legislasi yang mengayomi semua aliran politik yang ada dan menghindari penggunaan kekerasan dalam wujud apa pun dalam berpolitik. 

Pemilu di Kamboja adalah sebuah investasi politik yang sangat berharga bagi negara yang pernah mengalami masa suram Perang Dingin. Siapa pun pemenangnya dalam pemilu, tidak akan dapat lagi menggunakan cara-cara represi atau intimidasi seperti yang terjadi pada dekade lalu karena hal itu merugikan mereka. Pengalaman negara lain juga membuktikan pemilu membuat elite menjadi semakin toleran terhadap demokrasi. 

Tugas Indonesia dan ASEAN adalah meyakinkan dan menjaga bagaimana agar para pemimpin yang terpilih tidak terprovokasi pihak-pihak luar yang mencoba intervensi dalam proses transisi menuju masyarakat Kamboja yang lebih demokratis. Ini bagian dari pencapaian cita-cita bersama dalam komunitas ASEAN. ●

KPK, Tipikor, dan Pencucian Uang

KPK, Tipikor, dan Pencucian Uang
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Unpad
          KOMPAS, 31 Juli 2013

Harian Kompas, 27 Juli 2013, menerbitkan artikel kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ”KPK dan Pencucian Uang”, yang intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, een ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI.

Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan”. Penjelasan ini menguatkan keyakinan penulis bahwa prinsip itu tidak berlaku bagi jaksa yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Ayat tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK.

Pasal 39 Ayat (2) antara lain menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah (pemimpin KPK) dan bertindak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan perintah jaksa agung dan untuk dan atas nama Kejaksaan. Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas bahwa sepanjang mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan tak berlaku bagi jaksa penuntut umum KPK.

Dalam konteks ini, kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan wewenang penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui juga bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak berwenang menuntut TPPU.
Menurut penulis, rumusan terbaik dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.

Ketentuan Pasal 51 Ayat (3) UU KPK yang dirujuk kepala PPATK dalam artikelnya itu tidak ada hubungan dengan prinsip ”satu dan tidak terpisahkan”, sejalan dengan ketentuan yang memberhentikan sementara, antara lain, jaksa penuntut umum dari instansi Kejaksaan (Pasal 39 Ayat (2) UU KPK).

Makin jauh

Jika pandangan kepala PPATK bahwa hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan maupun yang di KPK, dan kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU TPPU mengacu pada hal yang sama, maka dalam pemberantasan korupsi dan TPPU, ada dua jaksa agung: jaksa agung pada Kejaksaan dan ”jaksa agung” pada KPK. Makin jauhlah prinsip ”satu dan tidak terpisahkan” dalam penuntutan.

Pada Pasal 68 UU TPPU tersua ungkapan ”kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini”. Kata ini harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU TPPU, bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK. Arah Pasal 68 UU TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian pada Pasal 68 UU TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan penyidik KPK, Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak termasuk wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.

Pasal 75 UU TPPU hanya memberi mandat kepada penyidik asal untuk menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan penuntutan. Tidak ada satu pun penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU TPPU 2010 yang memuat penjelasan kepala PPATK dalam artikel itu sehingga menjadi tanda tanya apakah kekosongan hukum pada wewenang KPK untuk melakukan penuntutan TPPU merupakan kekeliruan atau kelalaian atau mungkin kesengajaan tim penyusun UU TPPU tahun 2010.

Coba bandingkan dengan wewenang penyidik dan penuntut dalam UU No 30/2002 tentang KPK (Pasal 38 jo Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51) yang tegas dan jelas memberi mandat kepada penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK dalam perkara tipikor. UU KPK adalah UU mengenai Kelembagaan atau UU Organik. Begitu pula UU Pengadilan Tipikor sehingga pemberian kewenangan yang diperluas seharusnya dimasukkan di dalam UU tersebut. Tidak pada UU lain yang tak ada kaitan dengan pengaturan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kelembagaan.


Putusan MK terhadap Bab VII UU KPK di bawah titel ”Pemeriksaan di Sidang Pengadilan” yang memuat pembentukan Pengadilan Tipikor dan kewenangannya telah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 karena tidak ada jaminan kepastian hukum. Akhirnya ditetapkanlah UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor. Perluasan wewenang penuntutan KPK dalam perkara TPPU hanya diatasi dengan melakukan perubahan terhadap UU KPK. ●

Ihwal Revisi UU Pilpres

Ihwal Revisi UU Pilpres
Saldi Isra ;  Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang
          KOMPAS, 31 Juli 2013

Perdebatan seputar ambang batas persentase pengajuan calon presiden dan wakil presiden kembali menjadi isu sentral. Sebagai perdebatan yang nyaris tak bertepi, perkembangan paling mutakhir: masalah ambang batas dalam UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden benar-benar membelah posisi partai politik di DPR.

UU No 42/2008 menentukan batas minimal persentase yang mesti dipenuhi parpol peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini, Pasal 9 menyatakan pasangan calon hanya dapat diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi syarat: meraih kursi minimal 20 persen di DPR atau minimal 25 persen suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Dengan batasan itu, pada salah satu sisi, sebagian parpol dengan jumlah kursi menengah ke bawah menghendaki legislative review guna mengurangi persentase ambang batas ini. Di sisi lain, dengan menggunakan dalil guna memperkuat sistem pemerintahan presidensial, tanpa keraguan, semua parpol yang berada dalam kelompok menengah ke atas menolak menurunkan persentase ambang batas dalam UU No 42/2008.

Tidak tepat

Diletakkan dalam konteks pembaruan dan peningkatan kualitas pemilu presiden dan wakil presiden, penolakan untuk penurunan ambang batas benar-benar menutup upaya merevisi UU No 42/2008. Padahal, di luar persoalan ambang batas, disadari bahwa sebagian substansi UU No 42/2008 masih perlu diperbaiki. Apalagi, pilihan penolakan dengan alasan memperkuat sistem presidensial belum tentu linear dengan kebutuhan praktik.

Pada tataran teori, dalam sistem presidensial, di antara isu yang tak pernah usai dibahas dan diperdebatkan: bagaimana mendamaikan antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. Sebagai institusi yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, keduanya hampir dapat dipastikan akan memakai logika mendapatkan mandat itu saat membangun relasi eksekutif-legislatif. Itu sebabnya, logika memperkuat sistem presidensial dengan berpikir bahwa tak akan terjadi ketegang- an hubungan di antara keduanya tidak tepat.

Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika sistem presidensial adalah potret tarik-menarik antara eksekutif dan legislatif. Banyak pengalaman membuktikan, dalam hal kekuatan mayoritas legislatif berbeda dengan partai politik (pendukung) presiden, ancaman deadlock sulit dicegah. Bahkan, karena secara alamiah posisi eksekutif terpisah dari legislatif, partai politik pendukung presiden pun tak boleh begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Dalam posisi demikian, untuk partai politik sendiri pun, presiden harus berjuang mendapatkan dukungan.

Karena secara kodrat memang posisinya berbeda dan terpisah dari legislatif, dalam sistem presidensial, pemimpin eksekutif tertinggi dituntut punya kemampuan hadir dengan karakter kuat dan persuade leadership. Richard Neustand dalam Presidential Power: The Politics of Leadership (1960) mengatakan: presidential power is the power to persuade. Dalam posisi seperti itu, tambah Neustand, this is personal power that involves the president’s ability to influence others to achieve a political outcome (Shapiro dkk, 2000).
Merujuk ke penjelasan itu, menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai modal mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan alasan memperkuat sistem presidensial dapat dikatakan tak tepat dan sangat mengada- ada. Sekadar cacatan, memperkuat sistem presidensial dengan cara berpikir mendorong presiden harus mendapat dukungan mayoritas di legislatif akan dengan mudah memerosokkan praktik pemerintahan ke dalam rezim otoriter. Pada batas-batas tertentu, pengalaman praktik sistem presidensial sepanjang Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bagaimana perangkap rezim otoriter itu bekerja.
Selain pijakan teoretik, secara konstitusional, mempertahankan ambang batas untuk memperkuat sistem presidensial berbeda dengan maksud perumusan konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dari ketentuan ini, semua partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, dari pengaturan di dalam UUD 1945, ambang batas tak dikenal. Karena itu, mempertahankan ambang batas sama saja dengan memelihara cacat konstitusional dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Karena adanya paksaan menghadirkan dan mempertahankan ambang batas itu, bisa dilacak praktik sistem presidensial yang terjadi sejak pelaksanaan pemilihan langsung 2004. Selama hampir dua periode kepemimpinannya, SBY bak melakoni kehidupan rumah tangga yang dijebak dalam kawin paksa. Dalam hal hubungan dengan DPR, selain tak menemukan kebenaran empirik dalam menghasilkan hubungan yang stabil dan sekaligus memperkuat sistem presidensial, koalisi dengan banyak partai seperti mendorong pemerintahan SBY ke jebakan tak berujung.
Berdasarkan basis argumentasi di atas, tak ada alasan untuk tetap bertahan dalam rezim ambang batas. Satu-satunya logika yang mungkin dapat menjelaskan pilihan bertahan dalam rezim ambang adalah kepentingan politik, terutama parpol menengah ke atas, yang mungkin merasa tak begitu nyaman bila pemilih memiliki pilihan yang jauh lebih banyak dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Demokratisasi partai politik
Soal ambang batas hanyalah salah satu isu penting saja. Di luar itu, masih banyak masalah lain yang harus diselesaikan dengan revisi UU No 42/2008. Yang dianggap sangat urgen adalah dorongan demokratisasi internal partai politik dalam pengajuan pasangan calon.
Agak terbatas UU itu memang menggariskan bahwa penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan. Namun, pengaturan itu tak memiliki daya dorong yang bermakna karena tak adanya sanksi yang dapat diberikan kepada partai politik yang mengusulkan calon dengan mengabaikan prinsip demokratis dan terbuka. Sekiranya direvisi, dengan tujuan memaksa partai politik, KPU dapat saja menolak pasangan calon yang dihasilkan dari proses tidak demokratis dan tidak terbuka.

Sadar atau tidak, dengan tak adanya ketentuan yang memungkinkan menjatuhkan sanksi pada pasangan calon, proses penentuan pasangan calon di kalangan internal parpol seperti berubah jadi wilayah privat. Kegagalan mengoreksi cara-cara seperti ini menyimpan bahaya bagi masa depan negeri ini. Bagaimanapun, calon yang lahir dari proses privat, bukan tak mungkin presiden/wapres akan lebih banyak mengabdi kepada parpol yang mengusungnya. Karena itu, untuk mengembalikan kepada makna pemilihan langsung paling hakiki, melanjutkan revisi UU No 42/2008 jadi pilihan yang tak terelakkan. Bagaimanapun, memaksa rakyat menerima calon yang dihasilkan dari sebuah proses tak demokratis dan terbuka merupakan pengingkaran terhadap makna pemilihan langsung. ●

Memaknai Penghargaan FAO

Memaknai Penghargaan FAO
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
          KOMPAS, 31 Juli 2013


Indonesia mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Penghargaan kategori notable result itu diterima Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Roma, Italia, 16 Juni lalu. Menurut FAO, Indonesia berhasil mencapai target Sasaran Pembangunan Milenium butir 1: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

Proporsi kelaparan turun dari 19,9 persen (1990-1992) ke 8,6 persen (2010-2012), lebih rendah dari target proporsi Sasaran Pembangunan Milenium/SPM (9,9 persen). Target SPM butir 1 adalah menekan kemiskinan dan kelaparan tinggal separuh pada 2015.

Bagaimana membaca dan memaknai penghargaan itu? Penghargaan FAO harus dibaca hati-hati agar jangan tersesat. Di saat sektor pertanian ”sakratul maut” akibat pembiaran, baik karena kekosongan kelembagaan maupun pragmatisme ekonomi-politik yang mendewakan impor dan liberalisasi, penghargaan itu patut diapresiasi.

Namun, perlu dipahami, prestasi menurunkan kelaparan itu bersifat proporsional, bukan absolut. Secara absolut jumlah kelaparan menurun dari 37 juta orang (1990) jadi 21 juta orang (2012). Pencapaian ini di bawah target: 18,6 juta orang. Secara absolut 21 juta orang kelaparan bukan jumlah kecil karena dari 11 ada 1 warga kelaparan.

Menurut Global Food Security Index 2012, yang dirilis Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia berada di bawah 50 (skor 0-100). Dari 105 negara, Indonesia di urutan ke-64. Dibandingkan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, posisi Indonesia lebih buruk.

Kita sering terkecoh teori ”negara maju dan industri meninggalkan pertanian”. Dalam praktik itu tak pernah terjadi. Ini bisa dilihat dari skor indeks keamanan pangan mereka yang tinggi: Amerika Serikat (berada di puncak dengan skor 89,5), Jepang (80,7 di level 16), dan Korea Selatan (77,8 di level 21).

Tidak naik kelas

Kedaulatan pangan kita kian tergerus dan kian rentan menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi ditambah dengan perubahan iklim yang kian ekstrem. Menurut Global Hunger Index 2012, yang dirilis International Food Policy Research Institute (IFPRI), pada tahun 2012 Indonesia ”tidak naik kelas” dari 2011. Indonesia berada di kelompok negara dengan krisis pangan serius berindeks 10,0-19,9 bersama Mongolia. Tiga faktor digunakan untuk menghitung indeks kelaparan: banyaknya warga kurang gizi di suatu negara, berat badan anak di bawah rata-rata, dan tingkat kematian anak.

Apakah penilaian FAO bertolak belakang dengan indeks keamanan pangan dan indeks kelaparan? Tidak. FAO menggunakan data kelaparan kasatmata yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, Economist Intelligence Unit dan IFPRI memakai data kelaparan tersembunyi yang basisnya gizi. Berbeda dengan kelaparan umum, gejala awal gizi buruk tak mudah dikenali. Dampaknya tak muncul seketika seperti kelaparan kentara. Kelaparan kentara mudah dideteksi. Ia biasa muncul saat kemarau, paceklik, bencana alam, atau perang. Dalam situasi seperti itu mudah ditemukan ada warga yang terguncang hebat akibat kondisi tak terduga.

Dari semua kelompok warga, kelompok miskin dan rawan adalah dua kelompok paling menderita. Namun, sebetulnya jumlah orang yang kelaparan kentara akibat kondisi tertentu itu berjumlah tak banyak. Selain terjadi hanya di masa tertentu, dampaknya tak permanen dan berjangka pendek, kecuali yang diderita wanita hamil. Janin yang dikandung wanita yang kelaparan akan menderita kurang gizi, yang dampaknya permanen ketika bayi lahir dan usia balita.

Ini berbeda dengan kelaparan tersembunyi. Kelaparan jenis ini dijumpai di mana saja kapan saja. Orang sering menyebut kelaparan jenis ini sebagai kurang gizi atau kurang energi dan protein.

Pekerjaan rumah

Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar menekan kelaparan tersembunyi. Menurut data Kantor Utusan Khusus Presiden untuk SPM, pada 2010 prevalensi balita dengan berat badan rendah (kekurangan gizi) masih 17,9 persen, jauh dari target SPM (15,5 persen); prevalensi balita gizi buruk masih 13 persen (target SPM 3,6 persen), dan prevalensi balita gizi kurang masih 13 persen (target SPM 11,9 persen).

Berbeda dengan orang dewasa, anak balita yang kurang gizi mudah dikenali, seperti berat badan rendah dan kurang aktif bergerak. Kurang gizi pada orang dewasa biasa ditemukan saat krisis, ekonomi terpuruk, bencana alam, atau berbagai guncangan sebagai biang kurang pangan. Namun, kurang gizi pada anak balita tak berkait sama sekali dengan berbagai kondisi tertentu itu. Pada kondisi pangan yang melimpah pun anak balita sangat mungkin terkena kurang gizi atau menderita gizi buruk.

Karena itu, berbeda dengan kelaparan yang biasanya hanya menimpa orang miskin, gizi buruk tak mengenal status ekonomi seseorang. Anak orang kaya bisa saja terkena gizi buruk. Penyebabnya jauh lebih kompleks dan rumit. Tiada faktor tunggal. Tak semata-mata kemiskinan material, tetapi kemiskinan pendidikan, pengetahuan, dan kesadaran tentang hidup bersih dan sehat. Inilah sebagian besar penyebab insiden gizi buruk.

Upaya menanggulangi kelaparan tersembunyi tak sederhana. Sayangnya, upaya pemerintah sering bersifat proyek dan menyederhanakan masalah. Isu cacingan dan anemia, misalnya, tak mendapat banyak perhatian sebab kalah ”seksi” dengan isu kelaparan lain. Padahal, anemia merupakan isu kritis. Angka kematian ibu melahirkan akibat anemia berkisar 70 persen.

Upaya pemerintah menekan kelaparan tersembunyi hanya memadamkan akibat yang tampak. Sumber apinya tak disentuh. Intervensi lebih banyak pada anak balita dan ibu hamil. Padahal, penanganan saat kehamilan terlambat belasan tahun karena dasar persoalannya dimulai sejak pertumbuhan anak paling dini.


Tak banyak program mau menyasar akar persoalan, seperti melihat asupan gizi dan gaya hidup yang pendekatannya lebih pada proses. Karena bersifat proyek, yang penting kuantitas atau cakupan, sementara proses dan kualitas jadi pilihan kesekian. Hilangnya suatu generasi telah terjadi di negeri ini. Bila tak segera diatasi, kita hanya mencetak generasi berkualitas inferior, loyo, dan mudah menyerah saat berkompetisi dengan negara lain. Ini makna penghargaan FAO itu. ●

UU Pemberdayaan Petani dan Sapi

UU Pemberdayaan Petani dan Sapi
Mochammad Maksum Machfoedz ;  Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada
          KOMPAS, 31 Juli 2013


Sekarang ini secara legal-formal petani sungguh dimanjakan melalui beragam perundangan. Hal ini tampak dari banyaknya dokumen yang menegaskan pentingnya kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatan. Program pemberdayaan, pengembangan sistem ketahanan pangan nasional, sampai swasembada, semua memandatkannya.

Persoalan kemandirian dan kedaulatan pangan yang juga menyejahterakan petani akhirnya ditegaskan UU No 18/2012 tentang Pangan. Secara legal-formal, tampaknya UU ini masih dianggap tak cukup. Karena itu, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) yang memandatkan kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan petani baru-baru ini disetujui DPR menjadi UU.

Tanpa menutup fakta masih adanya kontroversi substansi, boleh dikatakan kedua UU itu lebih dari cukup dalam membingkai proteksi dan kepentingan petani. Persoalan menjadi mengemuka ketika beragam tekad politik yang protektif itu ternyata tak pernah jadi realitas lapangan, yang merupakan kebutuhan riil petani, bukan sekadar proteksi legalistik-formalistik.

Untuk menilai betapa kuatnya proteksi legal kedua UU ini bisa disebut pasal paling relevan untuk mencermati krisis pangan mutakhir dan kaitannya dengan importasi umumnya, khususnya impor daging sapi yang tidak kunjung reda.

UU No 18/2012 menyebut pada Pasal 36 (1) ”Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri”. Sementara Pasal 31 UU PPP berbunyi ”Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah”.

Tanpa UU pun, tuntutan substantif yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama jadi tekad pemerintah, yang kemudian dirumuskan dalam segala peta jalan swasembada pangan, dan dokumen lainnya. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis tata niaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi.

Selalu saja ada pembenaran legal bagi importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja, memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai pembenaran kelangkaan dan wajib impor. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh realitas aneka krisis pangan seperti kedelai, beras, gula, bawang, cabai, singkong, produk hortikultura umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi yang tak kunjung padam.

Rekonstruksi krisis sapi

Bahasa pesimistisnya, ”lain legalitas, lain pula realitasnya”. Karut-marut tata niaga ini nyaris terjadi pada semua komoditas pangan yang disulap jadi semakin bergantung pada pangan impor dengan pembenaran lebih canggih dari upaya proteksi petani. Model sulapan ini sudah sangat standar dan dipertontonkan dalam aneka pendekatan.

Pembenaran impor biasa dilakukan melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi, misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur pendekatan: (1) membuat resah konsumen; (2) agitasi industri pemakai bahan baku; (3) membangun keresahan pedagang pasar dan perantara; (4) menggerakkan pekerja terkait; (5) advokasi ke partai politik; (6) menggalang isu politik fraksi DPRD-DPR; (7) negosiasi birokrasi; (8) mobilisasi kritik akademisi; dan (9) menjual fatwa rohaniwan.

Sejumlah modus dekadensi nurani itu sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi. Mudah dideteksi, tetapi tidak pernah dilakukan, meski beragam asas legal dan kekuatan politik dimiliki pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II-nya. Pertanyaannya, kenapa kekuatan paripurna itu mandul dan kehilangan kekuatan, bahkan acap kali kontroversi yang tampak dalam KIB II ketika krisis komoditas pangan meradang, apa pun komoditasnya.

Spiritualisasi pembangunan, struktur penyelenggara negara, segala kebijakan dan dokumen legal rasanya merupakan kebutuhan mendesak. UU PPP dan UU No 18/2012 tidak pula akan ada manfaatnya ketika penerapannya tidak disertai penguatan spiritual.


Hakikatnya, krisis pangan nasional bukanlah akibat ketertinggalan teknologi. Bukan keterbatasan sumber daya alam dan tidak pula krisis legalitas, melainkan krisis spiritual. Yang menggejala adalah krisis nurani di balik segala kekuatan dalam pengendalian dekadensi nurani bisnis yang membunuh petani sebagai produsen domestik, melalui impor dan rentenya. Tanpa kebangkitan kekuatan nurani, rasanya perjalanan sistem pangan nasional akan makin mundur,  hopeless... na’uzu billah.... ●

Menafsir Pemilu Kamboja

Menafsir Pemilu Kamboja
Hamid Awaludin  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
          KOMPAS, 31 Juli 2013


Pemilihan umum kembali digelar di Kamboja, 28 Juli 2013. Rakyat Kamboja memberikan suara mereka untuk memilih 123 anggota Majelis Nasional, yang selanjutnya akan memilih perdana menteri. Kalau kita ingin memberikan apresiasi kepada rakyat Kamboja dan pemerintah, kinilah saatnya.

Selama kampanye berlangsung sebulan penuh, baru pemilu kali ini politik Kamboja tak disertai kekerasan dan darah. Malah, dalam banyak kesempatan dan tempat, massa pendukung partai berkuasa (Cambodian People’s Party), yang dipimpin Hun Sen, sering bertemu secara bersamaan dengan massa partai oposisi (Cambodian National Rescue Party) yang dipimpin Sam Rainsy. Kedua massa itu hanya saling mengacungkan jari menunjukkan nomor urut partai mereka.

Pemilu kali ini tampaknya berpihak kepada oposisi. Kendati oposisi kalah, perolehan suara mereka naik secara signifikan. Pada Pemilu 2008, partai oposisi memperoleh 26 kursi, sementara partai Hun Sen mendapatkan 90 kursi. Pemilu 2013 ini, kelompok oposisi meraih 55 kursi dan partai berkuasa 68 kursi. 

Secara persentase, partai berkuasa memperoleh 55 persen, partai oposisi mendapatkan 45 persen suara.
Beberapa jam sebelum pemungutan suara dimulai, di kota Phnom Penh, para pemantau internasional pemilu Kamboja yang dipimpin Jusuf Kalla bertemu dengan pemimpin oposisi, Sam Rainsy, di markas besarnya. Rainsay berbicara hanya memaki-maki kecurangan proses pemilu. Hal itu misalnya keberpihakan lembaga pelaksana pemilu, cacatnya daftar pemilih, dan adanya intimidasi. Rainsy malah menyesalkan mengapa banyak pemantau internasional datang menyaksikan pemilu yang sangat cacat dan sia-sia itu.

Kala itu saya bertanya ke Rainsy, ”Apa yang terjadi bila Anda menang, atau perolehan suara Anda naik dalam pemilu kali ini. Bagaimana Anda membenarkan kemenangan atau kenaikan suara Anda kelak itu dengan proses pemilu yang penuh cacat, seperti yang Anda kemukakan itu?” Tak ada yang menyangka saya bertanya seperti itu. Rainsy menjawab tanpa ragu: ”Tak mungkin kami bisa menang atau menaikkan suara kami dengan pemilu yang cacat. Karena itu, tidak perlu saya jawab Anda,” katanya.

Kenaikan suara oposisi mengandung dua hal. Pertama, pihak oposisi dari awal tidak menyangka bisa memperoleh suara dari rakyat yang begitu besar. Bisa jadi, pihak oposisi tidak siap menerima dan mengelola kenaikan suara mereka itu. Kedua, segala tudingan dan keraguan kaum oposisi mengenai proses pemilu diragukan kebenarannya.

Mengapa oposisi naik?

Pertama, isu politik yang mereka lemparkan sangat telak menohok partai berkuasa. Sebagaimana selalu dikemukakan Rainsy ketika kami bertemu, partai berkuasa sebaiknya tidak dipilih karena mereka adalah bagian dari masa lalu yang kelam dengan tangan yang berlumuran darah. Hun Sen dan lain-lainnya adalah mantan aktivis Khmer Merah yang telah membantai jutaan rakyat Kamboja. Isu ini memang sangat sensitif bagi rakyat Kamboja hingga kini. Sebenarnya, justru Hun Sen telah membelot dari Khmer Merah dan bersekutu dengan Vietnam mengenyahkan rezim kejam yang dipimpin Pol Pot itu. Namun, kali ini ketokohan Hun Sen diketepikan oleh rakyat karena telanjur rakyat sangat antipati dan traumatis dengan Khmer Merah.

Kedua, rasa bosan rakyat terhadap Hun Sen sudah tidak bisa disembunyikan lagi, terlepas apakah Hun Sen berbuat atau tidak berbuat banyak kepada negerinya. Maklum, Hun Sen sudah berkuasa selama tiga dekade. Rentang waktu yang begitu panjang tersebut, secara psikologis, membuat rakyat gelisah melihat adanya rotasi dan perubahan.

Aspek ini jelas sekali kelihatan dengan ekspresi kalangan bawah. Hanya sekitar dua jam setelah bilik suara ditutup, di ibu kota Kamboja, partai Hun Sen sudah ditaklukkan. Para sopir angkot, buruh, dan penjual makanan tumpah ruah ke jalanan dan berseru, ”Hun Sen kalah. Kita sudah lama butuh yang baru sebab kita ingin ada perubahan. Kami tak peduli apakah Hun Sen pahlawan atau bukan. Kami hanya ingin ada yang berubah.”

Di mana-mana, tatkala kehidupan politik sudah diwarnai oleh agenda perubahan, susah sekali membendung arus tersebut. Perubahan dalam politik selalu berimplikasi pada pergeseran pemegang kekuasaan. Hun Sen masih beruntung sebab hanya perolehan suara partainya yang berkurang.

Ketiga, rakyat Kamboja sudah letih dengan praktik korupsi para pejabat mereka di semua jenjang dan struktur. Saya belum pernah melihat ada sebuah negara dengan ekonomi rendah, tetapi memiliki jumlah mobil mewah lalu lalang setiap saat, seperti di Phnom Penh itu. Mobil Lexus dan Range Rover baru dengan segala bentuk dan ukuran seolah mobil yang setingkat Avanza saja di Indonesia. Mercedes dan BMW nyaris hanya sebagai mobil kelas dua

Mobil-mobil itu dikendarai pejabat dan aparat pemerintah. Kecurigaan praktik korupsi sangat beralasan sebab gaji para pejabat yang mengendarai mobil-mobil itu hanya antara 200 dollar AS hingga 350 dollar AS sebulan. Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh pihak oposisi. Maka, seruan dan tuntutan adanya perubahan banyak diilhami oleh keinginan rakyat untuk menghentikan praktik korupsi itu.

Keempat, pemimpin oposisi, Sam Rainsy, amat piawai memainkan posisi politiknya yang terbendung untuk ikut maju sebagai calon anggota parlemen. Kendati ia dimaafkan oleh raja atas hukuman pidana yang menerpanya, pintu untuk maju sebagai anggota legislatif ditutup rapat. Ia pun menggunakan isu ini sebagai agenda politik menohok Hun Sen.

Posisi politiknya itu ia kaitkan dengan praktik kekuasaan zalim yang dipraktikkan rezim Khmer Merah di masa lalu. Ia berhasil membentuk persepsi publik bahwa dirinya dizalimi, dan karena itu rakyat harus bersimpati dan memilih partainya demi memotong mata rantai masa lalu yang getir itu.


Tema-tema inilah yang diangkat secara retorik oleh Sam Rainsy. Ia sendiri tidak pernah menawarkan agenda konkret tentang apa yang ingin dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Kamboja kelak. Namun, itulah politik. Dalam banyak hal di berbagai tempat, retorika jauh lebih penting daripada tujuan yang jelas dan arah yang konkret. 

Mass Organization Law and the FPI conundrum

Mass Organization Law and the FPI conundrum
Tobias Basuki  ;   A Researcher at the Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta and Political Science Lecturer at Pelita Harapan University, Tangerang
          JAKARTA POST, 30 Juli 2013


“Allowing the government to disband organizations through the court may not necessarily violate democratic principles”


The most recent atrocities committed by members of the firebrand Islam Defenders Front (FPI) brought to the surface the complex and thorny issue in fine tuning dynamics between religion and state in Indonesia. It also brought up anew the debate about the controversial Mass Organization (Ormas) Law within civil society.

In regard to the Ormas law, civil society organizations and radical Islamist groups became unusual bedfellows in their opposition to the passing of the law by the House of Representatives, albeit for different reasons.

Civil society groups feared a return to an authoritarian rule akin to the New Order’s tight control over mass organizations. 

Radical Islamist groups, on the other hand, would love to have absolute control over society, as long as they are the ones controlling it. Their opposition to the law in this case is merely due to the fear that it may impact them directly, potentially getting them into trouble.

That debate almost immediately got a case study, debating FPI’s existence after its umpteenth violent act, in which its members were involved in running over and killing a pregnant woman with their car in a conflict with residents in Kendal, Central Java.

Civil society is split in their views on how to deal with the FPI. Intellectuals, moderating the outrage against the FPI, have been countering public cries to disband it. Civil society groups’ main argument against calls to disband the FPI is their attempt to remain consistent in upholding the right to freedom of association and expression, even if it means defending the rights of radical groups. 

This tenuous balance between upholding rights to association and expression versus dealing with perpetual violent acts by radical groups such as the FPI is dilemmatic. 

It is a conundrum democratic proponents must face. Although the Mass Organization Law is problematic in many ways (for example, its definition of mass organization and other technical details), allowing the government to disband organizations through the court may not necessarily violate democratic principles as feared by civil society groups.

Larry Diamond, in his seminal work Developing Democracy: Toward Consolidation made a very clear distinction in defining civil society, a definition that would be very useful in giving a clear definition of mass organizations, which our law fails to address. 

Diamond defines civil society as “an intermediary phenomenon standing between the private sphere and the state. Thus it excludes parochial society: inward looking groups ...,” and it is “distinct from political society ... whose primary goal is to win control of the state or at least some position in it”.

Thus, religious groups and organizations essentially are not necessarily part of civil society and therefore not categorized as mass organizations. Religious organizations and institutions (mosques, churches) primarily looking inwardly in managing affairs of the organization and members should have free reign within their organizations without interference from the state.

However, the catch will be when a religious groups’ activity moves beyond its “private” function and enters the public sphere. In what Diamond called “performing mediating functions” acting as a “bridge” between the private interests of its group to the public sphere, they have become part of civil society and thus subject to laws concerning their activity.

A key principle Diamond underlined is the principle of pluralism and diversity to which mass organizations within civil society must adhere. Thus, any extremist group such as the FPI that “seeks to monopolize a function or political space in society, crowding out all competitors while claiming that it represents the only legitimate path”, has violated important democratic principles. Thus banning them with due process of the law would not be a violation of democracy. 

One may ask how it is different from the Ku Klux Klan, or the Westborough Baptist church in the United States. Both are extremely repulsive, bigoted groups allowed to exist in the US on the premise of freedom of speech.

One crucial difference is that groups do not, and cannot dominate the public sphere and crowd out competing voices in US civil society. They are fringe groups not attached to any wider movements that threaten democracy in the US. The Westborough group is the most hated group in the US, a laughing stock to any US citizen outside of its own members.

The FPI is different. Although its members are often dismissed as mere thugs, they represent a wider network of narrow-minded ideas that threaten Indonesia’s budding democracy. They have become effective extensions and “smashing tools” of proponents of these ideologies to root out conflicting ideas.

There are numerous poignant examples.

The group we often dismiss as “simple thugs” recently won a judicial review at the Supreme Court to abolish a national regulation on alcohol control, to basically allow regional administrations with “fundamentalist” tendencies to make their entire district or province “dry”. Have we not learned from the US prohibition era, and its epic failure?

The FPI has perpetrated countless acts of violence with near impunity. It attacked the police headquarters a few weeks ago. It even had the audacity to violently confront a peaceful movement of the Alliance for Religious Freedom at the National Monument in 2008. The FPI with other groups managed to outshout attempts to abolish the highly problematic Blasphemy Law, which is valid today.

The FPI has not only attacked revered figures such as Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, but verbally threatened to overthrow the government in 2011. This alone should be enough cause to see the organization as fundamentally rotten in structure as it is not isolated actions of individual members.

Disbanding such a problematic organization does not contradict democracy. On the other hand, it would send a clear message that no group, for whatever “divine” reason, can repeat acts that threaten and bleed our democracy without repercussions.