Selasa, 30 Juli 2013

Agama dan Kuadran Kesalehan

Agama dan Kuadran Kesalehan
Masdar Hilmy ;   Pengajar pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel;
Alumnus Universitas Melbourne
KOMPAS, 26 Juli 2013
  

Sudah saatnya pembangunan dan pengembangan bidang agama di Tanah Air mengadopsi sebuah sistem pengukuran yang dapat dievaluasi secara mudah, jelas, dan terukur.

Pengukuran ini berisi matriks keberagamaan yang menempatkan dua jenis kesalehan sebagai tolok ukur utama bagi keberhasilan dan atau kegagalan pembangunan kehidupan beragama kita, yakni kesalehan privat/individual dan kesalehan publik. Kesalehan individual ditandai tingkat ketaatan seorang terhadap segala bentuk ibadah ritual. Dalam konteks Islam, kesalehan individual nama lain dari kesalehan ritual dalam bentuk ketaatan menjalankan lima rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.

Di sisi lain, kesalehan publik tak identik dengan kesalehan sosial karena keduanya memiliki substansi berbeda. Jika kesalehan sosial ditandai sikap hidup filantropis, kesalehan publik termanifestasikan ke dalam norma-norma keadaban publik seperti etos kerja, disiplin waktu, tertib sosial, toleransi beragama, ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan, demokrasi, HAM, nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederajatan, dan kemanusiaan.

Empat varian kesalehan

Salah satu bentuk matriks keberagamaan yang mudah dibaca adalah kuadran kesalehan sebagai perpaduan dua jenis kesalehan di atas. Ia menghasilkan komposisi empat varian kesalehan berikut ini: (1) kesalehan individual positif, tapi kesalehan publik negatif; (2) kesalehan individual negatif, tapi kesalehan publik positif; (3) kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama positif, dan (4) kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama negatif.

Kuadran kesalehan tersebut harus dijadikan sebagai pijakan evaluasi berkala untuk melihat sejauh mana arah pengembangan dan pembangunan agama berjalan di negeri ini. Dari keempat varian kesalehan tersebut, kita bisa melihat dan mengevaluasi di mana posisi kehidupan beragama kita. Dalam konteks ini, arah pengembangan kehidupan beragama selayaknya bergerak menuju kuadran ketiga, sembari sedapat mungkin menghindari tiga kuadran lainnya—lebih-lebih kuadran keempat yang berarti ”kebobrokan”.

Untuk mengukur tingkat capaian dua jenis kesalehan tersebut, kita bisa memanfaatkan hasil riset atau survei sejumlah lembaga periset terkemuka. Dalam hal tingkat kesalehan individual, misalnya, kita bisa merujuk hasil survei Riaz Hassan, guru besar emeritus dari Flinders University, Australia. Hasil survei itu menjumpai fakta bahwa Indonesia (bersama enam negara mayoritas Muslim lainnya: Malaysia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran, dan Kazakhstan) masuk kategori negara paling ”agamis”. Ada dua indikator utama yang digunakan dalam jajak pendapat tersebut: level keimanan atau akidah (seperti rukun iman) dan ibadah (seperti shalat, puasa, zakat, dan haji).

Sebagai contoh, 90 persen dari 100 persen responden di Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Malaysia punya keyakinan akan adanya Tuhan dan hari akhir (akhirat), sementara Turki dan Iran hanya 70-80 persen. Dalam hal ibadah, Indonesia di peringkat tertinggi dalam pelaksanaan shalat lima waktu (96 persen), lebih tinggi dibandingkan Mesir dan Malaysia (90), Pakistan dan Iran (60), serta Turki (33).

Dengan langkah yang sama, kita juga bisa memanfaatkan hasil riset lembaga tepercaya untuk melihat di mana tingkat kesalehan publik kita, seperti penelitian yang dilakukan Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University. Melalui artikel mereka, ”How Islamic are Islamic Countries?” (Global Economy Journal, Vol 10, Issue 2/2010), kedua peneliti tersebut mengukur tingkat ”kesalehan publik” sejumlah negara di dunia melalui IslamicityIndex yang terdiri atas empat indikator utama: 1) Economic Islamicity Index; 2) Legal and Governance Islamicity Index; 3) Human and Political Rights Islamicity Index, dan 4) International Relations Islamicity Index.

Penelitian tersebut mengungkap fakta, negara-negara berpenduduk Muslim secara umum berada di peringkat bawah. Peringkat 1-37 justru dikuasai negara-negara sekuler seperti Selandia Baru (1), Luksemburg (2), Irlandia (3), Islandia (4), Finlandia (5), Denmark (6), dan seterusnya. Secara berturut-turut, peringkat negara-negara Muslim adalah sebagai berikut: Malaysia (38), Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65), dan Indonesia (140). Di atas Indonesia terdapat Turki (103), Qatar (112), Maroko (119), Mali (130), Arab Saudi (131), dan lain-lain.

Di luar kedua riset di atas, terdapat sejumlah riset lain dengan indikator yang bervariasi, seperti Barometer Korupsi Global 2013 oleh Transparency International yang menempatkan Malaysia sebagai negara berpenduduk Muslim dengan indeks suap terendah (≤5 persen) bersama Selandia Baru, Finlandia, Australia, Finlandia, Denmark, dan sebagainya. Sementara itu, Indonesia berada pada kisaran 30-39,9 persen bersama Banglades, Mesir, Kazakhstan, Pakistan, Vietnam, dan lainnya.

Obyektivasi kesalehan publik

Apa yang bisa dibaca dari hasil-hasil penelitian di atas adalah bahwa Indonesia masih berada di kuadran pertama; kesalehan individual positif, tetapi kesalehan publik negatif. Berkebalikan dari kuadran tersebut, negara-negara sekuler menempati kuadran kedua. Tentu saja jika hal ini dilihat dari kesalehan individual.
Namun, berbagai pengukuran tingkat internasional menempatkan kuadran kedua sebagai lebih baik ketimbang kuadran pertama. Di kuadran ketiga, kuadran paling ideal, terdapat Malaysia dan Kuwait. 

Mayoritas negara Muslim masih berkubang dengan ”kebobrokan” di kuadran terakhir. Intinya, jika umat Islam Indonesia ingin maju dan beradab, harus ada pergerakan positif dari kuadran pertama ke kuadran ketiga. Implikasinya, umat Islam Indonesia harus mengejar negara-negara Muslim di kuadran ketiga seperti Malaysia dan Kuwait.

Apa rahasia Malaysia dan Kuwait bisa berada di kuadran paling ideal? Kuncinya cuma satu: obyektivasi kesalehan publik ke dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menjadi saleh secara publik, tradisi agama-agama sebenarnya telah memiliki nilai-nilai keadaban publik sebagaimana dipersyaratkan peradaban modern. Islam, misalnya, mengandung ajaran antisuap dan antikorupsi. Tetapi, mengapa realitasnya berbeda di tingkat praksis? Itu karena absennya konsistensi antara ajaran/ujaran dan tindakan. Titik! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar