Selasa, 30 Juli 2013

Anak dalam Kemiskinan

Anak dalam Kemiskinan
Razali Ritonga ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
REPUBLIKA, 24 Juli 2013


Meningkatnya harga-harga kebutuhan akibat naiknya harga BBM dan menjelang Lebaran dikhawatirkan kian menggerus daya beli masyarakat. Pada tahap lanjut, melemahnya daya beli masyarakat itu berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Pemerintah memang telah mengantisipasi melemahnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga BBM dengan dana kompensasi yang disebut sebagai bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Tapi, jika kenaikan harga-harga itu melebihi kompensasi yang diberikan, potensi meningkatnya angka kemiskinan sulit terelakkan.

Dalam kondisi tersebut, satu hal yang perlu diwaspadai dari melemahnya daya beli masyarakat itu adalah dampaknya terhadap anak-anak. Sebab, anak-anak, terutama dari kelompok hampir miskin umumnya berpeluang lebih besar jatuh miskin dibandingkan orang dewasa. 

Tumbuh kembang

Lebih rentannya anak-anak tertimpa kemiskinan, terutama disebabkan kebutuhan mereka lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Kebutuhan anak sifatnya tidak bisa tertunda karena diperlukan untuk menjaga proses tumbuh kembang. Pada umumnya, kemiskinan orang dewasa (adult poverty) berkaitan dengan tidak terpenuhinya pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan, penyebab kemiskinan anak (child poverty), selain ketiga aspek tersebut (pangan, pakaian, dan tempat tinggal) juga ditentukan aspek lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. 

Lebih jauh, Gordon et al (2003) menyebutkan bahwa kemiskinan anak diakibatkan oleh tidak terpenuhinya minimal salah satu dari delapan dimensi kesejahteraan anak, yaitu pangan, air bersih, sanitasi, kesehatan, perumahan, pendidikan, informasi, dan akses terhadap layanan publik. Tentunya, semakin banyak dimensi yang tidak dapat dipenuhi dari kebutuhan anak-anak, semakin parah tingkat kemiskinannya.

Untuk mengetahui tingkat keparahan kemiskinan anak, Gordon et al telah melakukan studi di 46 negara berkembang berdasarkan proxy delapan dimensi kesejahteraan anak yang disebutkan tadi. Hasil studi menunjukkan bahwa satu di antara dua anak tidak memperoleh salah satu dimensi kesejahteraan anak dan satu di antara tiga anak tidak memperoleh dua atau lebih dimensi kesejahteraan anak. 

Maka, cukup jelas bahwa langkah pengentasan kemiskinan anak menjadi lebih sulit dibandingkan upaya pengentasan kemiskinan orang dewasa. Menurut Heidel (2004), kontribusi penurunan angka kemiskinan terhadap kemiskinan anak hanya sebesar sepertiganya. Tragisnya, kemiskinan anak umumnya terjadi mendahului kemiskinan orang dewasa. Hal itu bisa dilihat saat pendapatan keluarga menurun, acapkali kebutuhan anak terlebih dahulu yang dikorbankan. Untuk pendidikan, misalnya, tidak sedikit orang tua yang mengurangi jatah biaya pendidikan anaknya atau bahkan menghentikan sekolah anaknya ketika ekonomi keluarga memburuk. Parahnya lagi, anak-anak yang berhenti sekolah kerap dipaksa terjun ke dunia kerja. Pengalaman krisis 1997, misalnya, menunjukkan seperlima penduduk miskin (setara 20,10 persen) menyuruh anaknya bekerja untuk membantu penghasilan keluarga (BPS, 1998). 

Secara faktual, kehidupan anak yang terlilit kemiskinan akan berpotensi mengalami penderitaan sepanjang hidupnya. Kemiskinan anak merupakan bibit tumbuhnya kemiskinan kronis yang sulit untuk dientaskan. Sebab, anak-anak yang terjerembab dalam kemiskinan umumnya mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya, sehingga sulit melakukan kegiatan, terutama kegiatan produktif secara optimal.

Perbesar bantuan

Maka dari itu, dengan mencermati besarnya risiko yang akan terjadi dari keberadaan kemiskinan anak, sepatutnya perlu dilakukan upaya pencegahan sejak dini. Dalam konteks ini, pemberian kompensasi melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dengan sasaran keluarga sangat miskin yang memiliki ibu hamil, anak balita, dan anak sekolah tampaknya bisa membantu untuk mengatasi gerak laju kemiskinan anak. 

Perlu diketahui bahwa pada 2013 pemerintah tetap melanjutkan PKH dengan kompensasi sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 1,8 juta per rumah tangga bagi 2,4 juta rumah tangga di Tanah Air. Namun, sayangnya cakupan PKH itu masih sangat terbatas karena diperuntukkan bagi keluarga sangat miskin di 167 kabupaten/kota. Padahal, anak dari keluarga sangat miskin diperkirakan terdapat di hampir seluruh wilayah di 505 kabupaten/kota di Tanah Air. 

Sementara, dari sisi besaran bantuan kesejahteraan yang diterima anak-anak, terutama anak balita juga dinilai belum cukup memadai, bahkan dibandingkan dengan sejumlah negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Indonesia. Kamboja, misalnya, dengan pendapatan per kapita sebesar 2.095 dolar AS mampu memberikan bantuan kesejahteraan pada anak balitanya se - besar 0,93 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara itu. 

Adapun Indonesia dengan pendapatan per kapita sebesar 4.154 dolar AS ternyata hanya mampu memberikan bantuan kesejahteraan terhadap anak balitanya sebesar 0,31 persen dari PDB-nya. Sementara, India dengan penduduk terbesar kedua sejagat (1,2 miliar jiwa) mampu mengalokasikan anggaran kesejahteraan untuk anak balitanya sebesar 0,54 persen dari PDB-nya (UK, Save the Children, 2009).

Semua pihak perlu meyakini bahwa setiap sen yang dikucurkan dalam rangka me menuhi kebutuhan esensial anak merupakan investasi untuk perbaikan masa depan anak dan bangsa. Studi di Brasil, misalnya, menunjukkan bahwa peningkatan dua tahun pendidikan bagi anak ketika dewasa akan berpotensi meningkatkan pendapatannya sebesar 18 persen (ICC, Investing in Children in latin America and the Carribean, 2000). 

Namun, besarnya bantuan pemerintah untuk kesejahteraan anak belum menjamin kesejahteraan mereka serta-merta meningkat. Peran orang tua dalam mengelola bantuan dengan mendahulukan kepentingan anak merupakan aspek yang turut menentukan kesejahteraan anak. Karena itulah, peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan guna mencegah terjadinya kemiskinan anak. Selain itu, semua elemen juga harus berupaya sercara serius untuk mengentaskan anak-anak yang sudah telanjur terperangkap dalam jurang kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar