Rabu, 31 Juli 2013

Awasi Audit Pantura

Awasi Audit Pantura
Tasroh ;  Pejabat pelaksana proyek APBD Pemkab Banyumas, 
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
KORAN JAKARTA, 29 Juli 2013
  

Pengawasan amat minim dalam proyek tersebut. Kelemahan pengawasan dan pengendalian, khususnya di masa-masa audit pembiayaan, terbukti telah dimanfaatkan pihak-pihah tak bertanggung jawab untuk mengeruk untung

Berita miring seputar dugaan korupsi pembangunan dan rehab jalur Pantura yang kini sedang diselidiki aparat hukum seperti KPK, sebenarnya bukanlah berita baru. Beberapa waktu lalu, laporan BPK telah sering menyebutkan bahwa anggaran dan pembiayaan proyek infrastruktur, khususnya Pantura, tidak paralel dengan mutu.

Buktinya, jalur itu sering remuk jauh sebelum digunakan dalam kurun waktu yang ditentukan. Bahkan, catatan BPK juga menyebutkan dengan anggaran rata-rata per tahun mencapai 2,8 triliun, Pantura paling cepat hancur. Tiap tahun menyedot anggaran. Jalur tersebut menjadi proyek abadi.

Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, berkilah Pantura dilalui angkutan dengan beban melebihi kapasitas dan daya tahan jalan. Dia juga menyebut rusaknya jalan karena terbatasnya anggaran untuk membiayai infrastruktur serta tidak disiplinnya pengguna sehingga mempercepat kerusakan jalan. Apa sebenarnya yang terjadi dalam proses pembiayaan proyek infrastruktur di negeri ini? Bagaimana membangun kedisiplinan pembiayaan proyek infrastruktur yang bersih, jujur, dan profesional seperti di negara-negara maju ke depan?

Tak Bermutu

Penyelidikan KPK menemukan fakta berbalikan dengan pernyataan jajaran Kementerian PU dan rekanan. Tidak benar bahwa mudahnya kerusakan infrastruktur disebabkan minimnya anggaran. Dibanding praktik di negara-negara maju seperti Jepang, biaya yang dikeluarkan untuk proyek infrastruktur Indonesia termasuk boros dan mahal . Ironisnya: tidak bermutu!

Pakar konstruksi infrastruktur Jepang, Tadaki Toru, dalam Beyond Infrastructure Budget (2008) menyebutkan penyebab kerusakan jalan murni lantaran mutu pekerjaan, perbaikan, dan pemeliharaan (developing, constructing and maintenancing/DCM) bobrok. Ini mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proyek.

Mutu pekerjaan proyek tergantung (1) pekerja, (2) teknologi, dan (3) material. Ketiganya ditentukan sepenuhnya pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah, mulai dari pengguna anggaran (setaraf menteri, dirjen, atau kepala daerah serta pejabat eselon II). Mereka harus interkoneksi secara integral mengawasi penuh untuk membangun, memperbaiki, dan memelihara agar infrastruktur bermutu tinggi, tahan lama, dan berkelanjutan.

Sedangkan komponen pembiayaan akan mengikuti secara simultan dengan ketiga prasyarat mutu proyek yang hendak dilakukan. Mencermati konsep demikian, proses MDC dalam pembiayaan infrastruktur seperti hasil riset Fitra (2012) justru jauh panggang dari api sebab anggaran pembiayaan proyek infrastruktur (khususnya jalan) sarat KKN sejak perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.

Indikasinya sederhana, biaya besar yang dikeluarkan pemerintah lewat APBN/D atau dana pihak swasta-asing tidak pernah paralel dengan spek mutu yang dijanjikan dalam perjanjian kerja sama. Lebih parah lagi, proses pengerjaan sering "sengaja" dilakukan pada detik-detik kepadatan kendaraan tinggi seperti akhir tahun atau masa-masa mudik Lebaran.

Alibi

Pemilihan waktu pengerjaan yang terburu-buru ternyata sebagai alibi untuk mempercepat pengerjaan proyek. Risikonya, proyek yang dikerjakan tergesa-gesa sekadar selesai. Jadi, jauh dari standar mutu. Hal ini diperparah dengan minimnya iptek dan material pendukung yang dipakai dalam proyek infastruktur.

Temuan KPK menunjukkan pula modus baru bahwa proyek dikerjakan pihak yang sama setiap tahun. Padahal, hasil pekerjaan rekanan tersebut terbukti gagal menyelesaikan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Ini membuktikan bahwa audit proyek tidak berjalan alamiah lantaran terjadi pembiaran. Pembiayaan proyek menjadi boros. Mahal tetapi mutu rendahan.

Padahal, pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur 755 triliun mulai tahun ini sampai 2014 untuk mendukung Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Perinciannya, 544 triliun dari pemerintah, sisanya 211 triliun kerja sama pemerintah swasta. Jumlah 143 triliun untuk membangun jalan, jalur kereta api (138 triliun), dan pelabuhan laut (49 triliun).

Berdasarkan pakar infrastruktur Jepang, untuk ukuran mutu jalan seperti di Indonesia, masih bisa dianggarkan setengahnya dengan teknologi yang cukup memadai. Pemerintah Jepang sejak lama mengawasi secara ketat proses MDC. Mereka terus memperbaiki iptek dan material infrastruktur guna merespons kebutuhan dan dinamika kendaraan yang berkembang.

Karena itu, usia rata-rata jalan dan infrastruktur di negeri Sakura tahan lama (rata-rata 15-30 tahun. Di sini usia jalan hanya satu atau dua tahun). Ini untuk sebesar-besarnya meningkatkan mutu konstruksi jalan/infrastruktur yang ditentukan sepenuhnya perencana, pelaksana, dan auditor.

Sejak perencanaan hingga audit pekerjaaan, jajaran pemerintah menjadi watch dogs di saat proyek dikerjakan hingga tuntas. Pengawasan ketat juga dilakukan berbagai komponen masyarakat. Langkah demikian tidak hanya meningkatkan kejujuran dan profesionalisme proses pengerjaan proyek, tetapi juga signifikan menjawab tuntutan publik.

Sedang di sini, anggaran infrastruktur "hanya" dipakai 65 persen. Selebihnya (35 persen) disunat untuk kepentingan bisnis pribadi, setoran, dan atau biaya "kongkalikong". Inilah sebenarnya yang menyebabkan proyek jeblok. Anggaran terus membengkak, tapi terus menelan korban pemakai, rata-rata 286 jiwa melayang di jalananan setiap tahun karena kerusakan jalan dan pembiaran jalan penuh lubang maut.

Klaim Kementerian PU tadi tidaklah benar. Pemerintah malah alpa (pembiaran) proses pengerjaan proyek sejak perencanaan, pelaksanaan, dan audit. Pengawasan amat minim dalam proyek tersebut. Kelemahan pengawasan dan pengendalian, khususnya di masa-masa audit pembiayaan, terbukti telah dimanfaatkan pihak-pihah tak bertanggung jawab untuk mengeruk untung.

Karena itu, sebelum KPK benar-benar melakukan tugasnya, audit pembiayaan infrastruktur, seperti yang direkomendasikan BPK, juga harus menjadi perhatian serius untuk ditindaklanjuti kementerian terkait. Mereka segera memperbaiki setiap tahapan proyek dengan lebih transparan, jujur, dan akuntabel sehingga anggaran terselamatkan.

Hanya dengan begitu, kebutuhan dan harapan publik untuk menikmati jalan yang mulus, bersih, dan aman terpenuhi, lebih-lebih menjelang masa-masa mudik Lebaran. Nasib jutaan rakyat ditentukan di jalan-jalan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar