Rabu, 31 Juli 2013

Esensi Mudik

Esensi Mudik
Rakhmat Hidayat  ;   Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Universite Lumiere Lyon 2 Prancis
REPUBLIKA, 30 Juli 2013


Zaman boleh berubah.Teknologi juga terus berkembang.Tetapi, tradisi mudik tak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi apa pun. Bagi sebagian masyarakat, rasanya kurang lengkap jika Lebaran tidak melakukan mudik ke kampung halaman. Bahkan,tidak sedikit warga yang menganggap mudik sudah menjadi kewajiban yang tidak bisa digantikan dengan nilai materi apa pun.

Semua lapisan masyarakat dari masyarakat kelas atas hingga masyarakat akar rumput secara bersamaan melakukan mudik. Menariknya, fenomena ini melewati batas-batas teologis dan etnis. Bukan hanya monopoli umat Islam karena bertepatan dengan momen Lebaran. Durasi liburan yang cukup panjang menjadi keuntungan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan mudik.

Sulit untuk tidak mengatakan mudik melanda seluruh rakyat Indonesia. Gejala ini menunjukkan mudik sudah tertanam kuat dalam realitas sosial kultural masyarakat Indonesia. Mudik merepresentasikan proses sosial yang berlangsung lintas generasi dan diwariskan secara turun-temurun. Semakin lama, mudik menjadi kebiasaan karena menjadi sesuatu yang rutin dilakukan, diharapkan, dan disetujui bersama. 

Inilah yang disebut dengan proses pelembagaan (institusionalisasi) mudik dalam masyarakat. Kita melihat di masyarakat, mudik sudah menjadi tradisi yang kuat tertanam di masyarakat kita. Adanya kolektivitas nilai sosial yang melekat dan diperjuangkan dalam tradisi mudik tersebut. Nilai sosial ini yang terus mengalami pelembagaan secara kuat di masyarakat. 

Berjumpa dengan orang tua, keluarga, tetangga menjadi pendasaran sosial yang mengikat tradisi tersebut. Momen paling dinanti-nanti adalah dengan orang tua.
Di masyarakat, kita menjumpai berbagai varian istilah seperti sungkem, sowan, maupun silaturahim.

Rasa kebersamaan

Kata `mudik' itu berakar dari kata `udik'. Secara harfiah, udik itu berarti kampung atau desa yang lawan katanya adalah kota. Ini seperti istilah Arab `badui' sebagai lawan dari kata `hadhory'. Dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa mudik adalah kembali ke kampung halaman. 

Makna kembali ke kampung halaman tidak hanya didefinisikan secara fisik, tetapi lebih menunjukkan kembali ke kampung halaman sebagai bagian kecintaan sosial kultural terhadap kampung halamannya. Faktor kedekatan emosi dengan kampung halaman mendeterminasi panggilan pulang kampung tersebut. 

Relasi sosial, kultural, dan emosilah yang mengikat jutaan warga Indonesia untuk melakukan mudik. Kampung halaman menjadi ruang otentik seseorang berasal. Sementara kota menjadi ruang abstrak bagi individu. Seseorang boleh bekerja keras dan banting tulang di kota untuk mencari nafkah, tapi kecintaan terhadap kampung halaman menunjukkan keterikatan kultural yang menjadi harga mati.

Fenomena mudik menemukan ruang otentisitasnya bagi rakyat Indonesia. Meminjam Max Weber, mudik maupun kampung halaman menjadi `panggilan' (calling) bagi jutaan rakyat Indonesia untuk menengok kampung halamannya. Menguatnya tradisi mudik di masyarakat Indonesia dikonstruksikan karena menguatnya kebersamaan dan keterikatan di masyarakat kita. Keterikatan horizontal masyarakat maupun keterikatan antara individu dan kampung halamannya. 

Keterikatan ini dalam perspektif sosiologi disebut dengan attachment total yang merujuk suatu keadaan di mana seorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu menaati nilai dan norma yang berkembang di masyarakat. 

Mudik melepaskan ego pribadi, ego primordial, maupun ego ekonomi sosial. Warga berlomba-lomba dan berjuang untuk melaksanakan mudik. Keluarga, tetangga, maupun kerabat di kampung halaman menjelang Lebaran sudah menanti kehadiran para pemudik. Keluarga dan kerabat di kampung jauh hari sebelum Lebaran tiba sudah bertanya, "kapan mudik?" Ini bukan sekadar pertanyaan biasa.Tapi, menunjukkan sebuah ekspektasi sosial bagi perantau untuk merekatkan dirinya dengan kampung halaman. Pertanyaan itu sekaligus menjadi calling bagi jutaan warga Indonesia untuk mudik.

Kehadiran warga perantau di kampung halamannya yang sudah ditunggu-tunggu keluarga dan kerabatnya memiliki makna yang sangat mendalam. Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh pemudik. Selama 11 bulan para perantau bekerja keras di kota, saatnya mereka mudik untuk menyucikan diri. Keluarga adalah prioritas proses penyucian diri tersebut. 

Kehangatan bersama keluarga menjadi momen yang sangat istimewa. Seolah tak bisa diwakili oleh kecanggihan teknologi apa pun. Tetangga, kerabat, teman kecil maupun teman sekolah juga memperkuat proses penyucian diri tersebut. Rasa kangen selama satu tahun terakhir dibalas dengan kedatangan para pemudik. 

Momen Lebaran ini sering dijadikan ajang pertemuan berbagai kalangan dalam bingkai silaturahim, reuni, maupun temu kangen. Misalnya, reuni/pertemuan almamater sekolah, kampus, keluarga besar, hingga etnis primordial. Kolektivitas masyarakat tumpah ruah dalam upaya menyucikan diri tersebut.

Proses penyucian diri juga dilakukan dengan pembagian zakat, infak, maupun sedekah pemudik untuk warga kurang mampu di kampung halamannya. Para pemudik memanfaatkan Lebaran sebagai penyucian harta mereka yang dihasilkan dari keringat mereka di kota. Bagi warga yang mampu secara ekonomi, mereka sering berbagi dengan sesama warga. Istilahnya adalah berbagi THR.

Di kalangan keluarga, THR sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam fenomena mudik. Anggota keluarga dari mulai anak-anak hingga dewasa berharap anggota keluarganya yang mudik dapat berbagi THR. THR adalah simbol berbagi kebahagiaan.

Menjelang mudik, berbagai bank menyediakan jasa penukaran uang yang memudahkan para pemudik untuk digunakan selama mudik. Penukaran uang tersebut salah satunya digunakan untuk berbagi THR di kampung halamannya.
Para pemudik juga membawa berbagai oleh-oleh lainnya untuk keluarga dan kerabat. Mulai dari pakaian, sepatu, perhiasan, makanan, hingga alat teknologi. Semua melengkapi proses penyucian diri para pemudik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar