Rabu, 31 Juli 2013

Guru Berkarakter Laut

Guru Berkarakter Laut
Sidharta Susila ;  Pendidik
KOMPAS, 30 Juli 2013


Sadar bahwa keberdayaan dan kebermaknaan hidup meniscayakan merawat keberagaman, guru berkarakter laut niscaya bagi pendidikan. Guru adalah lentera kehidupan dalam keberagaman. Ia suluh bagi anak didiknya untuk mengakrabi keberagaman suku, agama, dan ras, hingga menekuninya di jalan yang terang.

Akan tetapi, bukan keberagaman itu saja. Guru menjadi suluh atas keberagaman kondisi jiwa anak didiknya. Kompleksitas kehidupan, kemiskinan, pergaulan yang anyir oleh pembiaran beragam kekerasan, dan rapuhnya bangunan keluarga inti adalah keberagaman yang nyata pula.
Ketakberdayaan guru membangun karakter laut seringkali membuatnya gagal menjadi suluh kehidupan. Kita bisa merasakannya pada cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul Pelajaran Mengarang (Kompas, 5/1/1992).
Pada cerpen itu dikisahkan ibu guru Tati gagal menampung jiwa keruh Sandra muridnya. Ia justru uring-uringan karena setelah lewat empat puluh menit Sandra belum menuliskan ceritanya. Ia gagal menyerap pergulatan dan kegundahan jiwa muridnya. Sandra harus menuliskan cerita bertema ”Keluarga Kami yang Berbahagia”, atau ”Liburan ke Rumah Nenek”, atau ”Ibu”.
Bagi Sandra, itu tema yang sulit. Penyebabnya bukan karena Sandra tidak punya bahan untuk diceritakan, tetapi apakah kisahnya pantas dibaca gurunya. Pasalnya, Sandra anak seorang pelacur.
Tentang keluarga, Sandra mengalami suasana rumah yang berantakan, pengalaman bersama tamu-tamu mamanya yang dilayani di rumah. Tentang nenek, yang ia tahu adalah ibu menor di rumah kerja mamanya, yang sering dipanggil mami. Tentang ibu, ia punya banyak pengalaman dimaki ibunya setiap kali menanyakan tentang ayah dan pekerjaan mamanya.
Akhirnya Sandra hanya menulis sepotong kalimat: Ibuku seorang pelacur.  Dikisahkan ibu guru Tati berkesimpulan bahwa anak didiknya memiliki pengalaman masa kanak- kanak yang indah. Akan tetapi, ia belum sampai pada tulisan Sandra.
Karakter laut
Laut itu tak pernah menolak. Ia tampung apa saja ragam air yang mengalir padanya. Ia biarkan aneka air itu tinggal bersamanya. Bergulat bersamanya. Pada saatnya, karena terik matahari, air itu dibiarkan meninggalkannya hanya sebagai butir-butir air. Ya, hanya butir air, tanpa kotoran yang melekatinya saat memasuki laut.
Pendidikan yang dikelola oleh pendidik berkarakter laut sadar akan beragam kondisi para muridnya. Bukan hanya tampilan fisik yang disadari sebagai keberagamannya. Dalam kompleksitas kehidupan di negeri ini, beragam penggurat jiwa anak didik yang mesti disadari adalah meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, rapuhnya pengelolaan keluarga inti, kemiskinan, tidak mencukupinya persiapan membangun keluarga, kian menggilanya penistaan nasib janin dan bayi baru lahir, hingga pembiaran kekerasan SARA oleh negara.
Jiwa dan nurani anak-anak yang hadir di sekolah seringkali sarat beban. Bahkan seringkali mereka adalah representasi anak bangsa tak bertuan. Mereka hidup dalam belantara yang dipenuhi serigala kehidupan berbulu domba. Pemerkosaan anak oleh orang dewasa terdekat adalah kasusnya.
Libido kekuasaan yang kian tak terkendali seringkali memanfaatkan anak-anak dan pendidikan. Mereka dimanfaatkan bukan demi sesuatu yang substansi, tetapi semata-mata kontestasi demi membangun citra diri. Anak-anak hanyalah obyek.
Guru berkarakter laut
Sayangnya, seringkali para guru/pendidik juga telah sarat beban. Aneka pesanan pengelola lembaga pendidikan seringkali telah membutakan mata pendidik hingga tak mampu mengenali realitas kehidupan anak didiknya. Yang paling parah, seperti pada kisahPelajaran Mengarang itu, guru seringkali alergi hingga menolak realitas anak didik yang diwarnai ketidakwajaran normatif dan agamis. Guru pun hadir sebagai sosok yang gagap. Bukannya bersikap asertif menerima layaknya laut, ia justru menolak.
Kita terus memimpikan pendidikan yang kontekstual. Kita bermimpi terselenggaranya pendidikan yang tidak terasing dengan realitas kehidupan. Namun, kita juga berjuang untuk menjauhkan ragam upaya indoktrinasi dan pencucian jiwa serta nalar demi hasrat pribadi/kelompok.
Kita bermimpi pendidikan mampu memurnikan anak didik menjadi ciptaan yang unik. Seperti air sungai kotor yang akhirnya menguap sebagai hanya butir air setelah tiba di laut.
Awal tahun pembelajaran ini, demi keindonesiaan kita yang tertakdir beragam, juga sadar akan keberagaman aktual kondisi anak didik kita, beranikah para guru/pendidik berjiwa laut?
Dengan melepaskan hasrat dan ambisi pribadi yang menepikan keunikan pribadi dan keberagaman? Dengan terbuka menerima anak didik tanpa curiga dan kebencian, menyingkirkan watak jijik apalagi alergi pada liyan yang tak sepaham?

Pendidik yang tak berkarakter laut pastilah miskin pergulatan. Jiwanya melarat, bahkan beku. Padahal di situlah kekayaan sejati pendidik yang tak pernah terbeli. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar