Jumat, 26 Juli 2013

Kekerasan FPI (Merusak) Humanitas Agama

Kekerasan FPI (Merusak) Humanitas Agama
Joko Riyanto  ;   Koordinator Riset
Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitba) Solo
MEDIA INDONESIA, 25 Juli 2013


AKSI sweeping yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah, Kamis (18/7), berakhir bentrok dengan warga. Selama ini, dakwah dengan model kekerasan seperti sweeping itu dijustifikasi sebagai sebuah pembenaran karena aparat hukum tidak bersikap tegas untuk menangani penyakit-penyakit masyarakat dalam wujud kemaksiatan. Sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan lalu mengambil peran sebagai `polisi' dengan cara mereka sendiri. Seolah-olah terjadi pembenaran, sikap dan tindakan itu dilakukan karena kekecewaan terhadap ketidaktegasan aparat hukum.

Kepala negara menyesalkan sikap anarkistis anggota FPI terhadap warga Kecamatan Sukorejo itu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan aksi anarkistis yang dilakukan anggota FPI mencederai umat dan agama. Kekerasan dan main hakim sendiri yang mengatasnamakan agama Islam bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. “Islam tidak identik dengan kekerasan. Islam tidak identik dengan main hakim sendiri. Islam juga tidak identik dengan tindakan-tindakan perusakan. Sangat jelas kalau ada elemen melakukan itu dan mengatasnamakan Islam, justru akan memalukan agama Islam, mencederai agama Islam,“ tegas Presiden, Minggu (21/7).

Aksi anarkistis yang kerap dilakukan FPI memunculkan tuntutan agar organisasi masyarakat (ormas) tersebut dibubarkan. Tuntutan supaya FPI dibubarkan bukan yang pertama, melainkan telah berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Ada kesan di tengah masyarakat bahwa tidak hanya FPI, tetapi juga ormas anarkistis lainnya yang bertindak destruktif dan menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 13 UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) menyatakan bahwa ormas dapat dibekukan jika melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban, menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Pasal 15 secara tegas menyatakan bahwa pemerintah dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2 (tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal), Pasal 3 (tidak selaras dengan UUD 1945), Pasal 4 (tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam anggaran dasar), Pasal 7 (tidak mempunyai AD/ART, tidak menghayati, mengamalkan, mengamankan Pancasila, dan UUD 1945 serta tidak memelihara persatuan dan kesatuan bangsa). Selanjutnya, tata cara pembekuan dan pembubaran ormas diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 17).

Sejumlah kelemahan

Namun, kelemahan dari UU No 8/1985 adalah pemerintah hanya bisa menegur dan membina ormas-ormas yang berbuat anarkistis. Apabila hingga tiga kali teguran tertulis berdasarkan wilayah kabupaten/kota, provinsi, nasional tidak mampu mengubah perilaku organisasi, pemerintah meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) untuk membekukan atau membubarkan organisasi itu. Demikian pula dalam UU Ormas yang baru telah disahkan. Ormas dapat dibubarkan apabila kembali melakukan tindakan pidana setelah dilakukan pembekuan kegiatan publik. Pembubaran dapat dilakukan MA dalam jangka waktu 14 hari terhitung setelah usulan pembubaran ormas diterima MA. Dengan demikian, `menuju Indonesia tanpa FPI' tidak mudah dan berliku-liku.

Hemat saya, pembubaran ormas anarkistis akan sia-sia jika dilakukan dalam kondisi demokrasi liberal seperti saat ini dengan UU yang tengah berlaku.
Kita berharap ada perbaikan dari FPI. FPI yang mengatasnamakan Islam secara terangterangan bertindak tanpa mengedepankan cara-cara Islam yang ramah dan damai. Apakah Islam mengajarkan kekerasan? Agama bukanlah alat perusak. Agama tercipta untuk menebar cinta dan kedamaian.

Strategi dakwah radikal yang diusung FPI sejatinya tak layak dipertahankan dan dijadikan wahana dalam menegakkan hukum. Terlebih lagi sebagai upaya menuju jalan kebenaran, yakni amar ma'ruf nahi munkar, sungguh tidak mencerminkan ajaran agama Islam yang menebar cinta kasih bagi semesta alam (rahmatan lil `alamiin).

Padahal, Islam mengajarkan semangat untuk sikap toleransi. Toleransi Islam sering dihubungkan dengan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama“ (QS Al-Baqarah, 2: 256). Firman Allah ini menurut Ibn `Abbas turun sehubungan dengan kasus seorang Anshar bernama Husayn yang memaksa kedua anaknya yang memeluk Kristen agar pindah ke agama Islam. Namun, kedua anaknya menolak paksaan itu. Kemudian, ayat ini turun merespons secara eksplisit bahwa pemaksaan keyakinan adalah tindakan terlarang.

Semangat toleransi Islam yang menolak paksaan juga dikukuhkan oleh firman Allah dalam Surah Yunus (10:99). Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah alra'yi wa al-i'tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta'ayusy/coexistence) (Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama, 2011, hal 24).

Jangan memaksa

Bila belajar dari dakwah Nabi Muhammad, dakwah beliau sejatinya menekankan kearifan. Asumsi tentang Islamisasi yang berlandaskan teologi eksklusif tidaklah terlihat. Dalam sejarah dapat disaksikan sering kali beliau tidak memaksakan dakwahnya kepada golongan apa pun termasuk nonmuslim. Oleh karena itu, sungguh tidaklah layak bila FPI berbuat intimidasi dan kekerasan baik terhadap sesama muslim maupun nonmuslim dengan menggunakan dalih-dalih agama.
Tindakan ini justru hanya akan merusak nilai-nilai spiritualitas dan humanitas agama sendiri serta keharmonisan tatanan sosial. Tindakan FPI bertentangan dengan prinsip Islam (laa ikraaha fiddin) yang tidak membenarkan pemaksaan kehendak, bahkan untuk urusan agama.

Oleh karena itu, FPI perlu mengubah cara-cara pendekatan, garis perjuangan dan dakwahnya. Berbagai kecaman dan tuntutan penolakan terhadap FPI harus dijadikan refleksi diri. Aksi FPI yang cenderung anarkistis dalam bentuk apa pun dan berdalih agama tidak akan mendapat pembenaran oleh akal sehat, agama, dan hukum.


Saatnya FPI untuk menanggalkan cara-cara kekerasan sebagaimana firman Allah SWT, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan tutur kata yang baik“ (ud'uu ilaa sabiili rabbika bil hikmati wal mau'idzotil hasanah). Alangkah baiknya, FPI ikut berjuang mengatasi persoalan mendasar bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan persoalan lainnya. Bukankah hal ini justru mengundang simpati publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar