Jumat, 26 Juli 2013

Komunikasi dan Rekonsiliasi

Komunikasi dan Rekonsiliasi
Syafiq Basri Assegaff  ;   Konsultan Komunikasi, 
Pengajar di Universitas Paramadina
INILAH.COM, 25 Juli 2013


Inilah salah satu berita menarik bagi kelompok minoritas di Indonesia, khususnya sekitar 3-4 juta umat Islam yang menganut mazhab Syiah.

Hari Minggu (14 Juli) malam lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima lima orang perwakilan Syiah Sampang di Puri Cikeas Indah, Bogor. Di kediamannya itu SBY mengatakan, pemerintah akan mengupayakan langkah rekonsiliasi dan mengembalikan pengungsi asal Sampang, Madura, itu ke kampung halamannya.

Setelah sebelumnya terbit permohonan untuk bertemu dengan SBY, "Presiden ingin mendengar langsung harapan, aspirasi, dan keluhan mereka," kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kepada media, Selasa (16 Juli).

Tentu saja pengungsi yang bertemu SBY itu gembira. "Kami senang bertemu Presiden. Usaha kami mengayuh sepeda dari Sampang, dan aksi di depan istana tidak sia-sia," kata Muhammad Rosid, pengungsi Sampang di Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (ABI), Jakarta, Selasa lalu. ABI adalah salah satu organisasi massa Islam mazhab Syiah di Indonesia.

Sejalan dengan itu, sebagaimana diberitakan Inilah.Com (16/7), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, dalam proses rekonsiliasi antara penganut Syiah dengan warga sekitar di Sampang, ini sedang dicari format yang tepat.

Menurut Djoko, tim rekonsiliasi yang diketuai Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Abd A'la, dan Pemda Jawa Timur kini sedang menggodok opsi yang ditawarkan. Diharapkan, upaya rekonsiliasi ini bisa memberi harapan pengungsi Syiah Sampang ini untuk kembali ke daerah asal mereka sesuai

‘Dialog’ sebagai Komunikasi Etis

Kita mencatat bahwa dalam upaya rekonsiliasi itu, komunikasi yang dijalin antara pihak yang berkepentingan mesti berlangsung dua-arah (two-way communication), menjunjung azas praduga tak bersalah,serta mengutamakan dialog dan bukannya advokasi semata.

Yang terakhir ini penting, karena ada beda yang jelas antara ‘dialog’ dan ‘advokasi’. Sebagai sebuah filosofi, “dialog” bermula pada zaman Yunani kuno, dengan adanya argumen klasik para filosof seperti Aristoteles, Plato dan Socrates.

“Dialogue” adalah pemaknaan alami untuk setiap diskusi mengenai etika karena banyak pakar (seperti Grunig dan Habermas) berpendapat bahwa dialog itu sejatinya memang bersifat etis.

Mereka menganggap dialog sebagai sebuah cara komunikasi yang etis, karena di situ ada diskusi ‘memberi dan menerima’ (give and take) yang menyediakan kesempatan bagi setiap pihak untuk menyumbang masukan (input).

Lazimnya sebuah diskusi berakhir pada sebuah kebenaran atau mengungkapkan ‘dasar-dasar kebenaran’ -- yang tadinya tersembunyi – sehingga bisa disetujui semua pihak.

Ide-ide akan dievaluasi pada kelebihan atau keunggulan yang ada, dan bukan sekadar evaluasi (penilaian) berdasarkan posisi saja. Lewat evaluasi ide-ide yang diperbandingkan keunggulannya itu, sebuah kebenaran akan muncul ke permukaan.

Ini beda dengan advocacy, karena advokasi menggantungkan diri pada posisi, seolah ada pihak yang ‘di atas’ (atau yang ‘pasti benar’) dan ada pihak yang ‘di bawah’ (atau ‘pasti salah’).

Dengan kata lain advokasi tergantung pada pihak 'boss' atau klien yang diwakili tim atau kliennya, ketimbang kepada pihak lain atau semua pihak. Dengan demikian, posisi advokasi bisa sejalan atau tidak sejalan dengan kebenaran, dan ia bermula dari sebuah bias yang ada pada diskusi, sehingga akan gagal dalam uji etika.

Sebuah dialog dapat juga berpotensi mencapai kebenaran yang negative (tidak menguntungkan) bagi salah satu pihak saja, misalnya kelompok mayoritas atau 'boss' sang perunding semata-mata, karena argumen-argumen keunggulan (nilai lebih), dan ia tampak etis karena tidak mengutamakan salah satu pihak di atas pihak lain.

Dialog dapat dilihat sebagai proses mencari pemahaman dan hubungan baik,dengan potensi untuk menyelesaikan dilema etika melalui penciptaan kebenaran bagi semuanya.

Banyak praktisi komunikasi (seperti juru runding dalam sebuah rekonsiliasi) yang lebih suka pada advokasi, dan akan menentang cara-cara dialog, karena mereka yakin bahwa organisasi yang diwakilinya akan dapat menunjukkan fakta-fakta yang berkaitan dengan sebuah masalah dan ‘merayu’ publiknya untuk mengerti dan menyetujui interpretasi mereka.

Sebagian pakar menganggap bahwa peran advokasi komunikan (atau juru runding rekonsiliasi ) itu mirip dengan penasihat hukum (lawyer), di mana ‘pendekatan persuasive memegang peran yang sangat penting’.
Namun demikian, hal ini tidaklah murni karena ia menekankan pada persuasi satu-pihak – dan tidak memberikan kesempatan bagi keabsahan fakta-fakta yang bertentangan yang muncul dari luar diri (organisasi)-nya atau dari pihak lainnya. Advokasi sering kali sulit karena ia mengaburkan antara loyalitas kepada pimpinan (atau klien) dan loyalitas terhadap kebenaran.


Oleh karena itu dalam kasus Sampang dan kasus-kasus masalah minoritas lainnya, kita berharap akan terjadi dialog yang terbuka dan fair, dan jangan seperti yang selama ini terjadi, ketika dialog yang demikian itu nyaris tidak pernah dilakukan antara pihak yang berselisih. Jangan sampai pimpinan proses rekonsiliasi mudah termakan isu yang mengandung tuduhan sepihak, provokasi atau fitnah-fitnah yang ‘prematur’ karena belum pernah diuji kembali, atau pun didialogkan bersama dengan menjunjung azas praduga tak bersalah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar