Selasa, 30 Juli 2013

KPK, Magsaysay, dan MA

KPK, Magsaysay, dan MA
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel; 
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
JAWA POS, 29 Juli 2013

  

MILITANSI KPK tak hanya memesona rakyat Indonesia. Sepak terjangnya yang garang dan tak mengenal kompromi membuat lembaga antirasuah itu menjadi satu dari lima penerima Ramon Magsaysay Award (RMA) 2013 (26/7). Penghargaan prestisius ini pernah diterima, antara lain, Mochtar Lubis (wartawan jihad antikorupsi), Gus Dur, dan juga Buya Syafi'i Maarif. Seperti dikenal, award  yang diambil dari nama presiden ketiga Filipina yang berintegritas ini kerap dijuluki "Nobelnya Asia". 

KPK dianggap berhasil menggabungkan penindakan korupsi tanpa kompromi terhadap elite kekuasaan, mampu mereformasi sistem pemerintahan, serta sosialisasi yang edukatif atas kesiagaan, kejujuran, dan partisipasi aktif masyarakat Indonesia. 

Penghargaan terhadap KPK ini merepresentasikan dukungan moral dunia internasional terhadap masyarakat Indonesia yang sedang berusaha kuat keluar dari epidemi korupsi. Apalagi, korupsi telah disepakati (kecuali oleh koruptor dan komplotannya) sebagai musuh bersama. 

Kita menyaksikan, langkah KPK membuat beberapa lembaga politik dan elite kekuasaan tengah mengalami trauma psikopolitik dan hilangnya separo akal ketika langkah kerja KPK mulai menyentuh kebusukan lembaga/partainya. Maka, kewenangan penyadapan KPK hendak dikebiri dan eksistensi KPK diserang melalui pencitraan negatif. Padahal, misi KPK adalah semangat batiniah rakyat. Melukai KPK sama halnya melukai hati rakyat yang sejak dahulu mendamba korupsi enyah.

Pesona memukau KPK dalam melaksanakan amanat konstitusi mestinya dijadikan kiblat bagi lembaga penegak hukum lain. Semangatnya untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah perlu ditiru. Menyedihkan bila aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim, juga pengacara justru kerap menjadi sasaran pemberantasan korupsi oleh KPK. 

Kasus korupsi Korlantas yang menjerat petinggi Polri menunjukkan bahwa aparat hukum bisa berperan ganda sekaligus sebagai pembangkang hukum. Begitu pula ketika KPK menetapkan Asmadinata dan Pragsono sebagai tersangka dugaan suap penanganan perkara penyimpangan anggaran DPRD Grobogan, Jawa Tengah, meneguhkan anggapan bahwa peran hakim sebagai penegak keadilan bisa menjelma sebagai pengkhianat hukum. 

Ironi memang terus merundung dunia hukum kita. Ketika KPK mendapat award, ketika orang beriman khusyuk menjalankan ibadah puasa Ramadan, kita terhenyak oleh berita penangkapan seorang pengacara dari sebuah kantor hukum terkemuka oleh KPK karena diduga terlibat transaksi penyuapan dengan melibatkan pegawai Mahkamah Agung (MA). Staf diklat MA itu juga diciduk KPK di sekitar kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (25/7), saat membawa tas cokelat berisikan uang sekitar Rp 78 juta (plus temuan Rp 50 juta di rumahnya). 

Jelas, praktik dugaan memperjualbelikan keadilan pada tataran tertentu mempertontonkan keterpurukan dan kemerosotan moral penegak hukum. Tak ada hari tabu buat melakukan kedurjanaan ini. Seharusnya bulan suci Ramadan menjadi momentum proses detoksifikasi racun jiwa agar terbebas dari syahwat dunia.

Apalagi dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim maupun kode etik advokat disebutkan bahwa profesi keduanya sangat terhormat dan mulia sehingga harus menghormati kemuliaan profesi. Hakim juga dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak lain di bawah pengaruh, petunjuk, atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk meminta atau menerima pemberian apa pun dari advokat sehubungan dengan hal yang berkaitan dengan tugas fungsinya. 

Persoalan suap yang terus berulang seharusnya menjadi momentum bagi MA untuk memetakan secara serius kekuatan yang tersisa dari lembaga peradilan dalam memerangi gurita rasuah. Khawatir para panglima hukum yang selama ini gigih menegakkan keadilan tanpa sadar jumlahnya lebih sedikit daripada skuad pengkhianat hukum yang licik. Mental korup bisa menyebabkan kasus akan cenderung dimenangkan oleh kelompok borjuis beruang. Adapun masyarakat miskin rentan menjadi korban. Hal ini akan berdampak pada rusaknya segala tatanan hukum dan hilangnya kepercayaan publik. 

MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah institusi yang memiliki kekuasaan besar dalam menentukan arah penegakan hukum. Lembaga tinggi negara ini bertugas menjaga beberapa pilar dasar. Hasil konsorsium internasional tentang keunggulan peradilan menyebut pilar manajemen pengadilan dan kepemimpinan, kebijakan pengadilan, sumber daya manusia yang bermuara pada peningkatan kepercayaan dan keyakinan publik.

Dalam kasus terbaru, secara hierarkis rasanya tidak mungkin pegawai MA maupun pengacara yang tertangkap itu bermain sendirian. Bisa saja keduanya hanya sebagai perantara dari aktor sesungguhnya di MA maupun kantor advokat. 

Yang patut ditekankan, haram seharam-haramnya memberikan keringanan hukuman pagi para pencoreng wajah peradilan. Mereka yang terlibat mafia peradilan layak dihukum seberat-beratnya karena melanggar etika profesi dan kemanusiaan. Tindakan kuratif amputasi sangat diperlukan untuk mengikis praktik mafia peradilan yang kian menggurita dan kronis. 

Upaya membongkar praktik semacam itu harus dimulai dari MA sebagai institusi tertinggi lembaga peradilan. Sebab, layaknya ikan, pembusukan biasanya berawal dari kepala yang menjalar hingga ke ekor. MA adalah kiblat bagi empat lembaga peradilan di bawahnya yang secara moral-institusional harus mampu mencitrakan peradilan bersih. Lembaga penegak hukum, khususnya MA, tak perlu malu meneladani jejak militansi KPK melayani jeritan hati rakyat untuk penegakan keadilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar