Rabu, 31 Juli 2013

KPK, Tipikor, dan Pencucian Uang

KPK, Tipikor, dan Pencucian Uang
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Unpad
          KOMPAS, 31 Juli 2013

Harian Kompas, 27 Juli 2013, menerbitkan artikel kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ”KPK dan Pencucian Uang”, yang intinya menjelaskan bahwa jaksa pada KPK berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang dengan alasan bahwa Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, een ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI.

Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan adalah landasan tugas dan wewenang di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan”. Penjelasan ini menguatkan keyakinan penulis bahwa prinsip itu tidak berlaku bagi jaksa yang ditugasi di KPK, sejalan dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK. Ayat tersebut menegaskan bahwa, antara lain, penuntut umum pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK.

Pasal 39 Ayat (2) antara lain menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah (pemimpin KPK) dan bertindak untuk dan atas nama KPK, bukan berdasarkan perintah jaksa agung dan untuk dan atas nama Kejaksaan. Berdasarkan ketentuan itu, semakin jelas bahwa sepanjang mengenai wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tipikor dilakukan oleh penyidik dan penuntut KPK, alasan prinsip dalam Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan tak berlaku bagi jaksa penuntut umum KPK.

Dalam konteks ini, kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaitkannya dengan wewenang penuntut KPK dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Diakui juga bahwa tidak disebutkan tegas dalam UU TPPU, tapi tak berarti (jaksa) KPK tak berwenang menuntut TPPU.
Menurut penulis, rumusan terbaik dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.

Ketentuan Pasal 51 Ayat (3) UU KPK yang dirujuk kepala PPATK dalam artikelnya itu tidak ada hubungan dengan prinsip ”satu dan tidak terpisahkan”, sejalan dengan ketentuan yang memberhentikan sementara, antara lain, jaksa penuntut umum dari instansi Kejaksaan (Pasal 39 Ayat (2) UU KPK).

Makin jauh

Jika pandangan kepala PPATK bahwa hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan maupun yang di KPK, dan kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU TPPU mengacu pada hal yang sama, maka dalam pemberantasan korupsi dan TPPU, ada dua jaksa agung: jaksa agung pada Kejaksaan dan ”jaksa agung” pada KPK. Makin jauhlah prinsip ”satu dan tidak terpisahkan” dalam penuntutan.

Pada Pasal 68 UU TPPU tersua ungkapan ”kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini”. Kata ini harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU TPPU, bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK. Arah Pasal 68 UU TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian pada Pasal 68 UU TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan penyidik KPK, Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak termasuk wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.

Pasal 75 UU TPPU hanya memberi mandat kepada penyidik asal untuk menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan penuntutan. Tidak ada satu pun penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU TPPU 2010 yang memuat penjelasan kepala PPATK dalam artikel itu sehingga menjadi tanda tanya apakah kekosongan hukum pada wewenang KPK untuk melakukan penuntutan TPPU merupakan kekeliruan atau kelalaian atau mungkin kesengajaan tim penyusun UU TPPU tahun 2010.

Coba bandingkan dengan wewenang penyidik dan penuntut dalam UU No 30/2002 tentang KPK (Pasal 38 jo Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 51) yang tegas dan jelas memberi mandat kepada penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK dalam perkara tipikor. UU KPK adalah UU mengenai Kelembagaan atau UU Organik. Begitu pula UU Pengadilan Tipikor sehingga pemberian kewenangan yang diperluas seharusnya dimasukkan di dalam UU tersebut. Tidak pada UU lain yang tak ada kaitan dengan pengaturan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kelembagaan.


Putusan MK terhadap Bab VII UU KPK di bawah titel ”Pemeriksaan di Sidang Pengadilan” yang memuat pembentukan Pengadilan Tipikor dan kewenangannya telah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 karena tidak ada jaminan kepastian hukum. Akhirnya ditetapkanlah UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor. Perluasan wewenang penuntutan KPK dalam perkara TPPU hanya diatasi dengan melakukan perubahan terhadap UU KPK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar