Rabu, 31 Juli 2013

Memaknai Persepsi Pasar

Memaknai Persepsi Pasar
Henny Galla Pradana ;  Wartawan ekonomi Jawa Pos
JAWA POS, 30 Juli 2013



SEORANG analis saham geram. Dia memang terkenal sebagai sosok analis dengan statement tajam di kalangan pewarta bursa saham. Tajam artinya sering menentang pergerakan saham-saham perusahaan yang dia anggap tidak jujur dalam berdagang di pasar modal.

Kali ini sang analis menyoroti sentimen negatif yang melulu melingkupi pasar modal. Dalam surat elektroniknya, dia menuliskan gerak historikal indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 13 Juni 2013, yang turun lebih dari 10 persen, yakni dari level 5.200-an ke sekitar level 4.600.

Namun, ada yang menarik pada hari itu. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan melontarkan statement ke media yang intinya pemilik uang yang besar, termasuk dana-dana pensiun BUMN, supaya membeli saham blue chip. Hal ini lantaran harga saham blue chip sedang turun dan nanti diprediksi naik lagi. Tak hanya itu, upaya membeli saham itu dinilai juga dapat menahan dolar AS, dan membantu penguatan rupiah. "Nah, terserah sampai naiknya berapa. Kalau nanti itu menguat, pekan depan kan bisa jual. Hukum ekonominya begitu," tambah Dahlan yang kala itu berada di Nusa Dua, Bali. 

Kondisi pada pertengahan Juni 2013 lalu itu nyaris seperti yang terjadi sekarang. Saat ini, menurut si analis, pasar modal sedang dalam tren bearish. Rilis kinerja perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada paro pertama 2013, diramal tak mampu menghijaukan harga saham-saham di bursa. Ini karena keluarnya kinerja semester pertama berbarengan dengan kondisi rupiah yang sedang "gemetaran". Risikonya, bahkan dinilai terlalu besar. 

Rentan Sentimen 

Sepekan lalu gerak IHSG memang jauh lebih buruk daripada pekan sebelumnya. Jika pada pekan kedua Juli IHSG berhasil bergerak naik 91,30 poin atau 1,97 persen, sepanjang minggu ketiga Juli IHSG terkoreksi habis-habisan, anjlok 65,54 poin setara minus 1,39 persen. 

Alasan turunnya indeks acuan saham tidaklah tunggal. Modal asing yang berbondong-bondong hengkang dari portofolio, tekanan jual terhadap saham-saham blue chip yang berkapitalisasi pasar besar, hingga faktor sentimen ada di dalamnya. Faktor yang disebut terakhir inilah yang sedang ditekankan oleh si analis.

Pasar modal sendiri sejatinya sangat rentan terhadap sentimen. Baik sentimen eksternal maupun internal, yang merupakan sentimen positif ataupun negatif. Semua sentimen tersebut berpengaruh signifikan terhadap naik-turunnya IHSG. Misalnya, pada perdagangan 13 Juni 2013, IHSG langsung melorot 90,22 poin (1,92 persen) ke level 4.607,66. Dalam periode itu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke posisi 6 persen. 

Sentimen negatif hanya sampai di situ. Pada 18 Juni 2013, Kepala Bank Sentral AS Ben Bernanke mengonfirmasi adanya penghentian stimulus moneternya. Dana quantitative easing (QE) USD 85 miliar yang selama ini ikut dinikmati negara berkembang, termasuk Indonesia, bakal ditarik perlahan mulai September tahun ini. Tak pelak, pergerakan saham di BEI pasca pernyataan Bernanke tersebut langsung mengendur. Dorongan sentimen eksternal itu memicu IHSG terjerembap ke zona merah, dengan penurunan 176,66 poin atau 3,67 persen ke level 4.629,99. 

Belum lagi pada malam akhir pekan, 21 Juni 2013, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Perdagangan saham emiten pasca pengumuman mayoritas mengalami turbulensi lantaran kekhawatiran akan tingginya inflasi. Pada 24 Juni 2013 IHSG pun melemah 85,91 poin (1,90 persen) ke level 4.429,46. 

Mengawal Interpretasi 

Kerentanan gerak saham terhadap sentimen ini yang sekarang sebetulnya harus diwaspadai. Ini karena investor tentu tak luput dari masalah persepsi: sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan sensoris mereka, yang akhirnya memberikan sebuah pemaknaan bagi apa yang terjadi di lingkungan. Dengan demikian, perilaku individu itu sering didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri. 

Tak mengherankan jika pada 25 Juli lalu justru investor lokal yang lebih banyak menarik dananya dari bursa. Interpretasi mereka terhadap nilai tukar rupiah yang semakin terperosok dalam, memicu aksi jual saham mencapai Rp 3,1 triliun, dengan total jual bersih (net sell) Rp 86 miliar. Padahal, di sisi lain, investor asing masih mengakumulasi saham dan mencatatkan beli bersih (net buy) Rp 85,6 miliar. 

Nah, dalam hal inilah maksud si analis tentang pernyataan menteri BUMN berhasil ditangkap. Bahwa seorang pejabat publik (atau pengamat ekonomi sekalipun) sangat memiliki daya gedor untuk menjagamood pasar, dengan membentuk persepsi bahwa rupiah tetap terjaga. Bukan sebaliknya, mengantarkan statement rupiah yang bakal terus tergerus, dan menembus level pelemahan baru-yang seolah-tiada-akhir. 

Bank sentral sebetulnya juga sudah mengupayakan hal yang sama. Meski sempat ada pernyataan bahwa rupiah akan bergerak menuju titik keseimbangan (ekuilibrium) baru dan mengurangi intervensinya untuk mengguyur dolar ke pasar, sebetulnya otoritas moneter tersebut tak betul-betul mencabut intervensinya. Salah satunya BI telah mengadakan lelang Foreign Exchange (FX) Swap dan berhasil menghimpun miliaran dolar. 

Yang terpenting juga adalah adanya upaya BI menjaga persepsi publik. Saat ini BI sangat responsif terhadap kabar pelemahan rupiah. Pada periode 23 Juli 2013 rupiah melemah tajam ke level Rp 10.220 per USD. Hari itu juga BI mengunggah siaran pers berisi pelemahan rupiah yang menuju level keseimbangan baru, masih sejalan dengan perkembangan fundamental ekonomi. 

Kabarnya, hari-hari ini untuk membentuk persepsi itu, BI juga ketat mengawasi media. Para pengamat ekonomi yang melontarkan opini di media massa tentang pelemahan rupiah langsung mendapat "respons" dari BI. Yang terpenting, sumber yang tak dapat disebut namanya, berkata kepada Jawa Pos di acara buka bersama salah satu bank BUMN: "Gubernur BI saat ini sangat menjaga apa yang beredar di media. Semua kebijakan BI akan sangat berpengaruh pada publik. Karena ini semua ini soal persepsi," ungkap sumber tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar