Jumat, 26 Juli 2013

Memperluas Inklusifitas Beragama

Memperluas Inklusifitas Beragama
Benny Susetyo ;   Rohaniwan dan Pengamat Sosial
KORAN JAKARTA, 25 Juli 2013
  

Agama mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender. Di luar itu, agama hanya menjadi sebuah alat pemujaan.


Sudah 15 tahun reformasi berjalan, tetapi rakyat seperti tidak mendapat manfaat apa-apa. Padahal, reformasi dimaksudkan agar ada perubahan mendasar dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat. Ironisnya, kehidupan politik yang lebih demokratis juga tidak sejalan dengan rasa nyaman beragama. Eskalasi kekerasan atas nama agama terus meningkat setelah masa reformasi. Dalam berbagai pertistiwa kekerasan karena fundamentalisme agama, negara justru seolah absen.

Kelompok-kelompok masyarakat tertentu begitu saja dengan mudah menyerang masyarakat lain yang tidak seagama, tidak sealiran atau sepaham. Warga Ahmadiyah dan syiah menjadi salah satu kelompok yang menjadi sasaran kekerasan. Di sejumlah daerah, rumah dan tempat ibadah mereka dihancurkan, sering kali juga diikuti pembunuhan.

Di Sampang, Madura, kelompok Tajul Ali Murtahdo, yang penganut Syiah, diserang puluhan orang yang membawa pentungan dan celurit. Rumah-rumah mereka dihancurkan karena perbedaan keyakinan di mana sebagian besar warga sekitarnya penganut Suni. Masihkah perbedaan menjadi ancaman dalam kehidupan bersama di bumi tercinta ini?

Pluralitas di Indonesia adalah berkah tak ternilai dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sayang, manusia sering salah menerjemahkan rahmat tersebut sehingga kerap menjadi bencana. Bukanlah Tuhan yang menganugerahkan bencana, melainkan manusia yang memiliki cara pandang sempit (miopik) yang sering menyelewengkan rahmat tersebut menjadi bencana. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang menilai cara pandangan pluralitas ditegakkan. Bagaimana individu dan kelompok tertentu memandang lainnya. Semangat keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius dan sering membuat pluralitas dibengkokkan menjadi pontensi bencana daripada rahmat.

Keberagamaan yang demikian akan menjebak umat hanya kepada saudara-saudara seagama (in group feeling) dan menomorduakan saudara dari agama lain. Lahir sikap tidak objektif dalam memandang yang ada di luar agamanya. Lahirlah primordialisme sempit yang mengakibatkan berbagai konflik sosial politik dengan implikasi kekerasan yang membawa-bawa agama.

Tentu perlu disadari bahwa agama yang bersifat primordial akan selalu menegasikan aspek pluralitas. Selanjutnya, ini menghilangkan moralitas manusia yang paling asasi. Perlu disadari bahwa agama menolak segala macam kebencian, balas dendam, kepicikan, pembunuhan, pemaksaan, perampokan, dan kerusuhan. Agama mengembangkan sikap kebaikan, belas kasihan, solidaritas, persaudaraan universal tanpa membedakan asal-usul suku dan budaya, ras maupun gender. Di luar itu, agama hanya menjadi sebuah alat pemujaan (cult).

Ancaman 

Agama diturunkan ke bumi untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama mana pun yang ingin membuat onar, ketakutan, mencekam, pembunuhan, sadistis, dan perusakan. Sebelum ada agama, masyarakat dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, dan saling membunuh.

Kemudian, agama datang membawa cahaya kedamaian bagi manusia. Agama hadir untuk menciptakan ketenteraman agar manusia saling menghormati dan memahami. Maka, logikanya, antaragama dan kepercayaan semestinya saling menghormati.

Namun sayang, dari dulu lalu hingga kini, agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam memotret agama lain. Antaragama jarang menemukan titik temu atas realitas perbedaan. Lalu, terjadilah konflik yang merugikan orang tak bersalah. Pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian, tentu sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena sudah mengalami politisasi dan fanatisme.

Dialog antar-agama dan komunikasi antar-iman sangat vital demi menyelesaikan konflik. Dialog menjadi konsep yang meghargai keyakinan setiap orang. Konsekuensinya menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan dalam memahami hakikat atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan guna meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, harus memperluas inklusifitas (terbuka) visi religiositas kaum beragama.

Humanisme

Agar agama-agama mampu menghadapi tantangan global masa depan harus benar-benar mengembangkan humanistik dan terbuka. Kebenaran suatu agama adalah milik tiap-tiap pemeluknya. Sementara itu, penghargaan dan penghormatan pada agama lain menjadi prioritas yang tak dapat ditawar. Sikap demikian akan mengeliminasi sikap "anti"terhadap agama lain.

Agama tak boleh kehilangan sikap profetis ini agar dapat mengembangkan humanisme. TH Sumartana almarhum (1996) mengatakan bahwa diskursus antaragama menekankan, manusia terpanggil bukan hanya untuk membuat agenda sosial politik, tetapi agenda teologi sebagai kesatuan integral.

Dengan demikian, tugas teologi memunculkan kebersamaan agama-agama dalam menjaga dan mempertahankan martabat manusia dari ancaman terutama yang datang dari diri sendiri. Di era orde baru (orba), masyarakat sering sedih karena agama selalu direduksi dan dipolitisasi. Doktrin agama tentang kedamaian direduksi menjadi sebentuk fundamentalisme, yaitu hasil dari proses politisasi dan fanatisasi agama.

Reduksi akan melahirkan sebuah paham keagamaan yang terjebak dalam konfrontasi dengan kelompok lain. Keberagamaan terjebak pada bentuk formalisme ritus. Akibatnya agama justru terasing dari persoalan kehidupan karena agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal.

Maka, di sini penting mengutip pendapat JB Banawiratma (1996) bahwa memandang agama perlu melihat dengan huruf kecil dan besar. Dalam "agama" (a kecil) ajaran diberikan agar manusia beriman kepada Tuhan yang memberi hidup. Dalam "Agama" (A besar) para pengikut cenderung membakukan ajaran-ajaran yang normatif. Mereka membangun institusi dan memperlakukannya secara ekstrem. Agamanya benar sendiri dan berlaku umum. Agama lainnya, salah.

Beragama secara ekstrem akan menutup peluang saling menghormati dan bekerja sama demi mengembangkan kemanusiaan yang bermartabat. Barangkali radikalisme terkait tafsir-tafsir atas teks agamis melulu tulisan, bukan kontekstual. Ayat suci agama tidak diorientasikan mengikuti perkembangan kemanusiaan, sebaliknya perkembangan kemanusiaan yang harus mengikuti ayat. Ini membawa akibat kebekuan dan rigiditas pikiran kaum beragama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar