Rabu, 31 Juli 2013

Menafsir Pemilu Kamboja

Menafsir Pemilu Kamboja
Hamid Awaludin  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
          KOMPAS, 31 Juli 2013


Pemilihan umum kembali digelar di Kamboja, 28 Juli 2013. Rakyat Kamboja memberikan suara mereka untuk memilih 123 anggota Majelis Nasional, yang selanjutnya akan memilih perdana menteri. Kalau kita ingin memberikan apresiasi kepada rakyat Kamboja dan pemerintah, kinilah saatnya.

Selama kampanye berlangsung sebulan penuh, baru pemilu kali ini politik Kamboja tak disertai kekerasan dan darah. Malah, dalam banyak kesempatan dan tempat, massa pendukung partai berkuasa (Cambodian People’s Party), yang dipimpin Hun Sen, sering bertemu secara bersamaan dengan massa partai oposisi (Cambodian National Rescue Party) yang dipimpin Sam Rainsy. Kedua massa itu hanya saling mengacungkan jari menunjukkan nomor urut partai mereka.

Pemilu kali ini tampaknya berpihak kepada oposisi. Kendati oposisi kalah, perolehan suara mereka naik secara signifikan. Pada Pemilu 2008, partai oposisi memperoleh 26 kursi, sementara partai Hun Sen mendapatkan 90 kursi. Pemilu 2013 ini, kelompok oposisi meraih 55 kursi dan partai berkuasa 68 kursi. 

Secara persentase, partai berkuasa memperoleh 55 persen, partai oposisi mendapatkan 45 persen suara.
Beberapa jam sebelum pemungutan suara dimulai, di kota Phnom Penh, para pemantau internasional pemilu Kamboja yang dipimpin Jusuf Kalla bertemu dengan pemimpin oposisi, Sam Rainsy, di markas besarnya. Rainsay berbicara hanya memaki-maki kecurangan proses pemilu. Hal itu misalnya keberpihakan lembaga pelaksana pemilu, cacatnya daftar pemilih, dan adanya intimidasi. Rainsy malah menyesalkan mengapa banyak pemantau internasional datang menyaksikan pemilu yang sangat cacat dan sia-sia itu.

Kala itu saya bertanya ke Rainsy, ”Apa yang terjadi bila Anda menang, atau perolehan suara Anda naik dalam pemilu kali ini. Bagaimana Anda membenarkan kemenangan atau kenaikan suara Anda kelak itu dengan proses pemilu yang penuh cacat, seperti yang Anda kemukakan itu?” Tak ada yang menyangka saya bertanya seperti itu. Rainsy menjawab tanpa ragu: ”Tak mungkin kami bisa menang atau menaikkan suara kami dengan pemilu yang cacat. Karena itu, tidak perlu saya jawab Anda,” katanya.

Kenaikan suara oposisi mengandung dua hal. Pertama, pihak oposisi dari awal tidak menyangka bisa memperoleh suara dari rakyat yang begitu besar. Bisa jadi, pihak oposisi tidak siap menerima dan mengelola kenaikan suara mereka itu. Kedua, segala tudingan dan keraguan kaum oposisi mengenai proses pemilu diragukan kebenarannya.

Mengapa oposisi naik?

Pertama, isu politik yang mereka lemparkan sangat telak menohok partai berkuasa. Sebagaimana selalu dikemukakan Rainsy ketika kami bertemu, partai berkuasa sebaiknya tidak dipilih karena mereka adalah bagian dari masa lalu yang kelam dengan tangan yang berlumuran darah. Hun Sen dan lain-lainnya adalah mantan aktivis Khmer Merah yang telah membantai jutaan rakyat Kamboja. Isu ini memang sangat sensitif bagi rakyat Kamboja hingga kini. Sebenarnya, justru Hun Sen telah membelot dari Khmer Merah dan bersekutu dengan Vietnam mengenyahkan rezim kejam yang dipimpin Pol Pot itu. Namun, kali ini ketokohan Hun Sen diketepikan oleh rakyat karena telanjur rakyat sangat antipati dan traumatis dengan Khmer Merah.

Kedua, rasa bosan rakyat terhadap Hun Sen sudah tidak bisa disembunyikan lagi, terlepas apakah Hun Sen berbuat atau tidak berbuat banyak kepada negerinya. Maklum, Hun Sen sudah berkuasa selama tiga dekade. Rentang waktu yang begitu panjang tersebut, secara psikologis, membuat rakyat gelisah melihat adanya rotasi dan perubahan.

Aspek ini jelas sekali kelihatan dengan ekspresi kalangan bawah. Hanya sekitar dua jam setelah bilik suara ditutup, di ibu kota Kamboja, partai Hun Sen sudah ditaklukkan. Para sopir angkot, buruh, dan penjual makanan tumpah ruah ke jalanan dan berseru, ”Hun Sen kalah. Kita sudah lama butuh yang baru sebab kita ingin ada perubahan. Kami tak peduli apakah Hun Sen pahlawan atau bukan. Kami hanya ingin ada yang berubah.”

Di mana-mana, tatkala kehidupan politik sudah diwarnai oleh agenda perubahan, susah sekali membendung arus tersebut. Perubahan dalam politik selalu berimplikasi pada pergeseran pemegang kekuasaan. Hun Sen masih beruntung sebab hanya perolehan suara partainya yang berkurang.

Ketiga, rakyat Kamboja sudah letih dengan praktik korupsi para pejabat mereka di semua jenjang dan struktur. Saya belum pernah melihat ada sebuah negara dengan ekonomi rendah, tetapi memiliki jumlah mobil mewah lalu lalang setiap saat, seperti di Phnom Penh itu. Mobil Lexus dan Range Rover baru dengan segala bentuk dan ukuran seolah mobil yang setingkat Avanza saja di Indonesia. Mercedes dan BMW nyaris hanya sebagai mobil kelas dua

Mobil-mobil itu dikendarai pejabat dan aparat pemerintah. Kecurigaan praktik korupsi sangat beralasan sebab gaji para pejabat yang mengendarai mobil-mobil itu hanya antara 200 dollar AS hingga 350 dollar AS sebulan. Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh pihak oposisi. Maka, seruan dan tuntutan adanya perubahan banyak diilhami oleh keinginan rakyat untuk menghentikan praktik korupsi itu.

Keempat, pemimpin oposisi, Sam Rainsy, amat piawai memainkan posisi politiknya yang terbendung untuk ikut maju sebagai calon anggota parlemen. Kendati ia dimaafkan oleh raja atas hukuman pidana yang menerpanya, pintu untuk maju sebagai anggota legislatif ditutup rapat. Ia pun menggunakan isu ini sebagai agenda politik menohok Hun Sen.

Posisi politiknya itu ia kaitkan dengan praktik kekuasaan zalim yang dipraktikkan rezim Khmer Merah di masa lalu. Ia berhasil membentuk persepsi publik bahwa dirinya dizalimi, dan karena itu rakyat harus bersimpati dan memilih partainya demi memotong mata rantai masa lalu yang getir itu.


Tema-tema inilah yang diangkat secara retorik oleh Sam Rainsy. Ia sendiri tidak pernah menawarkan agenda konkret tentang apa yang ingin dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Kamboja kelak. Namun, itulah politik. Dalam banyak hal di berbagai tempat, retorika jauh lebih penting daripada tujuan yang jelas dan arah yang konkret. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar