Selasa, 30 Juli 2013

Mengurai Kemelut Pangan

Mengurai Kemelut Pangan
Sapuan Gafar ;  Mantan Sekretaris Menteri Pangan dan Wakil Kepala Bulog
KOMPAS, 29 Juli 2013

  
Sejak komoditas pangan dilepas ke pasar (kecuali beras), ternyata rawan terjadi gejolak harga; entah karena persoalan iklim, gangguan distribusi, kenaikan konsumsi musiman, dan sebagainya.
Mengapa hal itu terjadi? Uraian berikut ini semoga dapat mengurai benang kusut kemelut pangan. 

Sebenarnya semua orang paham produksi pangan itu musiman. Adakalanya terjadi musim panen yang membuat harga turun dan pada waktu lain terjadi musim tidak panen (paceklik) yang membuat harga naik. Hal itu sudah jadi hukum alam. Setiap komoditas punya karakteristik berbeda: padi musim panennya berbeda dengan jagung, singkong, atau sayuran, dan buah-buahan. Agar terhindar dari kenaikan harga, dulu orang menyimpan atau mengolahnya untuk mengurangi risiko. Sekarang orang cenderung tak mau menyimpan barang karena tak menguntungkan lagi, takut tiba-tiba ada impor barang atau operasi pasar oleh Bulog.

Selain itu, antara produksi dan konsumsi juga terdapat jarak. Beras diproduksi oleh petani di daerah sentra produksi padi, sedangkan yang makan berada di seluruh Indonesia. Oleh karena itu terjadilah perdagangan pangan antartempat. Dengan demikian, nasi yang tersedia di meja makan sehari-hari itu telah melalui jalan berliku, berjuta-juta petani, ribuan pedagang pengepul gabah, serta ribuan penggilingan padi dan pedagang beras.

Agar antarrantai pangan tersebut terjadi sinergi yang baik, mereka perlu insentif. Petani juga ingin dan perlu hidup layak dapat menyekolahkan anak-anaknya. Demikian juga para pengepul gabah, penggilingan beras, dan pedagang beras, mereka juga ingin usahanya berkembang. Semua ingin adanya ”kepastian”. Sekarang mereka merasa diombang-ambingkan pasar. Sebagai contoh, ketika sedang panen bawang merah di Brebes, pada saat bersamaan terjadi pemasukan bawang merah impor. Oleh karena jumlah penduduk terus bertambah, maka kebutuhan pangan juga terus bertambah. Pertanyaannya, apakah semuanya bisa diserahkan kepada pasar untuk mencukupinya?

Selama 15 tahun terakhir, yang dapat merespons kebijakan pro-pasar hanya kelapa sawit, lainnya ada yang bisa bertahan, tetapi umumnya nyungsep. Beras memang masih bisa bertahan walaupun masih ”sport jantung”. Jagung masih bisa bertahan karena adanya dukungan benih hibrida yang dikembangkan perusahaan dari luar. Gula sudah lama bermasalah, kedelai hancur, tepung tapioka kalah dengan impor, garam pun diimpor. Produk hortikultura jangan tanya lagi, kita lihat buah impor menyerbu pasar di desa. Ternak/daging yang pada tahun 1970-an kita masih bisa ekspor, sekarang impor menjadi andalan.

Mengurai benang kusut

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya benang kusut dalam kemelut pangan. Pertama, faktor ”suprastruktur” berupa UU dan peraturan yang tidak pro-petani kecil. Kedua, ”struktur pertanian pangan” sendiri yang dominan ditopang oleh petani kecil, ditambah konsentrasi produksi yang tak imbang antar-Jawa dan luar Jawa, serta yang masih bergantung pada musim. Faktor ketiga pengembangan ”infrastruktur” seperti pabrik pupuk, obat-obatan pemberantas hama dan penyakit, bendungan dan irigasi yang ”inginnya” juga diserahkan kepada pasar.

Faktor utama benang kusut masalah suprastruktur adalah kebijakan yang tidak memihak kepada pengembangan pertanian pangan (petani kecil). Pengalaman negara lain, untuk negara dengan penduduk besar, yang dibenahi dulu adalah pertanian pangannya, baru mereka melangkah jadi negara industri. Walaupun UUD 1945 mengamanatkan kemerdekaan untuk semua, dalam praktik sehari-hari lebih memihak kepada pemilik modal. Yang kecil semakin tersingkir, yang besar dibiarkan mengusai aset utama milik petani, yaitu tanah. Sebenarnya persoalan menyangkut suprastruktur banyak, tetapi kebutuhan perluasan tanah untuk petani (kecil) adalah mutlak.

Faktor kedua adalah struktur pertanian pangan yang dominan ditopang petani kecil dan buruh tani. Mereka ini lemah dalam segala hal: permodalan, jangkauan teknologi, informasi, dan sebagainya. Daerah produksi pangan yang masih bergantung pada Pulau Jawa juga memengaruhi rawannya gejolak harga. Jika produksi pangan dapat disebar ke daerah yang dipengaruhi angin timur seperti Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara—termasuk Maluku dan Papua—harga beras akan stabil sepanjang tahun karena musim hujannya berbeda dengan daerah lainnya. Tidak mungkin mengharapkan petani kecil membuka lahan pertanian di Indonesia timur dengan modal sendiri dengan risiko yang ditanggung sendiri pula.

Faktor ketiga adalah pengembangan infrastruktur pertanian yang kurang mendapat perhatian dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, untuk perbaikan saja, anggaran yang disediakan kurang memadai sehingga sarana tidak berfungsi optimal. Memang sudah ada pembagian tugas antara pusat dan daerah, tetapi anggaran yang ada di daerah sebagian besar untuk menggaji PNS. Adalah suatu keniscayaan dapat mencukupi kebutuhan pangan sendiri tanpa dukungan infrastruktur. Akhirnya kita terjebak kebutuhan jangka pendek, yaitu impor pangan.

Sekarang ini presiden menganggap kekuasaan sudah dibagi habis, tetapi nyatanya pemerintah daerah merasa peningkatan produksi pangan itu urusan pusat. Memecahkan masalah pangan harus dalam satu kesatuan komando, tak mungkin pemerintah pusat dan daerah berjalan sendiri-sendiri. Ambil contoh pemecahan masalah krisis harga daging yang sudah berjalan lebih dari setahun, daerah merasa itu urusannya pusat.

Krisis manajemen pangan

Untuk itu perlu direkonstruksi kembali paradigma yang membedakan siapa regulator dan operator, dan di mana lembaga pemerintah hanya bisa bertindak sebagai regulator. Dulu Bulog sebagai lembaga pemerintah dapat bertindak sebagai operator kebijakan pemerintah. Menteri Pertanian dahulu juga dapat membentuk Badan Pengendali Bimas untuk menggerakkan dan mengoordinasikan kegiatan pemerintah daerah yang berkaitan dengan program swasembada pangan. Sekarang hal itu tidak dapat dilakukan lagi karena dalam hal pangan sepertinya daerah bukan kepanjangan pusat lagi.

Selama krisis manajemen berupa kelemahan koordinasi dan ketidakjelasan komando, kemelut masalah pangan tampaknya masih akan sering terjadi. Memang UU Pangan yang baru sudah mengaturnya, tetapi masih memerlukan PP yang semangatnya akan membuat lembaga superbody yang harus menabrak berbagai UU. Pembiayaan untuk stabilisasi harga pangan juga hanya dapat dilakukan melalui fiskal, dahulu Bulog mendapatkan kemudahan melalui fiskal dan moneter. Sekarang, apabila lembaga untuk pelaksana stabilisasi harga bentuknya lembaga pemerintah, maka lembaga tersebut juga tidak dapat mengakses kredit. Jadi, gerak kita sendiri dibatasi oleh peraturan yang kita buat sendiri.


Dengan ruang gerak yang terbatas, ke depan perlu terobosan kebijakan untuk mengatasi masalah pangan. Idealnya kita mempunyai semacam ”GBHN” lagi untuk 25 tahun ke depan. Hal ini antara lain untuk menyelesaikan masalah pangan secara berkesinambungan dan juga menjadi acuan rencana kerja bagi pusat dan daerah. Untuk jangka pendek adalah membenahi mekanisme koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara pusat dan daerah dengan mengacu pada sasaran yang sama serta dengan anggaran yang jelas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar