Rabu, 31 Juli 2013

Ormas Homini Lupus

Ormas Homini Lupus
Misranto  ;   Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya;
 Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan
MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2013
  

MENGEDEPANKAN klaim kebenaran (truth claim) dan memosisikan sekelompok orang atau komunitas lain sebagai objek kekerasan dan kekejian sepertinya sudah menjadi segmentasi skenario salah satu ormas di negeri ini. Ormas ini paling sering berurusan dengan aparat karena sering memproduk ulah yang bermodus ‘menghakimi’ orang lain.

Ormas itu bahkan diidentikkan dengan kekerasan atau radikalisme atas nama agama. Mereka jadikan orang atau sekelompok orang yang berbeda pemahaman agama atau dinilai telah menyimpang dari doktrin keagamaan sebagai penyakit yang harus dibasmi. Mereka sukses menciptakan paradigma homo homini lupus, alias memperlakukan sesama yang berbeda dengannya sebagai objek yang pantas ‘dimangsanya’.

Pakar kriminologi JE Sahetapy pernah mempertanyakan mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah tamah, sopan, santun, religius, tolong menolong, gotong royong, dan suka menjaga etika ketimuran ini berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkistis, dan brutal dalam hampir seluruh bidang kehidupan dan strata.

Kritik Sahetapy itu layak dialamatkan untuk ormas berhaluan ‘homo homini lupus’. Ormas itu telah berdosa besar pada harmonisasi publik dan keagamaan akibat berbagai model perilaku keji, biadab, berpola kebinatangan, atau tak bernurani yang terus dimunculkan secara rutin.

Ormas itu sangat gampang sekali menempatkan ‘bahasa okol’ atau kekerasan dan kekejaman sebagai pilihan. Mereka tak menjadikan norma hukum positif sebagai panglima. Mereka tak gunakan agama yang rahmatan lil-alamin sebagai roh kehidupan dan kedamaian publik. Mereka terbatas gunakan logika ‘egoisme kebenaran’ sektoral dan eksklusif sebagai alasan pengabsahan dan pemenangan kekerasan di mana-mana.

Mengapa sampai ada ormas yang berani menciptakan gaya ‘homo homini lupus’? Atau mengapa ormas ini sampai tergiur menyemaikan dan membudayakan gaya hukum rimba? Tidakkah mereka memahami dan menyadari hukum rimba sejatinya mencerminkan berlakunya hukum untuk masyarakat barbar, tidak terdidik atau saling mengutamakan watak serigala (siapa yang kuat, dialah yang berhak menerkam dan mencincang)?

Ormas itu rentan gampang ‘bernafsu’ mengobral dan mengulturkan kekejian serta agresivitas, dan asal menggunakan okol, bukan karena ‘miskin pengetahuan’ terhadap norma yuridis, melainkan karena mereka tidak terdidik untuk menjaga kewibawaan Indonesia sebagai negara hukum. Ormas itu tergiring meng adopsi ulah aparat penegak hukum yang mengedepankan prinsip yang diajukan JK Skolnick dengan ‘peradilan tanpa pengadilan’ (trial with out justice).

Dalam paradigma itu, hukum bukan diberlakukan sebagai sistem yang menjaga dan mengawal negara, melainkan digunakan sebagai aksesori atau sekadar instrumen untuk menjaga dan mengabsahkan kepentingan seseorang atau sejumlah yang berstatus elitis, kuat, atau berkelas serigala.

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sudah digariskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Masuknya identitas Indonesia sebagai negara hukum dalam batang tubuh konstitusi, dan tidak lagi di penjelasan konstitusi, sejatinya diorientasikan untuk menegakkan jati diri Indonesia sebagai negara hukum, dan bukan republiknya kaum barbar.

Sayangnya, meski identitas itu masuk, Indonesia tetap dituding sebagai negara yang tidak layak mengibarkan bendera negara hukum. Negeri ini dianggapnya tak pantas menyebut hukum sebagai sumber berpijaknya. Negara hukum (rechtsstaat) Indonesia bahkan pantas disebut ‘negeri kian darurat’. Mengapa demikian? Pasalnya di satu sisi semakin banyak problem hukum yang terus bermunculan, sementara di sisi lain banyak kasus besar yang belum terselesaikan. Bagaimana jadinya nasib negara hukum ini, jika di masa depan, perkara besar terus membanjiri Indonesia, sementara problem lama belum juga tuntas atau tidak jelas kabarnya?

Sebagian elemen masyarakat bahkan berkesimpulan kasus lama telah mengisi agenda kasus mengambang (floating case) yang kalau dicerna dari waktu ke waktu, perjalanannya semakin temaram. Banyaknya kasus lama yang tidak jelas itu mengakibatkan terjadinya krisis kredibilitas tingkat akut di masyarakat pada aparat yang mendapatkan kepercayaan menanganinya.

Dalam persepsi publik, aparat tidak benar-benar menjalankan perannya dengan benar, objektif, dan maksimal. Prinsip-prinsip yuridis yang mewajibkan aparat untuk mengimplementasikan sistem peradilan cepat, terbuka, berbiaya murah, tidak memihak, dan berkejujuran, tidak dijalankannya dengan benar dan konsisten.

Kondisi anomali itu mengakibatkan ormas yang berhaluan ‘homo homini lupus’ memanfaatkannya. Mereka pintar membaca peluang untuk menjalankan aksi radikal dengan lebih leluasa. Mereka tak takut berurusan dengan aparat kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya. Pasalnya mereka berasumsi komunitas aparat penegak hukum sedang terlena mengurus dirinya sendiri.

Idealnya aparat penegak hukum cerdas membaca kondisi rawan itu sebagai ancaman kamtibmas secara berkelanjutan. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti, mereka yang tidak puas dengan kinerja aparat penegak hukum (negara) dalam menangani ormas itu lantas membalasnya. Mereka itu bisa saja mengonstruksi kekuatan sosial dan keagamaan untuk menunjukkan perlawanan.

Hurton dan Hunt, sosiolog kenamaan, pernah menyatakan akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan. Ketika ada ormas yang jelas-jelas menjadikan kekerasan sebagai opsi mereka, sementara ada aparat yang seharusnya menindak ternyata juga kurang cepat menunjukkan kinerjanya, konfl ik sosial yang ditakutkan Thomas Hobbes bisa terjadi, yakni bellum omnium contra omnes (kelompok yang satu bertarung dan saling membantai dengan kelompok lainnya).

Aparat seharusnya menyadari bahwa negara hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu membahagiakan, mendamaikan, atau menyejahterakan rakyat (lahir dan batin), dan bukan menoleransi praktik homo homini lupus. Negara ini dihuni dan dipilari banyak oportunis, khususnya dalam lingkungan peradilan, yang mengakibatkan negara hukum ini, melalui instrumen-instrumennya, gagal memberi yang terbaik pada pencari keadilan.

Hugo Krabbe (dari Universitas Leiden) menyebut yang dimaksud dengan ‘hukum’ pada konsep negara hukum bukan semata-mata hukum formal yang diundangkan, melainkan juga hukum yang ada di masyarakat. Hukum formal benar apabila sesuai dengan hukum materiil, yakni perasaan hukum yang hidup di masyarakat.

Itu artinya, negara hukum yang sebenarnya berfungsi jadi payung besar kehidupan rakyat, khususnya dalam membumikan program-program penegakan keadilan untuk semua (justice for all), bisa tereliminasi atau tergiring jadi negara beridentitas ‘gagal total’, manakala praksis kinerja aparatnya tidak maksimal dalam menangani sepak terjang ormas ‘homo homini lupus.

Dari celah itulah, bukan tidak mungkin hukum rimba mencoba mengimbangi dan mencari kedaulatannya. Hukum rimba bisa saja hadir dan menguat menjadi bagian dari bahasa ‘hukum empirik’ yang bergulat di masyarakat. Komunitas yang menjadi korban ormas ‘homo homini lupus’ suatu saat mampu menampakkan keberingasan dan kekejaman, tetapi apa yang ditampakkan itu merupakan bagian dari episode historis kedinamisan sebagai bangsa lemah dan konstruksi bernegara yang rapuh.


Masyarakat pun tidak akan sampai berani mengeroyok atau membantai aparat penegak hukum kalau dalam dirinya tidak sedang atau sudah sekian lama dijangkiti dan dihegemoni kekecewaan mendalam. Kekecewaan merupakan bibit fundamental yang membahayakan keharmonisan sosial dan identitas negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar