Selasa, 30 Juli 2013

Pengetatan Remisi dan Resistensi Politikus

Pengetatan Remisi dan Resistensi Politikus
Bawono Kumoro ;  Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 26 Juli 2013


Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menghadapi ujian. Kali ini ujian itu berupa resistensi dan tuntutan revisi dari sejumlah pihak terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, Kamis (11/7) lalu, seakan menjadi momentum untuk memunculkan tuntutan tersebut.

Kerusuhan di LP Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, dijadikan sebagai justifikasi untuk memunculkan wacana revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Ada upaya untuk mengaitkan peristiwa kerusuhan di LP Tanjung Gusta dengan peraturan pemerintah mengenai pengetatan remisi tersebut.

Sebagaimana diketahui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur pengetatan pemberian remisi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, dan terorisme. Hal itu dimaksudkan untuk memunculkan efek jera bagi para pelaku ketiga tindak pidana tersebut.
Akan tetapi, kemunculan peraturan pemerintah tersebut mendapatkan resistensi sejumlah pihak, terutama dari kalangan politikus di Senayan.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dinilai bertentangan dengan undang-undang lembaga permasyarakatan karena seorang terpidana harus diperhatikan hak-hak hukumnya untuk mendapatkan keringanan melalui remisi dan pembebasan bersyarat jika berkelakuan baik selama berada di tahanan.
Resistensi kalangan politikus terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 juga dapat dilihat dari penyampaian surat dari wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo Budi Santoso kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mempertimbangkan pencabutan peraturan pemerintah tersebut.

Politikus Partai Golkar itu berdalih pengiriman surat kepada Presiden SBY tersebut semata-mata dilakukan untuk menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat tentang kondisi para napi di lembaga permasyarakatan yang disampaikan kepada Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Laporan dibuat oleh sembilan narapidana yang mewakili 109 narapidana lain. Beberapa di antara sembilan narapidana itu adalah mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan mantan Bupati Bengkulu Agusrin M Najamuddin.

Resistensi kalangan politikus di Senayan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ditengarai merupakan wujud advokasi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Apalagi tidak sedikit koruptor yang saat ini tengah mendekam di LP memiliki latar belakang partai politik dan pernah tercatat sebagai anggota dewan.

Patut diduga sikap para politikus DPR yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi tersebut merupakan bagian dari skenario politik untuk melakukan pelemahan terhadap gerakan antikorupsi secara umum dan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara khusus.

Pelemahan KPK                

Selama ini berbagai upaya pelemahan terhadap KPK memang teramat sering dilakukan kalangan politikus di DPR. Keberadaan KPK memang telah membuat resah sejumlah pihak yang selama ini memiliki keleluasaan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Selama kurun waktu delapan tahun berkiprah (2004-2012) tercatat KPK telah melakukan penyelidikan 480 kasus, penyidikan 278 kasus, dan penuntutan/vonis 222 kasus.

Jumlah total tersangka dari kasus-kasus itu sebanyak 332 orang dengan rincian 65 anggota DPR/DPRD, 31 orang kepala daerah/wakil kepala daerah, tujuh orang komisioner, enam orang menteri/setingkat menteri, lima orang hakim, dan 218 orang berlatar belakang lain.

Salah satu cara paling populer dalam melakukan pelemahan terhadap KPK adalah melalui pembentukan opini negatif terhadap KPK. Isu perpecahan di antara komisioner KPK merupakan salah satu wujud dari pembentukan opini negatif tersebut. Begitu juga dengan kemunculan rumor-rumor mengenai penegakan hukum oleh KPK yang tebang pilih dan diskriminatif.

Bahkan, bukan tidak mungkin kelak DPR akan memangkas sejumlah kewenangan penindakan yang dimiliki KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pemangkasan itu agar kewenangan KPK tidak lagi kuat sehingga sama dengan aparat penegak hukum lain, seperti kepolisian dan Kejaksaan Agung.

Berbagai perilaku politikus yang sering kali tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi tentu membuat publik merasa miris. Karena itu, tidak mengherankan jika kini publik melihat keberadaan partai politik lebih sebagai sumber permasalahan bangsa dan negara ketimbang solusi.


Mungkin benar apa yang dikatakan Presiden SBY dalam berbagai kesempatan bahwa melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan perkara mudah. Pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi agenda sekaligus tantangan berat bagi pemerintah, terutama jajaran penegak hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar