Selasa, 30 Juli 2013

Produksi Citra Politik

Produksi Citra Politik
Dudi Sabil Iskandar ;   Dosen Fikom Universitas Budi Luhur, Jakarta 
REPUBLIKA, 23 Juli 2013


Dalam 10 hari terakhir, publik disuguhi enam hasil survei politik. Tema yang diusung berkisar elektabilitas partai politik dan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014. Keenam lembaga tersebut adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Indonesia Research Centre (IRC), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institute for Transformation Studies (Intrans), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan terakhir Pusat Data Bersatu (PDB).

Sudah pasti terjadi perbedaan dari hasil survei. Bahkan, perbedaan hasil survei mereka sangat mencolok. Misalnya, hasil survei LSN dan IRC tentang elektabilitas Partai Gerindra. Menurut LSN, Gerindra dipilih 13,9 persen responden dan berada di urutan ketiga di bawah Partai Golkar dan PDIP. Di sisi lain, hasil survei IRC, Gerindra, hanya memperoleh 6,6 persen suara responden dan berada di posisi keempat di bawah PDIP, Golkar, dan Demokrat. 

Karena banyak perbedaan mencolok ini pula, banyak tokoh partai yang menolak berbagai hasil survei. Aktivis Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, Ketua Umum PKPI Sutiyoso dan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy serentak menolak hasil survei yang terkadang menempatkan partai mereka di posisi bawah. "Seringnya publikasi berbeda-beda dari survei yang dilakukan pada periode samplingyang sama menjadikan hasil survei seperti sampah informasi yang memenuhkan ruang informasi publik," kata Romahurmuziy (Republika, 17/7). Pertanyaannya, bagaimana kita membaca hasil survei-survei tersebut? 

Setiap survei pasti memiliki ideologi, tujuan, sumber pendanaan, metodologi, dan kepentingan berbeda. Karenanya, wajar jika hasilnya berlainan pula. Survei yang semula bertujuan mendapat kebenaran dan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan berbelok (dibelokkan?) menjadi partisan dan memihak parpol atau kandidat tertentu, contohnya. Untuk tujuan dan metodologi survei, nyaris semua pengelola lembaga survei mengemukakan alasan. Untuk kepentingan, rata-rata mereka menjawab remang-remang. Sementara itu, yang pasti tidak pernah dikemukakan adalah asal muasal dana. Karena sumber pendanaan selalu disembunyikan, sudah bisa dipastikan bahwa mereka memiliki agenda tersembuyi (hidden agenda). Padahal, dalam sekali survei bisa dipastikan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Seorang sumber mengungkapkan, rata-rata membutuhkan Rp 600 juta per survei.

Citra politik

Dalam negara yang menganut sistem politik demokratis, citra dan pencitraan sangat penting. Hal ini disebabkan hadirnya persaingan atau kompetisi. Dalam demokrasi, tidak penting suara siapa (kualitas) yang mendukung. Yang terpenting dan menentukan adalah suara mayoritas (kuantitatif). Dalam konteks ini, sosok calon di mata pemilih menjadi faktor penentunya. Pemilih akan memberikan suaranya kepada yang dikenal, baik, dan membela kepentingannya. Oleh sebab itu, dalam dunia politik di negara demokratis yang terpenting dikenal publik, bukan moralitas pribadi atau kendaraan politik. Makanya, di negara demokratis seperti di negara kita, popularitas yang dihasilkan oleh media massa merupakan faktor kunci meraih pencitraan. 

Menurut pakar komunikasi politik, Anwar Arifin (2011), citra dapat didefinisikan konstruksi atas representasi dan persepsi khalayak terhadap individu, kelompok, atau lembaga yang terkait dengan kiprahnya di masyarakat. Sedangkan, pencitraan berarti proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa.
Karena itulah citra berkaitan dengan empat hal. Yakni, (1) representasi di mana citra merupakan cermin realitas; (2) ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambaran yang salah tentang realitas; (3) citra menyembunyi bahwa tidak ada realitas, dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan realitas apa pun. 

Jika ditautkan dengan politik, citra bisa diartikan gambaran seseorang tentang politik. Dunia politik berkaitan dengan kekuasaan, otoritas, pengaruh, dan kerja sama, konflik, dan konsensus. Citra politik memiliki makna tidak menggambarkan sesuatu yang sebenarnya. Dengan demikian, sesungguhnya pencitraan bukan gambaran sejati dari sosok yang dicitrakan. Apalagi, pencitraan yang dihasilkan media massa. Sebab, berita yang diterima dan memengaruhi khalayak bukan realitas yang sebenarnya. Ia menjadi realitas buatan atau realitas kedua (second hand reality). Bahkan, berita merupakan realitas bayangan (shadow reality). Realitas yang tidak memiliki jiwa.

Dalam konteks citra dan pencitraan politik itulah sesungguhnya lembaga survei sedang memproduksi realitas politik buatan atau realitas politik semu (politic pseudo-reality) yang memiliki ideologi tertentu. Kasus kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009 dan kesuksesan pasangan Jokowi- Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 yang gagal diprediksi berbagai survei merupakan bukti sahih bahwa survei menyimpan agenda dan kepentingan tersembunyi.


Sebagai catatan akhir, penulis ingin menegaskan bahwa citra politik di negeri ini adalah segalanya. Karena itu, produk si citra politik yang dihasilkan melalui survei--baik menggunakan metodologi kuantitatif ataupun kualitatif-- kemudian menjadi industri yang berorientasi pasar. Ia membicarakan untung dan rugi, bukan benar dan salah. Ideologi survei adalah modal. Bukan tidak mungkin survei di Indonesia bergantung wani piro? (berani bayar berapa). Wallahu`alam bish shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar