Jumat, 26 Juli 2013

REDD+ : Komitmen Setengah Hati

REDD+ : Komitmen Setengah Hati
Deni Bram  ;   Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Internasional Universitas Indonesia; Pengajar Hukum Lingkungan Pascasarjana Universitas Pancasila
KOMPAS, 25 Juli 2013


Dua bulan lalu disepakati Indonesia akan menjadi daerah pelaksanaan proyek penurunan emisi berbasis hutan terbesar di dunia. Proyek yang dikenal sebagai REDD+ itu bertajuk Rimba Raya dan sudah diverifikasi lembaga karbon kredit yang kredibel.
Namun, dalam sisi diametral, pioneer proyek REDD+ dalam kerangka The Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) justru gagal dan resmi dinyatakan pailit oleh penyandang dana.
Mengapa hal ini sampai terjadi, apakah ada ketidaksiapan Indonesia dalam pelaksanaan proyek REDD+ atau justru hanya orientasi jangka pendek yang menjadi kendala? Dalam tulisan ini akan dicermati beberapa faktor yang mungkin memengaruhi komitmen Indonesia terkait kelagaan REDD+ dan opsi solusinya.
Komitmen waktu
Bantuan pendanaan dalam REDD+ harus diterima dalam lembaga Satuan Tugas REDD+. Lembaga ini penting sebagai pengawal institusional untuk memastikan berjalannya proyek REDD+ di suatu negara.
Lembaga ini wajib mengawasi dan memverifikasi usaha penurunan emisi sektor kehutanan ini. Untuk itu Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang salah satu tugasnya adalah mempersiapkan lembaga REDD+ di Indonesia.
Namun, karena Satuan Tugas pada termin pertama tidak mampu memenuhi tenggat, Presiden memberikan perpanjangan waktu dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ pada tanggal 22 Januari 2013.
Ironisnya, tenggat kedua 30 Juni 2013 yang dijanjikan oleh Presiden ternyata tidak dapat dipatuhi oleh tim bentukannya untuk kedua kalinya.
Dalam perspektif hukum hal ini akan memberikan ketidakpastian bagi negara-negara yang hendak bekerja sama dengan Indonesia terkait penurunan emisi sektor hutan.
Komitmen pemerintah dalam perbaikan lingkungan hidup ternyata hanya berbasis kepentingan jangka pendek dan cenderung reaksioner, yang secara umum dapat mencederai komitmen Indonesia dari ketepatan waktu.
Komitmen kewenangan
Salah satu urgensi hadirnya lembaga REDD+ di Indonesia adalah mengatasi konflik kewenangan yang tumpang tindih satu sama lain. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang mengamanatkan lembaga REDD+ bertugas menyusun kriteria provinsi percontohan dan memastikan persiapan provinsi terpilih. Kewenangan ini sebelumnya ada pada Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan sebenarnya bersemangat membentuk lembaga yang khusus membahas mengenai REDD+. Selain memberdayakan kelembagaan yang telah ada, seperti Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan, serta Balitbang Dephut, Kementerian Kehutanan juga merasa penting untuk membentuk badan ad-hoc. Di Kementerian Kehutanan sebenarnya telah lama ingin dibentuk Komisi REDD+ sebagai bentuk intervensi kelembagaan, tetapi hingga kini lembaga tersebut urung terbentuk. Sebaliknya, ada Dewan Nasional Perubahan Iklim yang memiliki kelompok kerja mitigasi gas rumah kaca, termasuk bicara tentang REDD+. Terjadilah tumpang tindih peraturan dan kewenangan yang mengatur REDD+.
Dasar hukum
Tidak mengherankan apabila proyek REDD+ yang sudah berjalan memunculkan beberapa konflik serta ketidakjelasan dari segi aturan, baik yang melibatkan agraria, penataan ruang, ataupun kehutanan. Oleh karena itu, mutlak perlu hadirnya lembaga yang memiliki otoritas lintas sektor dan lebih tinggi dari sektor yang ada.
Dalam proses pembentukan lembaga REDD+ oleh Satuan Tugas REDD+ ditekankan bahwa keberhasilan penerapan REDD+ di Indonesia sangat bergantung pada transformasi kelembagaan. Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait REDD+ tersebar di berbagai kementerian dan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan.
Lembaga REDD+ akan menjadi badan pusat independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk memimpin dan mengoordinasikan upaya pengurangan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Untuk itu, lembaga REDD+ membutuhkan mandat dan kewenangan berdasarkan hukum. Lembaga REDD+ memerlukan mandat lintas kementerian dan lintas sektor agar implementasinya komprehensif.

Dalam perspektif penulis, peraturan presiden cukup sebagai dasar legitimasi hadirnya lembaga REDD+. Lembaga ini menjadi kesatuan dengan dasar hukum Peraturan Presiden tentang REDD+ di Indonesia. Struktur fungsional dari lembaga REDD+ datar, fleksibel, dan fokus terhadap implementasi. Lembaga REDD+ memimpin, mengoordinasi atau mengambil bagian dalam berbagai proses utama, misalnya pengembangan strategi REDD+, persetujuan program dan entitas REDD+, pemantauan dan evaluasi program. Kedudukan lembaga REDD+ langsung di bawah koordinasi Presiden akan lebih efektif dan efisien. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar