Selasa, 30 Juli 2013

RI dan Sidang Komite HAM PBB

RI dan Sidang Komite HAM PBB
Abdul Hakim G Nusantara ;   Ketua Delegasi Komnas HAM pada Pertemuan Tahunan Dewan HAM PBB di Geneva, tahun 2003, 2004, 2005, 2006, dan 2007
KOMPAS, 26 Juli 2013
  

Tahun 2005, Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Itu berarti demi hukum negara RI terikat untuk memenuhi semua kewajibannya, kecuali terhadap Pasal 1 yang direservasi.

Untuk mengawasi agar semua negara peratifikasi UU—disingkat KIHSP—mematuhi kewajibannya, yakni menghormati dan melindungi semua hak yang tertuang dalam kovenan itu, PBB mendirikan Komite HAM. Dalam konteks itu, negara pihak KIHSP harus menyampaikan laporan kepada komite di atas terkait langkah dan kemajuan yang dicapai untuk mewujudkan semua hak yang termuat dalam kovenan. Laporan itu disampaikan dalam satu tahun sejak berlakunya KIHSP di negara yang bersangkutan dan selanjutnya setiap diminta komite.

Di bawah KIHSP ada 24 hak sipil dan politik yang wajib dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Hal itu antara lain hak menentukan nasib sendiri, persamaan hak laki-laki dan perempuan, hak hidup, kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, hak politik, hak atas kedudukan yang sama di depan hukum, hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa, dan hak sipil politik lainnya.

Laporan Indonesia

Delapan tahun sejak peratifikasian KIHSP Indonesia pada 2013 menyampaikan laporan awal implementasi kovenan tersebut di Indonesia. Laporan Pemerintah Indonesia lebih banyak mengedepankan kemajuan normatif berkaitan dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik. Di depan sidang ke-108 Komite HAM PBB Juli 2013, delegasi RI mengemukakan, rencana aksi nasional HAM (ranham) untuk mengarusutamakan HAM di semua kebijakan nasional. Indonesia telah pula mengembangkan kerangka kerja legislasi dan kelembagaan untuk memajukan HAM.

Delegasi RI menegaskan, KIHSP berfungsi sebagai fondasi penting bagi berbagai UU yang diundangkan kemudian di bidang hak-hak sipil dan politik. Dalam konteks itu, sistem hukum menjamin kebebasan dasar, yaitu berkumpul secara damai, berekspresi, dan berserikat. Selanjutnya, konstitusi menjamin kebebasan beragama. Ranham juga memprioritaskan penguatan kesetaraan gender dan pembaruan KUHP di mana larangan penyiksaan akan disesuaikan dengan konvensi PBB yang menentang penyiksaan.

Atas penyajian laporan delegasi RI itu, Komite HAM PBB menanyakan antara lain: 1. Remedi apa yang tersedia bagi para korban pelanggaran HAM? 2. Apakah para anggota militer yang melakukan tindak pidana biasa diadili pengadilan militer yang tidak independen dan transparan? 3. Langkah apa untuk mengimplementasikan akses ke keadilan yang diluncurkan pada tahun 2009? 4. Apa tindakan pemerintah untuk memastikan UU dan peraturan daerah sesuai dengan KIHSP?

5. Apa yang dilakukan pemerintah untuk menyidik kasus penggunaan senjata berlebihan dalam menghadapi para pemrotes di Papua, dengan sejumlah pemrotes meninggal? Sebanyak 70 pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua, mengapa tidak ada pelaku yang diadili?

6. Mengapa hukuman mati secara sistematis dikenakan kepada para terpidana narkoba? 7. Mengapa pemerintah mengeluarkan peraturan khusus yang membatasi hak-hak komunitas Ahmadiyah? 8. Apa langkah pemerintah untuk mewujudkan Badan Pemantau Independen atas fasilitas dan kondisi tempat- tempat penahanan dan lembaga pemasyarakatan? 9. Apakah KIHSP secara langsung diterapkan pengadilan? 10. Apa ruang lingkup reservasi atas Pasal 1 KIHSP oleh Indonesia?

Itulah sebagian pertanyaan yang diajukan Komite HAM PBB. Utusan RI menjelaskan bahwa proses hukum patut dijamin bagi semua korban pelanggaran HAM oleh militer pada masa lalu. Tiga kasus pelanggaran HAM berat oleh Jaksa Agung telah diajukan ke pengadilan, tetapi para pelakunya dibebaskan hakim karena tindakan mereka bukan bagian dari serangan meluas terhadap penduduk sipil.

Dijelaskan pula, sudah ada diskusi antara pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pengadilan Militer. Utusan RI menegaskan, pidana mati hanya dikenakan pada kejahatan sangat serius, dan dijalankan setelah grasi ditolak presiden. Menurut delegasi RI, reservasi Pasal 1 KIHSP mengacu pada prinsip hukum internasional berkaitan integritas dan kesatuan politik negara berdaulat. Walaupun bukan sesuatu yang biasa dipraktikkan, pengadilan dapat menerapkan KIHSP.

Semangat keterbukaan

Tanggapan utusan RI atas pertanyaan Komite HAM tidak seluruhnya tepat, terang, dan tuntas. Namun, terasa adanya keterbukaan dan semangat dialogis dalam interaksi antara delegasi RI dan Komite HAM. Komite HAM mengajukan sejumlah pertanyaan kritis soal pelanggaran HAM dan kebijakan nasional HAM RI. Lalu, utusan RI menjelaskan kemajuan yang dicapai dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan KIHSP.

Jauh dari kesan mencari kesalahan dan menghakimi, dalam interaksi dialogis itu kedua belah pihak berusaha memahami masalah dan tantangan agar menjadi dasar bagi Komite HAM PBB merumuskan kesimpulan dan rekomendasi bagi perbaikan implementasi KIHSP di Indonesia.

Laporan awal tentang pelaksanaan KIHSP kepada Komite HAM PBB adalah suatu capaian karena pertama, menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjalankan KIHSP.

Kedua, menunjukkan Indonesia menerima paradigma baru dalam hubungan internasional, yaitu relativitas kedaulatan negara di hadapan Hukum Internasional HAM: Bahwa kedaulatan negara penting untuk melindungi harkat dan martabat rakyat, termasuk hak sipil dan politiknya. Ketiga, menunjukkan kesediaan Indonesia bekerja sama untuk memajukan dan melindungi HAM. Di atas semuanya, perlu usaha yang terukur pada tataran domestik, antara lain, menyelesaikan secara adil kasus-kasus pelanggaran HAM. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar