Selasa, 30 Juli 2013

Sinyal Serius Middle Income Trap

Sinyal Serius Middle Income Trap
Abdul Mongid ; Dosen STIE Perbanas,
Pengurus pusat Ikatan Sarjana Ekonomi atau ISEI
JAWA POS, 29 Juli 2013

  

BANK Dunia baru saja menurunkan ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 dari 6,2 persen menjadi 5,9 persen. Penyebabnya, ada kemerosotan potensi permintaan domestik dan ekspor. Untuk domestik, kenaikan harga BBM yang mencapai 44 persen untuk premium dan 22 persen untuk solar, tampaknya, mulai mengubah landscape ekonomi Indonesia.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga menurunkan proyeksi dari 6,3 persen menjadi 5,8 persen sampai 6,2 persen. Data BPS menunjukkan pertumbuhan kuartal I 2013 hanya 6,02 persen (6,29 pada kuartal pertama 2012). Ini yang terendah sejak 2010.

Menurunnya pertumbuhan ekonomi setelah mengalami pertumbuhan tinggi mengindikasikan risiko terperangkapnya perkonomian nasional pada middle income trap. Pendapatan per kapita USD 3.557 Indonesia saat ini termasuk dalam kategori menengah ke bawah. Menurut IMF, sumber terjadinya middle income trap adalah turunnya daya saing perekonomian karena naiknya biaya produksi lantaran naiknya upah pekerja. 

Padahal, peringkat daya saing ekonomi Indonesia secara global masih rendah. Memang pada 2013 telah naik dari posisi 42 ke posisi 39. Secara regional, posisi daya saing kita tidak berubah. Indonesia masih ada di bawah Filipina. Jauh jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. 

Menghindari middle income trap tentu tidak mudah. Dampak kenaikan harga BBM membuat penghasilan riil buruh menurun. Tuntutan naik upah 50 persen bila dipenuhi makin memerosotkan daya saing. Di sisi lain, kelas menengah kita cenderung berperilaku konsumtif, yang ditunjukkan dengan cukup besarnya impor barang konsumsi, termasuk impor BBM. Sementara inovasi untuk mengolah sumber daya alam yang melimpah sangat kurang. 

Contoh nyata, Indonesia memilih untuk mengembangkan transportasi udara walaupun Indonesia adalah negara maritim. Akibatnya, saat ini ada sekitar 250 pesawat yang sebenarnya pinjaman atau leasing. Diperkirakan setiap bulan perlu miliaran dolar untuk membayar utang atau sewa pesawat. Secara ekonomi, ini kontraproduktif karena tidak ada mobilitas barang yang signifikan. Secara riil, ini impor jasa, kita hanya konsumen.

Ini berbeda dengan kalau kita mengembangkan angkutan laut yang dipastikan lebih produktif dan mendukung konektivitas ekonomi nasional, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mendorongproduktivitas/inovasi antardaerah. 

Di sisi lain, sekarang ini BI menghadapi posisi dilematis terkait dengan dampak inflasi dari kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga barang-barang kebutuhan pokok melambung secara masif. Sebab, BBM merupakan input untuk segala kegiatan ekonomi yang memengaruhi harga output. Akibatnya, inflasi, yang tahun ini diramalkan BI 7,8 persen, menjadi ancaman serius bagi perekonomian. 

Di sisi lain inflasi yang tinggi menuntut kebijakan menaikan BI rate agar permintaan agregat menurun sehingga tekanan inflasi agak merendah. Sebaliknya, BI rate yang tinggi akan menurunkan minat untuk melakukan investasi karena biaya pinjaman meningkat. Dampak akhirnya adalah potensi pertumbuhan ekonomi akan menurun. Ini mendorong perekonomian ke dalam middle income trap.

Sebenarnya, BI rate hanya merendahkan tekanan Inflasi. Sebenarnya, penyebab inflasi itu kompleks. Selain kelangkaan barang, jeleknya infrastruktur juga memicu biaya logistik Indonesia saat ini paling mahal di Asia Tenggara.

Ancaman berikutnya adalah gejolak nilai tukar. Kurs rupiah cenderung terus melemah, bahkan menembus batas psikologis Rp 10.000 per USD sebagai akibat dari kondisi ekonomi dalam negeri yang menghadapi masalah ketidakseimbangan struktural. Padahal, kurs merupakan indikator fundamental ekonomi yang akan memengaruhi tidak saja ekspor dan impor, tetapi juga harga-harga di dalam negeri, karena perekonomian kita sudah terperangkap dengan bahan baku dan bahan penolong impor.

Defisit neraca perdagangan juga berbahaya. Nilai ekspor sampai Mei 2013 berkisar USD 76 miliar sementara impor USD 78 miliar. Tren penurunan ekspor saat ini jauh lebih cepat daripada tren penuruan impor. Defisit ini menguras cadangan devisa. Pada saat bersamaan, posisi neraca modal juga kurang menggembirakan karena risiko ekonomi Indonesia makin tinggi.

Terlewatinya angka psikologis kurs itu juga bersumber dari kondisi utang luar negeri. Saat ini total luar negeri swasta sudah mencapai USD 128 miliar. Sementara utang pemerintah USD 257 miliar. Padahal, cadangan devisa saat ini sudah merosot di bawah USD 100 miliar. 

Risiko sistemik kita juga memburuk jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lain. Menurut Fitch Rating Company, indeks makroprudensial Indonesia hanya tiga, terendah di Asia Tenggara. 

Pertumbuhan ekonomi yang menurun, melemahnya kurs, inflasi makin tinggi, defisit neraca perdagangan, dan naiknya utang luar negeri mengindikasikan sinyal serius perangkap kemandekan pertumbuhan ekonomi (middle income trap). Indonesia perlu perubahan mendasar dalam pengelolaan ekonomi sebelum terlambat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar