Selasa, 30 Juli 2013

Sudut Teologis Penyadapan

Sudut Teologis Penyadapan
Muhammad Jasin ; Mantan Wakil Ketua KPK,
Kini Inspektur Jenderal Kementerian Agama
JAWA POS, 26 Juli 2013



POLEMIK ini kerap muncul. Banyak masyarakat yang membahas kewenangan penyadapan oleh penegak hukum, bahkan boleh atau tidaknya penyadapan dalam Islam. 

Di Indonesia, kewenangan penyadapan diberikan kepada para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seiring dengan semakin meningkatnya kejahatan umum maupun korupsi. 

Ada yang menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa (an extra-ordinary crime). Dampaknya sangat luas, merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat yang meliputi demokrasi, politik, pemerintahan, prasarana, sosial, ekonomi, hukum, dan layanan masyarakat, sehingga menghambat usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan karena kebocoran keuangan negara. 

Landasan hukum penyadapan adalah UU Telekomunikasi Nomor 36/1999 dan Nomor 30/2002 tentang KPK. Pasal 12 ayat (1) huruf a KPK menyebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang menyadap dan merekam pembicaraan. 

Penyadapan dilakukan hanya terhadap seseorang yang terindikasi bertindak pidana korupsi dan hanya untuk kepentingan peradilan (penegakan hukum). Juga, hanya boleh dibuka dalam sidang di pengadilan. Penyadapan itu tidak dibiarkan saja semau-maunya. Tapi, secara berkala, setidaknya dua kali setahun, diaudit oleh tim yang terdiri atas berbagai pihak, termasuk Kemenkominfo, untuk mengetahui adanya pelanggaran kewenangan dalam penyadapan tersebut. 

Pihak yang menyatakan haram penyadapan menyebut hadis riwayat Muslim: ''Barang siapa mengintip-intip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka sah bagi mereka untuk mencolok matanya''. Dan hadis riwayat Bukhari: ''Tidak akan masuk surga orang yang suka mencuri berita (suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain)''. 

Yang setuju terhadap praktik penyadapan terhadap seseorang yang terindikasi melakukan pidana merujuk pada hadis riwayat Muslim: ''Barang siapa melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan lidahnya (ucapan), dan apabila tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya dan itulah keimanan yang paling lemah''. 

Dalam Alquran Surat Yaasin ayat 65: ''Pada hari ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan''. 

Juga, dalam QS Lukman ayat 16: (Luqman berkata): ''Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui''. Menurut tafsir, yang dimaksud dengan Allah Mahahalus adalah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu bagaimanapun kecilnya.

Alasan masyarakat yang setuju tentu didasarkan pada: ''Bahwa penyadapan boleh dilakukan hanya terhadap seseorang yang telah diidentifikasi berbuat pidana''. Bila tidak ada indikasi pidana, tentunya penyadapan harus distop dan itu sudah diatur. 

Bila seseorang diindikasikan berbuat pidana, perbuatan jahatnya harus direkam dan kemudian ditangkap tangan oleh penegak hukum sebagai pelaksanaan hadis: ''Barang siapa melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya''. 

Ditambah dalam Surat Yaasin tersebut, Allah SWT telah menyadarkan diri kita tanpa kecuali bahwa kita dalam posisi tersadap oleh alat Allah SWT yang melebihi alat sadap bikinan manusia. Seseorang siap atau tidak siap pasti disadap dan hasil sadapan itu suatu hari nanti dibuka di hadapan Allah untuk dipertanggungjawabkan. 

Dalam Surat Lukman, Allah menyuruh (Lukman) atau orang tua untuk memberi tahu/mendidik anak bahwa segala perbuatan kita, sekecil apa pun yang kita lakukan, di mana pun tempatnya, di langit maupun di bumi, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, akan dicatat dan diperhitungkan di hadapan Allah SWT karena Allah Mahahalus dan Mahawaspada terhadap apa yang dilakukan hambanya. 

Penyadaran terhadap kita bahwa Allah selalu mengawasi kita, ''Innallaha labil mirshod'', menjadikan kita selalu berhati-hati dalam berkata maupun bertindak. Kejujuran bisa terbentuk karena merasa setiap saat diawasi Yang Mahakuasa, berdampak positif terhadap perilaku seseorang. Mereka takut untuk berbohong, mencuri, korupsi, dan perbuatan maksiat lain seperti berzina. 

Bila pemahaman tersebut disebarluaskan kepada masyarakat, kepada kaum muslim khususnya, tidak menutup kemungkinan terbentuk ketertiban sosial di seluruh sendi kehidupan di pemerintah, politik, maupun dalam bentuk transaksi lainnya di masyarakat. 

Keimanan terhadap ayat tersebut, diharapkan kita menjadi lebih siap terhadap siapa pun yang menyadap kita. Kalau kita tidak berbuat salah, tidak melakukan maksiat, tidak melakukan pembicaraan yang melanggar norma hukum dan agama, kita tidak perlu merasa khawatir. 

Penyadapan di dunia oleh penegak hukum dengan tujuan keadilan hanya merupakan geladi resik atas apa yang akan kita hadapi suatu hari nanti terhadap kesaksian tangan dan kaki kita di hadapan Allah SWT atas semua perbuatan yang melanggar maupun perbuatan yang baik. 

Semoga amal-amal baik selama bulan Ramadan ini dicatat dan direkam Allah, ''fa unabiukum bima kuntum takmalun'', Allah SWT akan menceritakan kembali atas apa saja yang kita lakukan selama hidup di dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar