Sabtu, 31 Agustus 2013

Sisi Paradoks Intervensi AS

Sisi Paradoks Intervensi AS
Asrudin ;  Pengamat Hubungan Internasional,
Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
MEDIA INDONESIA, 31 Agustus 2013


RENCANA Amerika Serikat (AS) untuk melakukan in tervensi militer ke Suriah kian mendekati kenyataan. Keseriusan itu ditunjukkan AS dengan mengirimkan empat kapal perang perusak mereka ke perairan Suriah. Militer AS bahkan telah menentukan 50 target serangan. Serangan itu akan melibatkan rudal Tomahawk, yang dipersiapkan dari kapal perang yang ditempatkan di Laut Mediterania (Reuters, 28/8).

Rencana mengenai intervensi AS ke Suriah itu mengemuka setelah keluar kabar bahwa rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam konflik melawan oposisi pada 21 Agustus lalu. Akibat serangan senjata kimia itu sekitar 1.729 warga sipil tewas dan 6.000 lainnya mengalami gangguan pernapasan.
Untuk memuluskan rencana intervensi militer AS tersebut, Presiden Barack Obama mulai menghubungi sekutunya untuk menjaring dukungan. Hasilnya Turki, Inggris, dan Prancis menyatakan siap membantu menyerang Suriah.

Jika merujuk ke niatan intervensi militer ke Suriah, tampak jelas terlihat alasan humanitarian di dalamnya. Namun, isu intervensi militer untuk kemanusiaan itu sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan oleh para ahli dan praktisi hubungan internasional. Perdebatan itu menyangkut absah atau tidaknya sebuah intervensi dilakukan karena sifatnya yang melanggar kedaulatan.

Penerapan R2P

Ide untuk melakukan intervensi militer untuk kemanusiaan oleh AS bukanlah hal baru. Sebelumnya intervensi NATO yang dipimpin AS pernah dilakukan di Kosovo (1999), Irak (2003), dan Libia (2011). Namun, di antara ketiga aksi intervensi itu, Libia dinilai yang paling absah.

Pada kasus intervensi AS plus NATO ke Kosovo dan Irak, sebagian pengamat menilai tindakan tersebut illegal but legitimate. Ilegal sebab tindakan tersebut tidak mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB, tetapi absah jika dilihat dari sudut moral.

Namun, intervensi di Libia justru dinilai sebagian pengamat itu tampak absah karena AS dan NATO menerapkan norma responsibility to protect (R2P). Apalagi norma R2P itu diperkuat Resolusi DK PBB 1973 tentang zona larangan terbang di Libia. Resolusi itu dikeluarkan untuk menyikapi pemimpin Libia Moammar Khadafi yang bertindak secara brutal terhadap rakyatnya dalam melawan arus revolusi. Tindakan Khadafi itu telah memakan korban lebih dari 2.000 nyawa dan sejumlah pelanggaran HAM lainnya.

Intervensi atas Libia itu yang dianggap Stewart Patrick (2011), Penasihat Senior Hubungan Luar Negeri AS, sebagai penggunaan kekuatan militer pertama yang tanpa ragu menjunjung norma R2P. Norma itu merupakan konsep yang diperkenalkan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) pada Desember 2001.

Meski ditentang Venezuela, Rusia, China, dan India, konsep R2P itu tetap diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB No A/60/1, khususnya paragraf 138 dan 139, dan bersifat `rekomendasi'. Dalam perspektif hukum internasional, suatu rekomendasi yang dihasilkan Majelis Umum PBB mempunyai konsekuensi yang berbeda jika dibandingkan dengan resolusi DK PBB dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Na mun, karena R2P mengacu ke hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional yang ada, de ngan negara-negara terikat di dalamnya, negara-negara menjadi `berkewajiban' memenuhi segala konsekuensi, termasuk menerapkan prinsip-prinsip R2P tersebut (Djundjunan & Wirakara, 2009).

Melalui R2P itulah, AS merasa berhasil menerobos kebuntuan karena adanya tembok penghalang intervensi sebagaimana terkandung dalam piagam PBB dalam Pasal 2 (4) mengenai prinsip nonintervensi.

Kebuntuan itu bisa dipecahkan setelah ICISS mengeluarkan rekomendasi yang cukup cerdas terkait dengan R2P yang isinya menyatakan pada setiap negara berdaulat terdapat tanggung jawab memberikan perlindungan kepada seluruh warganya, dari berbagai tindak kejahatan kemanusiaan, yang diakibatkan terjadinya perang saudara, pemberontakan, atau penindasan di dalam negara (Djundjunan & Wirakara, 2009).

Apa yang di lakukan ICISS itu sebenarnya merupakan upaya untuk merekonsep tualisasi makna kedaulatan tradisional Westphalia (1648) dengan memberikan konsepsi kedaulatan alternatif, dengan kedaulatan diterjemahkan sebagai tanggung jawab (sovereignty as responsibility). Dengan begitu, kedaulatan menjadi bermakna sebagai hak dan tanggung jawab berbagai pemerintahan di dunia untuk melindungi warganya.

Paradoks

Apa yang terjadi di Libia sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Suriah. Selama perang saudara di Suriah, rakyat sipil yang tewas melebihi angka 100 ribu dan jumlah pengungsi telah mencapai hampir 2 juta. Jumlah angka kematian dan pengungsi itu terus bertambah seiring dengan adanya dugaan penggunaan senjata kimia oleh pasukan Suriah di daerah padat penduduk, timur Damaskus, pada 21 Agustus 2013. Jika pola penggunaan senjata kimia terus terjadi, berarti korban jiwa akan terus dan terus bertambah.
Itu tentu merupakan kejahatan perang terhadap kemanusiaan yang sangat serius.
Meski PBB belum bisa menyimpulkan hasil penyelidikan mereka terkait dengan siapa yang menggunakan senjata kimia, AS dan Inggris meyakini rezim Al-Assad telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri.

Jika memang benar rezim Al-Assad terbukti menggunakan senjata kimia, penerapan R2P melalui intervensi militer itu bisa saja dilakukan. Meski ada upaya pemblokiran terhadap DK PBB melalui veto Rusia dan China, AS dan sekutu mereka masih bisa diizinkan melakukan intervensi terhadap Suriah di bawah payung hukum internasional. Mereka diizinkan untuk mengambil langkah-langkah yang luar biasa dalam mengurangi skala besar bencana kemanusiaan di Suriah dengan menghalangi penggunaan lebih lanjut senjata kimia.

Namun, yang menjadi masalah di sini ialah ada pada AS sebagai penggagas intervensi di Suriah. Sebuah dokumen rahasia CIA mengungkap bagaimana AS di era pemerintahan Ronald Reagan ternyata pernah membantu pemerintahan Saddam Hussein dalam invasi Irak ke Iran pada 1980-1988. Dokumen CIA itu dipublikasikan majalah Foreign Policy (FP) edisi Senin (26/8).

Foreign Policy mengangkat isu itu terkait dengan wacana yang digulirkan AS untuk mengintervensi Suriah dengan dalih penggunaan senjata kimia. Menurut FP, Irak telah menggunakan gas mustard dan sarin pada awal 1988, untuk empat kali serangan besar. Sepanjang perang itu, setidaknya 20 ribu prajurit Iran tewas dan 100 ribu lainnya terluka akibat serangan senjata kimia yang dilakukan Irak. Bukankah serangkaian serangan gas saraf oleh Saddam Hussein itu jauh lebih mematikan daripada yang terjadi di Suriah?

Sebagai negara yang ikut meratifikasi Protokol Jenewa pada 1975, AS seharusnya menekankan untuk tidak menggunakan senjata kimia dalam perang dan setuju untuk mencegah negara lain berupaya menggunakan senjata tersebut. Namun, lucunya, jika AS dulu mendukung Irak menggunakan senjata kimia, kini justru melarang Suriah menggunakannya. Itu sama saja artinya dengan memutarbalikkan logika intervensi yang absah menjadi tidak absah dan tidak absah menjadi absah berdasarkan kepentingan AS semata. Bukankah itu sebuah paradoks? ●  

BI Rate Naik, Pertumbuhan Ekonomi Terancam

BI Rate Naik, Pertumbuhan Ekonomi Terancam
Anthony Budiawan ;  Rektor Kwik Kian Gie School of Business
MEDIA INDONESIA, 31 Agustus 2013


KRISIS ekonomi (dan finansial) pada umumnya datang secara tiba-tiba. Meski demikian, pemerintah yang baik seharusnya dapat mengenali tanda-tanda bahaya krisis dan menyiapkan langkah untuk mengatasinya. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Pada setiap kesempatan pemerintah selalu mengatakan bahwa ekonomi Indonesia sangat baik dan sangat kuat secara fundamental.

Bahkan pada 16 Agustus 2013, dalam pidato di hadapan anggota parlemen, Presiden secara tegas mengatakan bahwa ekonomi Indonesia masih sangat bagus dengan tingkat pertumbuhan terbesar kedua di dalam kelompok G-20, setelah China. Satu hari (kerja) setelah itu, Senin (19/8), bursa saham Indonesia dan kurs rupiah turun tajam.

Pelemahan ini terus berlanjut hingga akhirnya pada 23 Agustus 2013, satu minggu setelah pidato Presiden, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sebagai upaya untuk mengangkat kembali nilai rupiah dan indeks saham yang jatuh. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sekitar 9%. Kurs rupiah merosot lebih dari 10% sepanjang 2013. Inflasi (year on year) sampai dengan Juli 2013 menurut Bank Indonesia (BI) sebesar 8,61%.

Terlambat antisipasi

Optimisme terhadap kondisi perekonomian kita tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. BI juga terlambat membaca tanda-tanda bahaya krisis yang sebenarnya dapat dikenali sejak lama. Krisis umumnya diawali dengan bubble yang kemudian pecah karena pemerintah tidak dapat mengantisipasi bubble tersebut. Perekonomian Indonesia jelas mengalami bubble yang sudah menggelembung sejak lama.

IHSG melonjak dari 1.146 pada 17 November 2008 menjadi 5.145 pada 13 Mei 2013, atau naik 4,5 kali lipat selama 4,5 tahun. Kenaikan indeks saham seperti ini jelas menunjukkan bubble.
Kemudian, ketika defisit neraca perdagangan memburuk sejak April 2012, tetapi IHSG tetap naik secara konsisten, pemerintah dan BI seharusnya waspada. Tetapi, ini tidak terjadi. Pemerintah bahkan mengatakan ekonomi Indonesia sangat kuat. Padahal defisit neraca perdagangan sudah sedemikian kritis dan struktural.

Sejak April 2012 neraca perdagangan bulanan selalu defisit kecuali tiga bulan saja (Agustus dan 
September 2012, Maret 2013). Karena tidak mengenali bahaya krisis, ketika bubble mulai retak pada Senin (19/8), pemerintah dan BI menjadi panik.

Kepanikan dan kegagapan dalam menyikapi kondisi ekonomi dan moneter terkini itu juga terlihat dari langkah-langkah yang diambil oleh BI. Pada 23 Agustus 2013, bersamaan dengan pemerintah, BI mengeluarkan paket kebijakan moneter yang terdiri dari lima langkah--terkesan kebijakan ini diambil berdasarkan coba-coba. Ketika pelemahan indeks saham dan kurs rupiah masih berlanjut, BI kemudian mencoba lagi dengan senjata pamungkasnya, yaitu menaikkan BI rate dari 6,5% menjadi 7%. Kenaikan BI rate ini diharapkan dapat menahan laju inflasi serta anjloknya kurs rupiah. Saya katakan senjata pamungkas karena kelihatannya BI tidak mempunyai jurus lain lagi setelah ini untuk menahan merosotnya kurs rupiah, apabila ternyata BI rate yang baru tidak efektif.

Pertanyaannya, apakah kenaikan BI rate menjadi 7% akan berguna? Artinya, apakah kenaikan BI rate dapat meredam laju inflasi dan menahan anjloknya kurs rupiah? Atau, kenaikan BI rate malah akan menjadi masalah baru bagi perekonomian Indonesia?

Berdampak negatif

Kenaikan BI rate menjadi 7% niscaya tidak dapat menahan laju inflasi. Sebab, inflasi yang terjadi saat ini merupakan inflasi nonmoneter, atau inflasi yang disebabkan bukan karena permasalahan moneter. Maka itu, inflasi tersebut tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan moneter.

Pertama, inflasi saat ini disebabkan penaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga barang. Sebesar apa pun tingkat suku bunga acuan pasti tidak dapat menurunkan kenaikan biaya dan harga barang yang disebabkan penaikan harga BBM.

Kemudian, apabila tata kelola perdagangan kita masih seperti saat ini, amburadul dan tidak terkendali, inflasi bahkan dapat meningkat lagi; setelah harga bawang merah dan harga bawang putih meroket, disusul dengan kenaikan harga daging dan cabai, dan sekarang disusul dengan melonjaknya harga kedelai.

Kenaikan harga komoditas-komoditas tersebut murni karena salah kelola bidang perdagangan, bukan karena masalah moneter. Jadi, kenaikan BI rate tidak akan berdampak pada penurunan inflasi yang disebabkan faktor perdagangan itu.

Selanjutnya, BI rate juga tidak dapat menahan dolar AS terbang ke luar negeri apabila pengetatan (pengurangan bertahap) kebijakan quantitative easing (QE) benar-benar diberlakukan oleh Bank Sentral AS, The Fed. Pengetatan dipastikan akan menyedot dolar AS ke tempat asalnya, meskipun BI rate berada di tingkat 7%, atau bahkan lebih. Selisih suku bunga (tambahan sebanyak 0,5%) tidak dapat menahan dolar AS keluar dari Indonesia, dan oleh karena itu, tidak dapat menahan merosotnya kurs rupiah.

Sebaliknya, kenaikan BI rate bahkan dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kita karena tingkat suku bunga pinjaman akan naik, sektor properti dan otomotif akan terhambat.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman akibat kenaikan BI rate dapat menghambat konsumsi masyarakat dan investasi, yang keduanya saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Ekonomi Indonesia, yang beberapa tahun belakangan ini mengalami bubble, sekarang mulai memasuki tahapan krisis. Kebijakan menaikkan BI rate menjadi 7% sulit diharapkan meredam laju inflasi dan menahan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Kenaikan BI rate malah dapat memperburuk kondisi ekonomi nasional dan mempercepat pelambatan pertumbuhan ekonomi; konsumsi dan investasi akan turun. ●  

Menggeser Paradigma ke Laut

Menggeser Paradigma ke Laut
Ribut Lupiyanto ;  Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Peminat Studi Geografi Politik
KORAN JAKARTA, 31 Agustus 2013


Mesir terus bergejolak pascakudeta militer atas Mursi pada Rabu (3/7). Setiap hari darah rakyat Mesir berceceran dan ribuan nyawa melayang. Unjuk rasa damai dibalas dengan serangan yang jauh dari batas-batas kemanusiaan oleh militer, polisi, dan sipil prokudeta yang dipersenjatai. Puncaknya terjadi pada 14/8 saat operasi pembubaran paksa demontrasi. Korban berjatuhan meskipun datanya simpang siur. Laporan AntiCoup Alliance menyebutkan adanya 2.200 korban jiwa dan puluhan ribu luka-luka, sementara Kementerian Kesehatan rezim kudeta Mesir menyebutkan 638 orang tewas dan sekitar 4.000 orang luka-luka.

Krisis dan tregadi di Mesir tidak bisa secara sederhana hanya dimaknai sebagai pertarungan internal antara pro-Mursi dan prokudeta. Mesir dengan segala potensinya menarik bagi negara-negara lain untuk menjerumuskan Mesir ke dalam pusaran konflik. Krisis Mesir juga memberikan efek global, baik langsung maupun tidak langsung. Semua ini dapat diamati melalui teropong geopolitik.

Ratzel (1844 - 1904), salah satu tokoh pencetus teori geopolitik, memaparkan bahwa hanya negara unggul yang bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan hidupnya. Geostrategi harus dijalankan dengan menguasai Heartland kemudian World Island sehingga dunia akan dikuasai. Mackinder menjelaskan bahwa Heartland itu istilah lain Asia Tengah, sedangkan World Island adalah Timur Tengah. Kedua kawasan tersebut adalah wilayah yang kaya akan minyak, gas bumi, dan bahan mineral lain. 

Tinjauan secara geografis menunjukkan Mesir dan Suriah menjadi titik mula Route Silk atau Jalur Sutra. Jalur Sutra ialah lintasan rute yang membentang antara perbatasan Rusia/China, Asia Tengah-Timur Tengah, Afrika Utara, hingga berujung di Maroko. Jalur ini membelah antara Dunia Barat dan Timur. Sepanjang Jalur Sutra merupakan kawasan sentral pergerakan ekonomi barang dan jasa serta menjadi legenda jalur militer dunia. Siapa yang mengendalikan Jalur Sutra, identik menguasai dunia atau siapa yang menguasai Mesir dan Suriah ibarat menguasai separo Jalur Sutra. 

Mendasarkan fakta ini, George Rich berujar, "Pergilah ke Mesir dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan sebagai daerah transit untuk Afrika." Negara mana pun tentu akan berebut pengaruh demi mengendalikan Mesir, baik secara politis maupun ekonomi. Paling tidak, terdapat tiga kelompok negara yang selalu berada di balik kehidupan Mesir, yaitu Israel, Amerika Serikat, dan negara Arab-Teluk.

Pasca-pelantikan Mursi sebagai Presiden Mesir, terlahir beberapa kebijakan yang mencemaskan negara mitra. Mursi segara membuka gerbang Rafah yang merupakan pintu perbatasan Gaza-Mesir. Hal ini tentu mengancam eksistensi Israel secara politis. Selanjutnya, persengkokolan negara mitra untuk tidak membantu Mesir dijawab Mursi dengan kebijakan swasembada pangan. Komoditas paling dominan adalah gandum. Keberhasilan program swasembada menyebabkan pengurangan impor gandum dari Israel dan Amerika. Hal ini menjadi ancaman ekonomi bagi kedua negara tersebut. 

Selain itu, faktor pragmatis lain adalah pipanisasi gas yang mengkhawatirkan Israel. Pasokan gas Israel berasal dari Mesir lebih dari 80 persen (Purbo, 2013). Kebergantungan ini menjadi mengkhawatirkan jika Mursi mengambil kebijakan pengurangan apalagi pemutusan. Teropong lain secara ideologis, menurut Bannerman (1906), bahwa penciptaan konflik merupakan bagian dari peran yang harus dijalankan oleh Israel selaku organ pemecah belah di jantung bangsa-bangsa Arab. 

Penulis Israel, Yossi Melman, membocorkan keterlibatan zionis dalam mendukung kebrutalan militer Mesir. Israel melakukan lobi diplomatik dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa agar tidak mengecam pembantaian militer Mesir terhadap ribuan demonstran. Israel juga menggerakkan negara-negara sahabat agar tidak menyebut tindakan militer Mesir tersebut sebagai "pembantaian".

Amerika Serikat juga terusik oleh berkuasanya Mursi. Amerika selama ini menjadi mitra istimewa Mesir dalam hal militer maupun ekonomi. Mesir juga menjadi penyokong kepentingan Amerika menjaga stabilitas dunia Arab untuk tujuan ekonominya. Kebangkitan demokrasi Mesir sudah dielakkan menjadi kekhawatiran Amerika. 

Amerika khawatir efek Mesir akan memperluas Arab Spring dan membahayakan stabilitas cengkeraman politik ekonominya. Setali tiga uang dengan Amerika, negara-negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab secara tidak langsung mendukung kudeta militer Mesir. Arab Saudi memberikan paket bantuan 5 miliar dollar AS dan Uni Emirat Arab sebanyak 3 miliar dollar AS kepada pemerintah sementara Mesir. Negara-negara kerajaan ini tentu khawatir akan efek Arab Spring Mesir dalam hal demokratisasi. 

Menilik faktor geopolitik di atas, krisis mesir tentu tidak bisa diurai secara parsial dari dalam negeri saja. Kekuatan geopolitik adidaya mendukung kudeta mestinya diimbangi oleh kekompakan tekanan internasional. Isu demokrasi dan kemanusiaan menjadi faktor penguat dalam menggalang dukungan. 

Turki selama ini telah tampil pada garda terdepan menyuarakan penyelesaian krisis Mesir. Perdana Menteri Erdogan berhasil memanfaatkan kekuatan pengaruh Turki secara regional dalam menggandeng negara lain mengecam kudeta dan pembantaian di Mesir. Negara-negara komunis, seperti Venezuela dan Ekuador, bahkan telah manarik duta besarnya sebagai bukti kecaman. Uni Eropa tampaknya juga akan merapat dalam barisan Turki.

Perimbangan kekuatan geopolitik antara pro dan kontra kudeta secara internasional diharapkan dapat membantu percepatan terbukanya jalan keluar Mesir dari kubangan krisis. Diplomasi antarpihak semestinya berada pada koridor prinsip demokrasi dan kemanusiaan. ● 

Kalasuba Setelah Pandora

Kalasuba Setelah Pandora
Yudhistira ANM Massardi ;  Sastrawan
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan para dewa di Olimpus—diciptakan atas keinginan Mahadewa Jupiter yang marah—untuk diberikan kepada Prometeus di Bumi. Ini sebagai ”hukuman” karena Prometeus telah mencuri api surga dan memakmurkan kehidupan di Bumi.
Prometeus yang waspada menolak pemberian Jupiter itu. Namun, saudara Prometeus, Epimeteus, dengan gembira menerimanya. Hingga suatu hari datanglah Merkurius ke rumah Pandora dan menitipkan sebuah peti kayu hitam sangat berat yang dililit rantai emas. Setelah Merkurius pergi, Pandora yang penasaran lalu membuka peti itu, dan dalam sekejap berhamburanlah sejumlah makhluk kecil bersayap penyebar segala macam penyakit, tabiat buruk, dan aneka kejahatan yang menjadi sumber bencana bagi umat manusia.
Analogi reformasi
Kisah kotak Pandora dari mitologi Yunani itu sedikit banyak bisa dianalogikan dengan proses reformasi politik kita yang pintunya terbuka pada 1998. Setelah itu, sepanjang 15 tahun ini, kita hanya menyaksikan maraknya aneka kejahatan, terutama korupsi yang menjadi sumber bencana bagi kelangsungan hidup republik ini.
Bulan Agustus ini, umur pemerintahan negara kita, jika diukur menurut kesempatan hidup manusia, sesungguhnya telah mencapai masa uzur dan sudah layak masuk liang kubur. Namun, pertumbuhan bangsa selama masa kemerdekaan ini ternyata tak bisa mencapai kesesuaian dengan tahap perkembangannya. Pertambahan umur tak seiring dengan pertumbuhan kedewasaan dan kematangan berbangsa-bernegara. Kita hanya mendapatkan umur, tanpa mendapatkan kearifan.
Reformasi hanya jadi sebuah guncangan besar (Fukuyama) yang menjebol dinding dan sekat-sekat yang sebelumnya dianggap mengungkung. Namun, kebebasan yang didapat hanya dimanfaatkan untuk menumpahkan aneka syahwat purba yang emosional, egoistis, gelap, dan destruktif. Seperti dikiaskan oleh sebuah ungkapan Melayu (Tengku Luckman Sinar): ”Sekali air bah, sekali tepian berubah.”
Kejahatan korupsi para pejabat negara dan aneka perbuatan destruktif para anggota masyarakat tak hanya telah membinasakan marwah, tetapi juga sekaligus modal sosial (Tocqueville, Weber, Putnam) yang dibutuhkan sebuah bangsa dan negara untuk membangun kekuatan diri. Sebagaimana dirumuskan James Coleman, modal sosial adalah ”seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk pengembangan kognitif atau sosial anak.” Namun, justru ulah para politisi dan birokrat di lembaga eksekutif-legislatif-yudikatif yang korup menghancurkannya.
Alhasil, keluarga-bangsa pun kehilangan teladan dan landasan moral bagi pengukuhan dan pewarisan norma-norma dan aturan bagi perilaku luhur dan kerja sama sesama warga negara. Kita terperangkap oleh arogansi sektoral, sektarian, dan primordial. Sebagian besar energi bangsa pun terkuras untuk hal-hal sepele, remeh-temeh, dangkal, dan bodoh.
Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh telaah Fukuyama, setiap guncangan besar niscaya akan melalui proses alamiah penataan kembali, dari disordering ke reordering of the society. Setelah zaman Kalabendu akan datang zaman Kalasuba yang penuh harapan (Jayabaya, Ronggowarsito). Kotak Pandora pun harus dibuka lebih lebar lagi. Itu karena Jupiter pun masih menyisakan cintanya kepada manusia dengan menempatkan makhluk-makhluk bernama ”Harapan” di dasar kotak Pandora, untuk menyembuhkan aneka penyakit yang menyengsarakan.
Kita yang hidup di zaman kini patut bersyukur terhadap perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi melalui internet dan jejaring media sosial. Selain memberikan dampak negatif bagi runtuhnya hegemoni lembaga-lembaga (kekuasaan) formal dan menyuburkan lahan bagi aneka bentuk pemberontakan, perlawanan, dan individualisme, kebebasan setiap orang untuk menyatakan pendapatnya pun berperan bagi pembentukan opini yang lebih lekas dan luas.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pengguna media sosial tanpa harus merasa takut bisa dengan tegas dan keras menyatakan dukungan bagi kebaikan dan kutukan bagi kejahatan di lingkungannya. Dengan semua fasilitas yang tersedia, tiap warga negara secara spontan dan tanpa tekanan telah bersama-sama membangun kembali modal sosial yang dirusak para aparatur negara, berlandaskan pada nilai-nilai luhur dari sejumlah agama serta norma-norma budaya tradisional yang diwariskan para leluhurnya. Itulah anugerah yang diberikan kemajuan teknologi kepada zaman ini. Itulah wadah baru bagi penguatan modal sosial setiap bangsa.
Kata kuncinya: budaya
Ada yang berpendapat, tanpa modal sosial tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa masyarakat sipil tidak akan ada demokrasi yang berhasil. Dengan kata lain, kata kuncinya adalah budaya. Tanpa mengukuhkan (kembali) kekuatan budaya, tidak akan ada kemajuan yang bisa dicapai suatu bangsa. Hal itu karena modal sosial sesungguhnya adalah nilai-nilai yang ditumbuhkan sebuah kebudayaan. Kebudayaan adalah kumpulan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memperkaya dan menentukan tinggi-rendahnya sebuah peradaban.
Dalam hal ini, bangsa Melayu telah memberikan andil yang fundamental bagi jati diri bangsa Indonesia. Jadi, harus dikatakan, kebudayaan Melayu adalah salah satu modal sosial terbesar bangsa ini. Sudah saatnya Republik Indonesia berterima kasih kepada bangsa Melayu yang tidak hanya telah memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia, tetapi juga telah memberikan pataka kejayaan pada masa silam melalui Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang berkuasa hingga ke Burma dan Thailand; melalui Dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang telah membangun Candi Borobudur, menyebarkan agama Hindu-Buddha, dan menjadi nenek moyang raja-raja di Tanah Jawa; serta leluhur bagi para sultan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Memperingati hari proklamasi kemerdekaan adalah memuliakan modal sosial, dan memuliakan modal sosial adalah menjunjung tinggi kebudayaan. Dengan begitu, sebagaimana dikiaskan dalam hikayat lama Melayu: ”Maka negeri itu pun makmur sejahtera. Ramailah para saudagar datang ke bandar itu. Padi pun menguning, dan rakyat banyak bersukacita!” ●  

Selebritas

Selebritas
Asep Salahudin ;  Esais dan Dekan Fakultas Syariah
 di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Ustaz, kiai, tuan guru, ajengan, dan romo adalah gelar kultural yang biasa dinisbatkan masyarakat (umat) kepada orang yang memiliki kecakapan di bidang keagamaan.
Gelar itu tak berdiri sendiri. Interaksi simbolisnya berkelindan bukan hanya dengan pemahaman keagamaan (kognitif) yang disalurkan dalam wujud keelokan bertablig, melainkan juga keteladanan hidupnya. Keikhlasan, pilihan hidup asketik, kejujuran, satunya kata dengan perbuatan, kesederhanaan yang kemudian membuat sang kiai itu dihormati. Dari wajahnya tebersit karisma. Umat kemudian menyebutnya ”karamah” dan keberkahan. Jangankan fatwa, bahkan gestur tubuhnya dipandang mencerminkan jejak-jejak wibawa kenabian. Warasatul anbiya.
Kiai tidak ”mengetuk” pintu kekuasaan, tetapi justru kekuasaan yang mendatanginya. Di mana pun kuasa selalu membutuhkan jaringan legitimasi moral, dan kiai yang sejarah pengalaman kesehariannya bergumul dengan napas masyarakat dipandang dapat merepresentasikan keinginan massa, penyambung lidah rakyat. Di titik ini, kiai memerankan diri sebagai tenda moral dan jangkar kekuatan masyarakat madani.
Zaman kolonial
Tipikal kiai seperti itulah yang dahulu sangat ditakuti kaum kolonial. Mereka tahu bahwa di balik kibaran sarungnya tersimpan kekuatan mengonsolidasi rakyat untuk membangkitkan perlawanan terhadap ihwal yang dianggap mungkar dan kafir. Sekali ”jihad” diserukan, dengan serta-merta masyarakat termobilisasi dan serentak mengikuti sabda kiai. Dalam alam pikiran insan negeri kepulauan, kalau titah raja yang menggema dari keraton dianggap sebanding dengan perintah Tuhan, hal yang sama berlaku juga untuk kiai. Tausiah-nya yang didengungkan dari bilik pesantren dipandang sebangun dengan firman Tuhan.
Sartono Kartodirdjo menuturkan bahwa peristiwa penentangan sosial-politik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan Pemerintah Belanda sendiri, dipelopori para kiai. Jika diperlukan, para kiai menjalin hubungan dengan kalangan elite lokal (Steenbrink, 1984). Kartodirdjo mendokumentasikan dengan cukup baik fakta sosial perlawanan kiai ini dalam Protest Movement in Rural Java dan The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Sir Thomas Raffles dalam The History of Java menggambarkan, dalam setiap pergolakan sosial, hampir semua kiai di Nusantara menjadi aktor paling militan dalam menentang kaum kolonial, hampir tidak ada kiai yang melakukan politik kompromistis dengan penjajah.
Pada masa pergerakan mempertahankan kemerdekaan ”resolusi jihad” telah cukup menggambarkan tentang kekuatan karisma politik kiai. Resolusi jihad yang kemudian menjadi pemantik lahirnya peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo menjalin hubungan sinergis dengan KH Hasyim Asy’ari dan politisi muda anaknya, KH Wahid Hasyim. KH Zainul Arifin (Laskar Hisbullah), KH Wahab Hasbullah (Barisan Mujahidin), KH Masykur (Laskar Sabilillah), batalion PETA yang hampir setengahnya dipimpin kiai Nahdlatul Ulama berada di barisan terdepan dalam pertempuran hari pahlawan itu.
Kiai hari ini
Itu dulu. Ketika dakwah keagamaan dilakukan dengan ikhlas. Tatkala budaya populer belum menyerbu semua segmen kehidupan. Hari ini riwayatnya lain lagi. Hikayatnya sudah sangat jauh berbeda.
Tersebutlah pada awal abad ke-21 fragmen kegaduhan mempersoalkan tarif kiai, lebih tepat lagi ustaz. Kita sesungguhnya tidak perlu ikut mencaci maki sang ustaz yang dengan telanjang memasang tarif atas kecakapannya dalam menyampaikan senarai firman Tuhan yang dianggap sakral dan konon haram ”diperjualbelikan” oleh sebagian kalangan.
Bukankah fenomena praktik ”memperjualbelikan” ayat-ayat Tuhan bukan hanya dilakukan ustaz, melainkan juga oleh para politisi, baik yang beraliran nasionalis, sekularis, sosialis, maupun agamis? Bahkan, bisa jadi aktivis ”partai yang berbasis agama” yang paling hobi mempraktikkannya. Kabar terakhir, yang terbelit kasus impor sapi yang menimpa sebuah partai dakwah, semua tersangka dan para saksinya dipanggil ”ustaz”. Semua media menulisnya dengan panggilan ”ustaz” walaupun nyata-nyata berlumuran ”kemungkaran sosial” (korupsi), malah disebut-sebut tidak hanya menyebar dinar, tetapi juga ”mengoleksi” sekian perempuan ghair muhrim. Sesuatu yang tidak terbayangkan menimpa kiai tempo dulu.
Betul apa yang pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama memiliki energi metafisik untuk melakukan dominasi simbolis dengan efek dahsyat yang terkadang tidak diinsafi pemeluknya sendiri. Di balik kelihaian para pendakwahnya (dan kaum agamawan), tersembunyi naluri manusia: menyalurkan hasrat serta mengejar benda dan kekuasaan.
Kenapa tarif tidak perlu dipersoalkan? Sebab sesungguhnya sejak awal sang ustaz mungkin di bawah layar bawah sadarnya tidak memosisikan dirinya sebagai ”ustaz”, tetapi lebih sebagai bagian dari kerumunan selebritas atau minimal motivator yang mengambil agama sebagai bahan motivasinya. Halnya dunia selebritas, yang harus dikedepankan adalah ”tubuh” dengan segala aksesori pencitraannya. Yang diperlukan bukan kedalaman materi agama, apalagi penghayatan kudus religiositas, melainkan kepandaian beretorika. Bukan pencerahan, melainkan kesanggupannya membuat humor-humor yang bikin terpingkal-pingkal khalayak.
Mimbar infotainmen
Laikya selebritas, panggung utamanya bukan di masjid, madrasah, dan pesantren, melainkan di televisi. Media untuk melipatgandakan ”pengaruhnya” apalagi kalau bukan mimbar infotainmen. Bukan kitab kuning yang dilogati lewat bandungan dan sorogan. Sudah menjadi pasal besi bahwa bagi infotainmen yang menarik untuk dikabarkan adalah percakapan soal artifisial, semisal jenis kendaraan, merek sepatu, rumah tinggal, hobi, dan lebih menarik lagi cerita ”percintaannya” walaupun itu sah, misalnya, menurut agama seperti poligami. Maka, akhirnya ustaz harus menyesuaikan dengan selera pasar. Bukan sebaliknya. Dipilihlah Lamborghini, motor gede, wisata ke luar negeri, dan salon. Jika gaya hidup seperti itu tidak bisa ditutupi dengan penghasilan dari dakwah, dirangkaplah peran sebagai bintang iklan. Agen iklan tentu jatuh cinta kepada sosok yang dianggap memiliki massa.
Dengan tarif ustaz tidak ada yang salah. Tidak ada yang dilanggar. Sebab sejak sedari awal relasinya bukan ustaz dengan jemaahnya, melainkan ustaz dengan penggemarnya. Seorang idol dengan fansnya. Di wilayah ini, etika otomatis dianggap fosil, sebagai bagian silam norma skolastik. Sementara yang menahbiskannya sebagai ustaz bukan umat, melainkan televisi! ●  

Solusi Daging Sapi

Solusi Daging Sapi
Muladno ;  Guru Besar Fakultas Peternakan IPB
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Harga daging sapi masih tinggi. Upaya pemerintah lewat Bulog mengimpor daging sapi dan sapi siap potong dari Australia agar harga daging turun tak berhasil. Padahal, demi hajat orang banyak untuk mendapatkan daging berharga wajar, pemerintah telah ”menerobos” sejumlah aturan yang ada. 
Ternyata hukum ekonomi tak berjalan karena meski pasokan melimpah, harga tetap tinggi. Jelas ada yang tak beres di balik ini semua. Ini membuat berita Kompas (17/7/2013) meragukan kebenaran penurunan jumlah sapi sebesar 19 persen. Tadinya saya berpikir kelangkaan daging sapi akibat penurunan populasi yang mengakibatkan harga daging tinggi. Namun, setelah pasokan sapi dan daging sapi ditambah, ternyata harga masih tetap tinggi. Jadi, tak ada korelasi antara harga daging dan ketersediaan sapi ataupun daging. Situasi pasar menjadi terombang-ambing.
Fenomena ini juga salah satu bukti betapa berbahayanya bangsa kita ke depan tanpa adanya kedaulatan pangan! Kita sudah bergantung kepada negara lain untuk memenuhi kebutuhan daging sapi berharga wajar. Jika ini terjadi pada komoditas lain juga, apa jadinya bangsa kita? Oleh karena itu, perlu ada perubahan strategi sangat mendasar untuk membangun usaha dan industri peternakan sapi di Indonesia agar terhindar dari kebergantungan kepada negara lain.
Untuk strategi jangka panjang, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah memperbaiki usaha beternak sapi bagi 6,5 juta peternak berskala kecil. Mereka yang menguasai lebih dari 98 persen populasi sapi di Indonesia harus diajak berbisnis secara benar melalui pendekatan kolektif dengan satu manajemen. Kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternak di Indonesia memungkinkan hal itu. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan yang digunakan peternak Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya masyarakat, dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.
Selama ini peternak kecil hanya diajari secara teknis. Itu pun bersifat parsial dan tak berkelanjutan. Jumlah peternak yang diajari juga sangat terbatas dan lokasinya menyebar. Celakanya lagi banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan berbeda-beda. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan tinggi, tetapi tingkat keberhasilan rendah dan produktivitas sapi tetap rendah.
Beberapa peternak malah terkesan mengejek ”Kalau ada bantuan pemerintah, kami anggap untuk refreshing aja, Pak”, kata seorang peternak kepada saya. Dari diskusi lebih lanjut, ternyata para peternak tahu pemerintah selama ini hanya melaksanakan proyek dan tidak membina mereka untuk dapat mandiri. Pemerintah di sini bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan juga kementerian lain yang menggunakan ternak sebagai komoditas dalam proyeknya.
Hal itu dapat diartikan bahwa pendekatan proyek yang selama ini berjalan tidak mencerdaskan peternak dan tidak membuat mereka menjadi pengusaha sapi yang berdaya saing. Namun, fakta lain juga menunjukkan bahwa tidak semua proyek pemerintah gagal karena beberapa proyek pemerintah dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis sebagaimana yang terjadi dalam program Sarjana Membangun Desa (SMD). Namun, keberhasilan program ini kurang berdampak secara signifikan.
Peternak mandiri
Jadi, yang perlu diupayakan ke depan adalah bahwa peternak harus dapat berbisnis secara mandiri melalui usaha kolektif dengan satu manajemen. Jumlah sapi yang diusahakan harus ada minimalnya, misalnya, 1.000 ekor sapi betina dalam satu kawasan padat sapi. Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun nonteknis, secara terus-menerus sampai akhirnya usaha itu berjalan mandiri.
Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi, tetapi harus lebih banyak menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas peternak ataupun memperkuat fasilitas pendukungnya dalam beternak. Untuk jangka pendek, serahkan urusan pemenuhan daging kepada para pelaku bisnis yang memang menguasai pasar dan pemerintah tak perlu ikut bermain di dalamnya. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja. Kenapa? Itu karena Bulog ternyata gagal menurunkan harga daging di pasar. Bisa saja niat baik pemerintah untuk menurunkan harga daging via Bulog ”dipelintir” oknum tak bertanggung jawab sehingga tujuan dari niat baik itu tidak tercapai.
Saya menduga ada perlawanan pelaku bisnis sapi kepada pemerintah dalam hal penyediaan daging sapi di Indonesia kali ini. Ketika para pelaku usaha diberi kuota impor, di antara mereka sendiri bersaing untuk mendapatkan kuota terbanyak. Segala cara digunakan agar dapat kuota besar dengan harapan dapat untung besar. Bisa jadi mereka ”cakar-cakaran” dalam upaya memperebutkan kuota impor. Namun, ketika pemerintah sendiri ikut menangani impor daging dan impor sapi siap potong via Bulog dalam rangka menurunkan harga daging, para pelaku bisnis mungkin merapatkan barisan dan kompak ”melawan” pemerintah. Dengan masih tingginya harga daging di pasar, ”duel” pelaku bisnis dengan pemerintah tampaknya dimenangi pelaku bisnis.
Mudah-mudahan analisis saya tersebut salah. Namun, seandainya benar, semua pihak mulai perlu bernegosiasi dengan tetap saling menghormati profesionalitas masing-masing. Pemerintah harus bertindak sebagai regulator dan pelaku bisnis sebagai aktor. Demi kepentingan nasional, pelaku bisnis harus pula bergandeng tangan dengan pemerintah untuk membantu peternak berskala kecil agar dapat lebih berdaya saing. Ketika para peternak berskala kecil menjadi maju dan besar melalui usaha kolektifnya, mereka dapat saja berkolaborasi dengan perusahaan besar untuk berbisnis sapi dengan peternak Australia. Saya yakin, harga sapi akan bisa dikendalikan melalui mekanisme pasar karena para pelaku bisnis sapi memang sudah merupakan komunitas sendiri. Oleh karena itu, semua pihak harus berpikir positif untuk melahirkan hasil yang positif juga. Dengan demikian, semua pihak tersenyum, konsumen pun ikut tersenyum! ●  

Mengubah Pola Makan

Mengubah Pola Makan
Sjamsoe’oed Sadjad ;  Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Tahun ini usia NKRI 68 tahun. Kalau generasi anak saya nanti mencapai usia setinggi umur saya saat ini, dan cucunya pun telah memiliki cucu, apakah mereka itu masih bisa makan nasi dan lauk-pauk seperti sekarang?
Ini masalah pangan bangsa di masa depan, 32 tahun dari sekarang. Berbagai opini mengenai pangan dengan data statistik lengkap menunjukkan betapa kritikal kalau kita tetap berpegang pada pola pangan kita saat ini yang dominan nasi dan lauk- pauk. Menghadirkan nasi dan lauk-pauk sepiring penuh baru berarti makan.
Bisakah diubah?
Fokusnya sejak dulu kala tidak berubah. Masalah pangan selalu dihadapi dengan intensifikasi budidaya padi. Kebijakan politik pangan pemerintah seperti itu sah- sah saja karena bagaimanapun kecukupan bahan pangan harus terjamin. Jika produksi dalam negeri tak mencukupi, impor pun jadi. Lalu, bagaimana peran masyarakat yang sebagian besar bukan petani padi?
Luas lahan untuk pertanaman padi di Jawa makin ciut akibat alih fungsi. Jumlah penangannya juga kian menyusut akibat bertani padi kurang memberikan penghasilan dibandingkan sektor lain. Buruh tani makin kecil jumlahnya sehingga untuk pekerjaan tanam dan panen kekurangan tenaga kerja. Faktor-faktor ini kurang mendukung upaya pengadaan logistik bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok sebagian besar bangsa ini.
Impor beras masih leluasa dilakukan, tetapi dengan jumlah penduduk dunia yang makin besar tiga dekade mendatang, impor akan makin susah dilakukan. Penting untuk mengubah kebijakan politik pertanian pangan kita. Kita juga harus bisa mengubah pola makan, dengan tak lagi membedakan komponen pangan di piring kita dan lebih mengarahkan pada pangan berbasis gizi dengan setiap unsurnya berkedudukan sama, apakah itu sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, vitamin, atau mineral. Semua harus berkecukupan masuk ke dalam perut kita, dan tak harus berbentuk makanan pokok dan lauk-pauk. Singkatnya, proses ”demokratisasi” unsur pangan di piring kita.
Kesulitan kita menggantikan nasi dengan sumber karbohidrat lain selama ini karena tak mudah mendapatkan kombinasi lauk- pauk yang sesuai selera makan kita. Betapa sulitnya menemukan lauk-pauk tiga macam dicampur dalam satu piring yang dapat memenuhi selera makan kita, apabila nasi kita ganti dengan jagung rebus atau ubi kayu rebus sebagai makanan pokok.
Sebaliknya, akan lebih leluasa jika sumber karbohidrat itu kita makan (sendiri-sendiri) bersama dengan udang goreng, ayam, tahu, atau tempe goreng sebagai sumber protein. Model ini kita sebut saja sebagai single dishes model (SDM) dalam pola makan kita menggantikan model nasi plus lauk-pauk (NPLp). Dengan SDM menggantikan NPLp, kita tak menghadapi kesulitan menyajikan sepiring makanan yang membangkitkan selera akibat tak sesuainya kombinasi lauk-pauk.
Pengembangan industri pangan
Masa 32 tahun adalah waktu yang akan dilalui menuju 100 tahun usia Indonesia merdeka. Waktu yang tidak panjang untuk mengubah budaya makan, kecuali kita berusaha keras di masing-masing keluarga, karena semua menyadari pentingnya mengubah pola makan demi keberlanjutannya generasi ke depan. Sekarang saja, pemerintah sudah mengampanyekan one day no rice. Jangan-jangan 32 tahun yang akan datang kita mencapai situasi one year no rice, kalau bangsa kita sudah berjumlah setengah miliar manusia, sesudah lahan sawah padi di Jawa tinggal separuh luas saat ini. Lalu, sumber karbohidrat apa yang bisa menjadi konsumsi sehari-hari kalau pola makan kita masih model NPLp?
Kita memang tidak perlu pesimistis dengan luasan lahan dan lautan kita yang begitu besar. Begitu pula dengan iklim tropis yang panas dan basah, pertumbuhan tanaman dimungkinkan sepanjang tahun, serta sumber protein berlimpah di lautan. Namun, kita juga tak boleh sembrono, terutama dihadapkan pada potensi bencana alam yang sering mengakibatkan produksi pangan merosot drastis.
Dengan perubahan pola makan dari NPLp ke SDM, kita bisa leluasa mengurangi konsumsi nasi kita. Dengan mengubah pola NPLp yang makan dengan satu tahap menjadi tiga tahap pada model SDM, akan lebih mudah mengganti nasi pada tahap kedua dan seterusnya dengan sumber karbohidrat lain. Hal ini bisa terjadi karena sumber karbohidrat kita proses jadi produk tepung. Sehingga yang kita makan bukan berwujud nasi lagi, tetapi roti, keik, kue, dan lain-lain. Semuanya proses industrial.
Segenap bahan pangan kita diupayakan menjadi produk industri sehingga bisa disajikan di meja makan secara instan. Untuk itu perlu didorong proses industrialisasi bahan pangan kita, baik sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, maupun mineral. Langkah ini lebih memajukan sektor pertanian dan lebih cepat menyejahterakan petani kita. Semua akan sinkron dengan upaya lebih memopulerkan sistem makan kita dengan model SDM. Demi keberlanjutan hidup bangsa ini, perubahan budaya makan perlu kita lakukan dan jangan hanya terpaku pada proses produksi bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok. ●  


Kendaraan atau Rumah?

Kendaraan atau Rumah?
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Saya tiga kali meliput Pilpres Amerika Serikat saat Bill Clinton menang tahun 1992, George W Bush menang lagi tahun 2004, dan Barack Obama terpilih tahun 2008. Tak mudah meliput Pilpres AS karena berlangsung dalam periode Februari-November pada tahun yang sama.
Setiap kandidat mengumumkan pencalonan beberapa bulan sebelum awal tahun sebelumnya. Saat pengumuman mereka telah menyiapkan misi-visi, platform, timses pribadi, dan juga timses partai di setiap negara bagian.
Selama sekitar enam bulan sejak Februari berlangsung pemilihan-pemilihan awal/kaukus di semua negara bagian. Ini tahap paling menantang dan melelahkan bagi setiap kandidat karena mereka ”terjun ke lapangan”.
Hal itu menantang karena capres bertemu, bersalaman, berbasa-basi ataupun berfoto bersama ratusan ribu calon pemilih. Dan, calon pemilih itu bukan hanya dari partai masing-masing, melainkan juga dari kalangan independen yang jumlahnya sekitar sepertiga dari pemilih terdaftar.
Ini melelahkan karena setiap capres mesti siap secara fisik menempuh perjalanan ribuan kilometer baik dengan pesawat, kereta api, maupun bus. Belum lagi ratusan kali pidato, puluhan kali debat lawan capres-capres dari partai yang sama di televisi, radio, dan seterusnya.
Dalam periode itu pula setiap capres memulai proses mencari cawapres yang cocok, membentuk ”kabinet bayangan”, dan lain-lain. Jangan lupa, setiap capres dalam periode itu ikut pula berkampanye untuk pemilihan anggota DPR, senator, dan gubernur-gubernur.
Di atas segala-galanya, setiap capres harus menyiapkan dana tak sedikit. Adalah Obama yang memecahkan rekor dana kampanye, mengumpulkan hampir 670 juta dollar AS–sekaligus mencetak rekor satu miliar dollar AS untuk semua capres Demokrat dan Republik.
Menjual capres sama dengan menjual produk baru yang disiapkan packaging-nya, pemasarannya, sampai etalasenya. Ini yang namanya branding, yang untuk satu kali spot iklan di televisi bisa mencapai ratusan ribu dollar AS.
Setelah mereka ”berdarah-darah” selama sekitar setengah tahun, tampaklah hasil elektabilitas masing-masing yang diukur oleh berbagai lembaga survei. Berpatokan dari hasil berbagai survei itulah setiap partai pada Agustus-September menyelenggarakan konvensi.
Konvensi Demokrat maupun Republik memakai predikat ”nasional”, yakni masing-masing DNC (Democratic National Convention) dan RNC (Republican National Convention). Itu bersifat nasional karena kerja keras selama kampanye melibatkan kerja mesin dan politisi partai dari tingkat pusat sampai daerah.
Konvensi adalah ”non-event” alias bukan acara penting lagi kecuali merayakan sukses kampanye capres/cawapres/anggota DPR/senator/gubernur, menobatkan secara resmi duet capres-cawapres, dan menetapkan platform partai. Ia perhelatan besar yang diselenggarakan di arena besar dan dihadiri puluhan ribu orang.
Acara penting lain adalah memberikan tempat untuk kader partai terpilih menjadi pembaca pidato kunci. Obama mendapat kehormatan ini, berpidato ketika konvensi meresmikan John Kerry-John Edwards tahun 2004.
Nah, apa yang dilakukan oleh Partai Demokrat (PD) agak terbalik. Saat ini mereka menyelenggarakan konvensi untuk menyeleksi (selection, bukan  election) capres-capres yang tahun depan akan mengerucut menjadi seorang capres pemenang konvensi.
Sudah satu orang capres yang menolak ikut konvensi, yakni mantan Wapres Jusuf Kalla. Tiga lainnya, salah satunya mantan Ketua MK Mahfud MD, mengundurkan diri.
Betapapun, the show must go on. Komite masih sibuk melakukan wawancara, pimpinan partai masih repot dengan perekrutan capres. Mereka yang lolos seleksi akan mulai ”terjun ke lapangan” selama beberapa bulan ke sejumlah daerah dan agak ganjil jika kelak elektabilitas mereka ditentukan hanya oleh tiga lembaga survei.
Kritik terhadap penyelenggaraan Konvensi PD adalah minimnya keterlibatan internal partai. Mesin politik kurang bekerja karena pengurus pusat sampai daerah, juga infrastruktur/organisasi partai, nyaris tidak bekerja.
Semua proses tampaknya berwatak ”Jakarta-sentris” yang cuma melibatkan elite partai di pusat. Maka, wajar jika muncul kekecewaan dari berbagai kalangan akar rumput partai.
Sebenarnya Konvensi PD dapat dikatakan mempunyai itikad luhur ingin memberikan peluang kepada orang-orang nonpartai yang berpotensi menjadi pemimpin. Namun, tampaknya hanya segelintir saja ”orang dalam” PD yang mendapat kesempatan tersebut.
Bahkan, sempat muncul dugaan jangan-jangan pemenang konvensi ini sudah disiapkan jauh-jauh hari. Jika benar begitu, bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka yang mungkin lebih baik tetapi sayang bukan ”orang dalam” PD.
Lalu, sempat pula muncul spekulasi tentang dari mana asal pendanaan penyelenggaraan konvensi yang tentu berbiaya mahal ini. Jangan sampai terjadi lagi karut-marut pendanaan seperti yang terjadi di Kongres Bandung 2010.
Konvensi jadi salah satu metodologi yang ideal untuk merekrut pemimpin. Jangan sampai konvensi ini mengulang yang dilakukan Golkar tahun 2004 yang terbukti kurang kompak mendukung duet Wiranto-Salahuddin Wahid.
Konvensi akan sukses jika setiap capres mulai berkampanye dengan teknik microtargeting yang lebih teknis dan analitis. Sekarang zamannya retail politics dan disiplin ini bisa dipelajari dari aneka sumber yang mudah didapat.
Di atas segala-galanya, setiap capres hendaknya ”dibaiat” sejak dini bergabung dengan PD. Sudah saatnya kita memulai lagi tradisi, partai itu bukanlah kendaraan, tetapi rumah yang aman dan nyaman untuk dihuni sepanjang masa.  ● 

“Abenomics”

“Abenomics”
Muhammad Syarkawi Rauf ;  Dosen FE Unhas,
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KOMPAS, 30 Agustus 2013


Pemulihan ekonomi Jepang berada pada jalur yang tepat. Hal ini ditandai oleh kemenangan Partai Demokratik Liberal dalam pemilihan majelis tinggi Jepang, akhir Juli lalu. Kemenangan itu memberikan mandat lebih besar kepada pemerintahan Shinzo Abe dalam menjalankan paket reformasi ekonominya yang populer disebut Abenomics.
Paket reformasi ekonomi Abenomics bertujuan menyelesaikan permasalahan struktural perekonomian Jepang yang sejak beberapa tahun terakhir mengalami deflasi, rasio utang khususnya utang dalam negeri terhadap PDB sangat besar, pertumbuhan ekonomi negatif, dan daya saing global yang melemah.
Paket reformasi Abenomics memiliki tiga kerangka pokok. (1) Monetary easing policy yang hampir serupa dengan quantitative easing policy oleh The Fed, bank sentral Amerika Serikat. (2) Mengurangi defisit fiskal secara signifikan dengan cara memangkas utang dan menyederhanakan program jaminan sosial. (3) Revitalisasi ekonomi dengan cara meningkatkan daya saing industri.
Dalam jangka pendek, paket reformasi Abenomics telah mampu membangkitkan perekonomian Jepang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi 4,1 persen pada triwulan pertama tahun 2013, lebih tinggi dari perkiraan sekitar 3,5 persen.
Tambahan likuiditas ke dalam perekonomian Jepang yang akan mencapai 50 triliun yen dalam setahun─ setara dengan 6,5 kali PDB Indonesia tahun 2012─ menguatkan kembali nilai yen menjadi 94 yen per dollar AS pada Juni 2013, setelah sebelumnya terdepresiasi dari 79 menjadi 103 yen per dollar AS pada Mei 2013.
Namun, dalam jangka menengah dan panjang, sebagian masyarakat Jepang masih tidak yakin terhadap Abenomics. Transmisi kebijakan moneter super longgar ke sektor riil masih perlu pembuktian karena hingga saat ini angka pengangguran di Jepang masih tinggi.
Fokus reformasi
Beberapa bulan sejak terpilih sebagai perdana menteri Jepang, Shinzo Abe merampungkan paket reformasi ekonomi yang dirumuskan oleh tiga dewan, yaitu: (1) Dewan reformasi kebijakan ekonomi dan fiskal. (2) Dewan peningkatan daya saing industri. (3) Dewan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil diskusi dari tiga dewan di atas terangkum dalam lima isu:
Pertama, bank sentral Jepang (BOJ) didorong menjalankan monetary policy easing dengan membeli surat berharga berisiko tinggi. Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan likuiditas perekonomian dalam rangka memengaruhi sektor riil. Kelebihan likuiditas diharapkan dapat segera ditransmisikan ke kegiatan ekonomi riil untuk membuka lapangan kerja baru.
Kedua, Pemerintah Jepang harus menjalankan kebijakan revitalisasi ekonomi dan rekonstruksi kebijakan fiskal secara simultan. Tujuannya mempercepat proses pemulihan ekonomi dengan cara meningkatkan produktivitas yang secara bersamaan menurunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP. Pemerintah harus mampu mengurangi separuh defisit fiskal tahun 2015 berdasarkan posisi tahun 2012 dan menjadikan anggaran surplus tahun 2020.
Ketiga, untuk mencapai tujuan di atas, pemerintah dituntut memotong anggaran dan menyederhanakan program jaminan sosial. Tidak terhindarkan, pemerintah akan mengurangi pekerja sektor publik dan juga pemotongan anggaran pemerintah daerah.
Keempat, menjadikan kegiatan inovasi sebagai mesin utama pendorong pertumbuhan ekonomi Jepang yang difokuskan pada lima area, yaitu energi bersih dan ekonomis, perbaikan layanan kesehatan dan peningkatan angka harapan hidup melalui inovasi teknologi kesehatan, pengembangan infrastruktur, revitalisasi perekonomian daerah, dan percepatan proses rekonstruksi pascatsunami.
Kelima, mendorong peningkatan partisipasi kaum perempuan dalam semua kegiatan ekonomi. Pemerintah Jepang juga dituntut meningkatkan pendapatan per kapita dari kondisi saat ini 3,84 juta yen (setara dengan Rp 384 juta per kapita per tahun) menjadi 5,34 juta yen, setara dengan Rp 534 juta per kapita per tahun dalam 10 tahun ke depan.
Permasalahan lanjutan
Implementasi paket reformasi Abenomics melalui kebijakan moneter ekstra longgar telah menyebabkan nilai tukar yen per dollar AS terdepresiasi yang kemudian meningkatkan kinerja industrinya yang berorientasi ekspor. Daya saing produk ekspor perusahaan Jepang membaik dan indeks harga saham gabungan di bursa Tokyo mengalami peningkatan.
Namun, depresiasi yen per dollar AS menyebabkan impor bahan baku industri menjadi mahal. Sebagai contoh, kenaikan biaya impor minyak dan gas bumi menambah beban biaya energi listrik. Sejak gempa tsunami beberapa waktu lalu, pembangkit listrik di Jepang lebih mengandalkan bahan bakar minyak dan gas bumi.
Monetary easing menyebabkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian Jepang. Kondisi ini melambungkan harga saham sekitar 50 persen pada Mei 2013 dibandingkan dengan posisi Desember 2012 (The Japan Times, 19/06/13). Perkembangan ini mengarah pada stock market bubble, yaitu meningkatnya harga saham tanpa diikuti oleh perbaikan kondisi fundamentalnya.
Inflasi yang mulai positif dan diperkirakan mencapai 2 persen dalam dua tahun mendatang menyebabkan biaya hidup meningkat. Kesejahteraan masyarakat menurun dan akan semakin buruk jika pemerintahan Shinzo Abe merealisasikan pemangkasan program jaminan sosial.
Akhirnya, sebagai negara perekonomian terbesar ketiga dunia dan sebagai partner dagang utama Indonesia, ketidakpastian pemulihan ekonomi Jepang melalui paket reformasi ekonomi Abenomics memberi sinyal bahwa dalam tiga tahun ke depan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan sangat bertumpu pada pasar domestik. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun paket kebijakan ekonomi baru untuk mengoptimalkan peran pasar domestik sebagai engine of growth. ● 

Restrukturisasi Kelembagaan dan Reformasi Birokrasi

Restrukturisasi Kelembagaan dan Reformasi Birokrasi
Sabar G dan Ery RPB ;  Kedua penulis adalah Pegawai
di Kementerian Lingkungan Hidup
SINAR HARAPAN, 30 Agustus 2013


Kondisi perekonomian beberapa negara, seperti Italia, Yunani, dan Jerman, belakangan ini mengalami resesi dan penurunan.

Meski begitu, pada situasi yang sama, China, (termasuk Indonesia yang pertumbuhan ekonominya diperkirakan 6,8 persen pada 2012), pertumbuhan ekonominya malah berkembang pesat.
Posisi Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi perlu diestimasi dan diperhatikan, mengingat perdagangan perekonomian dunia yang semakin terbuka.

Keterkaitan antara perdagangan bilateral dan multilateral banyak dilakukan Indonesia. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh perilaku aparatur negara dan kelembagaan, serta tata laksana pemerintahan dan perekonomian.

Ironinya, aparatur negara sejauh ini banyak memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi dan terjebak dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, mempercepat proses restrukturisasi kelembagaan dan reformasi birokrasi untuk mencapai pemerintahan yang baik merupakan dua hal mendasar dan mendesak untuk dilakukan saat ini.

Pertama, terkait dengan restrukturisasi kelembagaan. Hal ini mutlak dilakukan mengingat persaingan global yang akan dihadapi di masa mendatang adalah persaingan ekonomi antarnegara, persaingan kompetensi, dan kapasitas SDM.

Struktur kelembagaan, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan perlu ditinjau ulang, baik dari segi tugas pokok dan fungsi, rentang kendali (span of control), maupun tantangan yang akan dihadapi 10 hingga 20 tahun mendatang.

Demikian halnya dengan struktur kelembagaan sekretariat negara, lembaga pemerintah nonpemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Lembaga-lembaga ini perlu direstrukturisasi sehingga dapat memberikan hasil yang optimal, yaitu organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukur.
Kedua, penyederhanaan tata laksana dan birokrasi dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pelayanan prima dan percepatan arus barang (ekspor/impor) dalam bidang perekonomian. Persyaratan ekspor/impor barang disederhanakan.

Ketiga, pentingnya Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Belakangan ini banyak kementerian/lembaga pemerintah daerah, provinsi, dan kabupaten/kota, membentuk BPPT. Badan ini diharapkan dapat mengurangi rantai birokrasi dan pungutan liar, yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dapat memberikan insentif kepada provinsi dan kabupaten/kota yang menerapkan dan mendirikan BPPT tersebut.

Keempat, pengurangan dan/atau penambahan unit kerja badan/lembaga. Dengan analisis jabatan dan beban kerja, beberapa unit dapat digabung atau dirampingkan dalam satu kementerian/lembaga. Atau, struktur atau unit dapat dikembangkan bila beban kerja dan tantangan yang dihadapi semakin besar. Jadi, diperlukan "wright-sizing" struktur kementerian/lembaga dan badan.

Sinergi

Restrukturisasi kelembagaan tadi perlu disinergikan dengan reformasi birokrasi sebagaimana tertuang dalam Peraturan MenPAN-RB Nomor: 20 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Reformasi birokrasi melibatkan kementerian/lembaga dan pemda serta apatur negara di dalamnya. Karakter aparatur negara sangat memengaruhi keberhasilan reformasi birokrasi sehingga perlu dilakukan perubahan dan cara pandang aparatur negara.

Pertama, paradigma baru dalam pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih banyak melaksanakan bimbingan dan pengendalian (steering) daripada pelaksanaannya (rowing). Pihak swasta yang melaksanakan dengan petunjuk/dan ketentuan dari pemerintah. Jadi, perubahan paradigma dari pelaksanaan (rowing) ke pengendalian berdasarkan kebijakan.

Kedua, perubahan mindset dan cultural set aparatur. Mindset aparatur negara perlu diubah melalui pendidikan dan pelatihan atau melalui seminar dan lokakarya. Mindset aparatur negara diubah dari aparatur yang dilayani menjadi pelayanan publik yang berdedikasi dan berintegrasi tinggi.

Prinsip Pintar Goblok Pendapatan Sama (PGPS) atas dasar pangkat golongan pegawai sipil yang sama, tidak berlaku lagi dengan adanya tunjangan kinerja atas dasar analisis beban kerja dan harga jabatan.
Jadi, kedudukan yang sama (sama-sama eselon II), dengan memperhitungkan beban kerja dan harga jabatan maka pendapatan aparatur aparatur yang pangkatnya sama akan berbeda. Pegawai yang rajin dan tidak pernah terlambat atau bolos akan menerima rewards lewat tunjangan kinerja yang dibayar penuh, sedangkan bagi aparatur yang malas dan sering bolos akan dipotong penerimaan remunerasinya.

Ketiga, aparatur sebagai agent of change (agen perubahan) Aparatur diharapkan sebagai agen perubahan dalam pelaksanaan birokrasi. Aparatur bekerja dengan dedikasi tinggi, akuntabilitas, melayani publik tanpa pamrih, sehingga tidak terjebak dalam praktik KKN.

Keempat, manajemen SDM aparatur negara, sekarang berjumlah 4,5 juta dari total 240 juta penduduk Indonesia, harus dipertimbangkan secara matang, ratio pelayanan publik beraparatur negara. Manajemen SDM aparatur dengan mempertimbangkan keuangan negara dalam penerimaan pegawai, pemberian gaji, remunerasi dan uang pensiun pegawai.

Remunerasi kebutuhan pegawai dilakukan dengan analisis jabatan. Monotorium penerimaan pegawai masih perlu dilanjutkan penerimaan pegawai secara selektif, dengan memberikan kesempatan kepada daerah yang pembiayaan untuk aparaturnya masih di bawah 50 persen dari APBD.

Kebijakan penawaran pensiun dini dengan memberikan insentif adalah salah satu program yang baik untuk dilaksanakan sehingga ratio pelayanan publik/aparatur bisa tercapai. Sebagaimana diketahui, usia pensiun bagi aparatur yang menangani administrasi, yaitu 56 tahun. Adapun pejabat struktural eselon dua umur 58 tahun, dan pejabat struktural eselon satu sampai dengan 60 tahun.

Kelima, pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara. Pengawasan aparatur dilakukan secara melekat oleh atasannya, di samping dikendalikan dalam buku cacatan pegawai dan penilaian DP-3 pada akhir tahun.

Pemberian sanksi kepada aparatur yang melanggar tata laksana, melakukan KKN, mangkir tugas dilakukan tanpa pandang bulu. Terakhir, peningkatan pendidikan dan pelatihan aparatur serta peningkatan kesejahteraan aparatur akan mendorong meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja Birokrasi.

Restrukturisasi dan reformasi birokrasi sebagaimana dikemukakan di atas adalah dua hal penting dan mendasar menuju tata pemerintahan yang baik (good governance) dan lebih bermartabat. ●  

Menguji Elektabilitas Capres 2014

Menguji Elektabilitas Capres 2014
Zulhilmi ;  Pemerhati Masalah Politik Mahasiswa Program Pasca Sarjana Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
OKEZONENEWS, 30 Agustus 2013


Popularitas tentunya tidak cukup jika tidak dibarengi dengan Track Record yang baik. Hal ini mungkin yang perlu ditunjukkan oleh Capres maupun Cawapres 2014 nanti pada publik. Politik pencitraan sudah bukan zamannya lagi dalam pandangan masyarakat. Namun yang perlu diingat bahwa publik ingin sebuah gebrakan yang dapat membangun negara ini.

Beberapa tokoh yang sering muncul di media cetak dan elektronik mempromosikan diri sebagai calon pemimpin masa depan. Selama ini negara kita telah jauh dari sebuah falsafah pancasila yang sebenarnya. Negara ini memang mempunyai luas wilayah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Ironisnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia masih belum terealisasi maksimal. Pemimpin terus berganti namun perbaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat masih sangat jauh dari harapan.
 
Pemilu 2014 memang masih setahun lagi, namun selama ini masyarakat Indonesia masih belum merasakan manfaatnya. Berbagai kasus-kasus korupsi telah membawa Indonesia menjadi negara terkorup di dunia. Budaya malu tidak sehebat negara Jepang dalam aplikasinya. Pemimpin yang terpilih selama ini tidak sesuai harapan para konstituen. Pemimpin Indonesia kedepan sudah mulai tergambar dalam intuisi masyarakat. Selama ini memang beberapa tokoh mewarnai bursa Capres. Golkar tetap mengusung Aburizal Bakrie, Gerindra tetap dengan Prabowo Subianto, Nasdem dengan Surya Paloh capresnya, Hanura yang telah mantap mengusung Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo. Sementara demokrat masih disibukkan dengan konvensi Capres untuk mendongkrak elektabilitasnya. Tentunya masyarakat Indonesia menyimak proses politik yang berkembang selama ini. Konvensi partai Demokrat memang menjadi daya tarik tersendiri bagi publik. Para peserta yang dijaring pada konvensi kali ini adalah tokoh-tokoh ternama. seperti Gita Wirjawan, Mahfud MD, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Jusuf Kala dan beberapa tokoh lainnya.
Namun bursa Capres mulai berubah ketika muncul sosok fenomenal. Jokowi sang gubernur DKI Jakarta merupakan pecutan bagi tokoh-tokoh yang selama ini muncul di media. Gaya kepemimpinan Jokowi telah mengubah paradigma masyarakat tentang sosok pemimpin yang ideal bagi Indonesia. Bursa capres 2014 semakin kompetitif setelah mantan walikota Solo ini memimpin Jakarta dan banyak melakukan berbagai gebrakan.
Selama ini Jokowi selalu mengisi pemberitaan media dengan berbagai kebijakannya. Diawal kepemimpinannya telah mewujudkan Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Lelang Jabatan Camat dan Lurah DKI Jakarta, Normalisasi Waduk Pluit dan terakhir Penataan PKL Tanah Abang. Keberhasilan tersebut sudah ditunjukkan dalam masa kerja sepuluh bulan walaupun ada kelemahan dan kelebihannya.

Fenomena ini mengubah paradigma pemimpin yang dulunya berjarak menjadi lebih dekat dengan rakyat. Masyarakat telah lama merindukan sosok pemimpin yang merakyat pasca reformasi yang sudah cukup lama berjalan. Sosok fenomenal ini tentunya harus mendapat restu dari sesepuh partainya PDIP Megawati Soekarno Putri. Survey Litbang Kompas dimulai Desember 2012 hingga Juni 2013 menunjukkan elektabilitas Jokowi Naik dari 17,1 Persen menjadi 32,2 persen. Selanjutnya Prabowo dari 13,13 persen menjadi 15,1, Megawati 8,0 persen menjadi 9,3 persen, Jusuf Kala 4,5 persen menjadi 6,7 dan Aburizal Bakrie 5,9 persen menjadi 8,8 persen (Harian Kompas). Namun begitu ketika dikonfirmasi kepadanya dengan tegas Jokowi mengatakan “saya fokus ngurusin Jakarta”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Jokowi tidak berambisi untuk menjadi Capres 2014. Peluang memang besar namun sang gubernur tegas mengatakan bahwa memfokuskan pada penanganan problem Jakarta.
Jokowi Jadi Incaran.

Fenomena ini menyebabkan partai-partai besar melirik sang gubernur untuk dipinang berkoalisi. Namun ada juga partai lain yang ingin Jokowi sebagai Capresnya. Dalam konvensi Demiokrat Jokowi diundang tetapi sang gubernur menolak tawaran tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Jokowi kader yang loyal terhadap PDIP. Sebenarnya ini sebuah keuntungan tersendiri bagi PDIP untuk meraup kekuasaan di parlemen. Peluang ini sangat besar bila dimanfaatkan oleh PDIP untuk menjadi pemenang pada pemilu legeslatif 2014. Kinerja Jokowi yang populer menjadikan beliau “pemikat” yang dilirik oleh partai-partai lain. Memang hasil survey tak menjamin yang sebenarnya, namun proses politik pasti akan berubah. PDIP mempertimbangkan secara matang dalam mengambil keputusan. Hasil kongres nanti akan memutuskan Capres dan Cawapresnya. PDIP melihat hasil pemilu legislatif 2014 dulu sebelum menentukan sikap politiknya. Penentuan Capres dan Cawapres sangat ditentukan dari kemenangan Pemilu legislatif 2014.

Sampai saat ini PDIP masih belum memutuskan sikapnya tentang Capres 2014. Walaupun beberapa lembaga survey membuktikan kader terbaiknya berada di rangking teratas. Namun, pertimbangan yang matang sedang dilakukan PDIP agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Responden yang ada di seluruh indonesia menginginkan Jokowi dicalonkan oleh partainya sebagai Capres. Respons ini masih ditanggapi biasa saja oleh PDIP yang masih tetap menunggu hasil pemilu legislatif 2014. PDIP tidak mau gegabah dalam mengambil sebuah kebijakan. Tentunya perlu kejelian dalam melihat proses politik kedepan. PDIP memiliki sebuah strategi yang jitu dan tidak mau terlalu prematur dalam sikap politik. Salah melangkah bisa mengancam elektabilitas partai yang periode ini menjadi oposisi pemerintah.

Rakyat Pemberi Mandat

Masyarakat selaku konstituen pemilih juga memilih dengan kecerdasan agar tercapai keinginan dan harapannya. Elektabilitas tokoh sangat menentukan dari Track Record serta popularitas yang memiliki kinerja berkualitas. Pencitraan sudah tidak menarik lagi bagi masyarakat namun bukti kerja nyata. Mewujudkan janji politik yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, bila kepercayaan itu dikhianati maka gelombang Golput semakin meningkat dari priode setiap pesta demokrasi. Partai politik juga harus kembali pada pola dasar memberikan pendidikan politik yang cerdas. Kemungkinan pemilu 2014 ini gelombang golput sangat signifikan karena faktor kekecewaan para konstituen pemilu. Hal ini mesti diantisipasi karena pemilu sangat penting dalam memperbaiki kondisi bangsa. Pemilu 2014 nanti sangat menentukan bagaimana perkembangan Indonesia ke depan.

Penentuan ada ditangan Masyarakat  ditentukan dari kecerdasan masyarakat dalam memilih. hasil dari pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden merupakan kualitas pemilih yang partisipatif. Kondisi bangsa ini akan berubah jika partisipasi kita untuk menciptakan pros demokrasi yang baik. Capres 2014 memang akan bertarung tahun depan. Tugas kita sebaagai masyarakat melihat dan mengamati mana calon pemimpin yang paling ideal memimpin Indonesia untuk periode mendatang. Semua itu akan terjawab di 2014. Semoga. ●