Kamis, 29 Agustus 2013

Ada Provokasi Asing di Balik Freedom Flotila ke Papua?

Ada Provokasi Asing
di Balik Freedom Flotila ke Papua?
Otjih Sewandarijatun ;   Pemerhati Masalah Politik, Keamanan dan Film;
 Alumnus Universitas Udayana, Bali; Peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta; Tinggal di Jakarta Timur
DETIKNEWS, 28 Agustus 2013


Kapal Freedom Flotilla yang membawa warga negara Australia dan sejumlah aktivis pro OPM diberitakan telah bertolak dari Australia menuju Papua Nugini dengan tujuan akhir Papua Barat dan diperkirakan tiba pada awal September 2013. Meski mereka menyatakan bahwa tujuan ke Papua dimaksudkan sebagai misi damai, dan kegiatan sosial budaya, namun pemerintah Indonesia sebaiknya tidak percaya begitu saja.

Kewaspadaan dan sikap tegas penting mengingat track record para aktivis yang berada di Freedom Flotilla sebagian besar merupakan warga negara Australia pendukung separatisme di Papua dan para pelarian OPM seperti Amos Waingai maupun Jacob Rumbiak yang kini mendapat suaka politik di Australia. Tujuan mereka ke Papua tanpa jalur keimigrasian dan diplomatik yang resmi tentu wajar jika memunculkan kecurigaan bahwa ada hidden agenda yang dibawanya.

Kedatangan kapal Freedom Flotilla jika benar dimaksudkan sebagai misi damai dan kunjungan sosial budaya sesungguhnya merupakan hal yang perlu untuk direspon dengan baik. Persoalan kemudian adalah jika para aktivis Freedom Flotilla meletakkan Papua dalam perspektif separatisme yang dibumbui oleh isu pelanggaran HAM dan kekerasan.

Mereka harus memahami bahwa Papua telah mengalami perkembangan yang pesat dan jauh berbeda dengan apa yang mereka isukan. Secara de jure, Papua merupakan wilayah integral Negara Kesatuan Republik Indonesia merujuk pada hasil act of self determination (penentuan pendapat rakyat/Pepera) tahun 1969 yang menyatakan bahwa masyarakat Papua bergabung dengan NKRI, dan diratifikasinya Resolusi PPB No. 2504 yang ditetapkan Sidang Umum PBB pada tanggal 19 November 1969 tentang pengakuan terhadap hasil Pepera.

Secara de facto, Papua telah mencapai kemajuan penting seperti peningkatan anggaran pembangunan, peran putra daerah dalam pemerintahan lokal, infrastruktur dan pelayanan publik, yang perlu dukungan berbagai pihak pasca pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001. Otsus sebagai langkah afirmasi merupakan apa yang disebut oleh Van Houtten (2001) sebagai Asymmetrical Decentralization, dimaksudkan untuk mengatasi konflik dan meningkatkan pembangunan sesuai dengan aspirasi lokal.

Berlakunya Otsus maka masyarakat Papua memiliki peranan yang lebih besar untuk memajukan daerah sesuai dengan aspirasinya. Sehingga persoalan Papua perlu diletakkan dalam kerangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan Otsus sehingga berdampak pada peningkatan dan pemerataan pembangunan. 
Membandingkan Papua hari ini dengan pengalaman sejarah pada masa Orde Baru tentu tidak lagi relevan. Memang masa Orde Baru terjadi penggunaan kekuatan represif yang eksesif dalam merespon aspirasi kemerdekaan, terutama gerakan separatis bersenjata, sehingga kerap dituding sebagai biang terjadinya pelanggaran HAM. Kini, Papua telah jauh berbeda dalam berbagai hal dan menunjukkan perkembangan yang semakin kondusif bagi upaya peningkatan pembangunan daerah. 

Memang, potensi konflik komunal, maupun gangguan keamanan yang dilakukan oleh kelompok kecil bersenjata (patut diduga merupakan gerombolan OPM) yang diarahkan pada warga sipil maupun sektor industri kadang terjadi dalam skala dan intesitas terbatas di wilayah tertentu. Penggunaan kekuatan represif merespon teror sipil bersenjata, baik gerakan separatis maupun gangguan keamanan umum tentu mekanisme yang dibenarkan berdasarkan hukum, dan lazim dilakukan oleh semua negara. 

Jean Boddin (1606) menjelaskan bahwa negara berkewajiban untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum dari semua bentuk ancaman (law and order), termasuk penggunaan kekuatan represif dalam kerangka melindungi internal sovereignity-nya. Oleh karena itu, implikasi penegakan hukum yang kemudian sulit untuk menghindari dari potensi munculnya kekerasan inilah yang kemudian menjadi over exposed dan kerap dieksploitasi oleh para aktivis OPM dan simpatisannya guna menggalang dukungan internasional. Mereka menggambarkan bahwa penegakan hukum di Indonesia seolah-olah telah sebagai bentuk pelanggaran HAM dan kekerasan atas masyarakat Papua. 

Internasionalisasi isu HAM maupun kekerasan merupakan strategi mereka untuk mendapat legitimasi internasional atas klaim sepihak yang seolah-olah mewakili mayoritas masyarakat Papua dan karenanya dapat mengambil keuntungan politik dari situasi tersebut. Internasionalisasi isu tersebut juga dimungkinkan terjadi atau muncul karena hubungan afiliatif secara tidak resmi antara para aktivis ini dengan negara tertentu yang menaruh interest terhadap sumber daya alam yang ada di Papua. 

Negara-negara ini berharap bahwa dukungan mereka terhadap gerakan aktivis OPM ini dapat menjadi pintu masuk mengganggu kedaulatan Indonesia dan meningkatkan bargaining dan akses mereka terhadap potensi sumber daya alam yang dimiliki Papua. Besarnya perhatian Australia terhadap isu-isu Papua dan dukungan mereka terhadap para aktivis OPM karenanya menjadi pertanyaan krusial.

Padahal, kalau kita aktif menyaksikan sebuah tayangan film dokumenter “Papua Insight” setiap hari Sabtu pukul 14.05 di Metro TV seperti misalnya “Mutiara Dari Timur” kita dapat menyaksikan bagaimana harmoni dan serasinya 3 (tiga) pilar di Papua yaitu tokoh adat, tokoh agama dan eksekutif (pemerintah) dalam menjaga nilai-nilai kearifan lokal di Papua sebagai bagian tidak terpisahkan dari kearifan lokal di Indonesia. 

Film tersebut juga menggambarkan bagaimana Suku Dani dalam rangka melestarikan budayanya selalu pulang kampung, termasuk ada keberhasilan salah satu pimpinan suku yang dapat menyekolahkan anaknya sampai sukses dan dilantik sebagai perwira polisi lulusan Akpol oleh Presiden SBY pada Juli 2013 yang lalu. Bahkan, melalui film dokumenter tersebut kita juga dapat menyaksikan pembangunan ekonomi di Papua berkembang pesat dengan semakin banyaknya mal dan pertokoan modern.
Di film dokumenter “Insight Papua” lainnya, kita juga dapat mendapatkan gambaran yang jelas bahwa kondisi keamanan di Papua sangat kondusif, dengan indikasi host dalam film dokumenter tersebut berjalan-jalan di malam hari sendirian, pegawai hotel-hotel bertaraf internasional di Papua juga selalu pulang malam dengan naik ojek dan ternyata sampai dirumahnya dengan aman. Tidak hanya itu saja, kita juga harus belajar asimilasi dari Papua, karena salah satu Bupati di Papua beristrikan orang Bugis, Makassar. 

Melalui film dokumenter tersebut kita dapat menarik kesimpulan besar bahwa “Indonesia perlu belajar solidaritas dan toleransi dari Papua”. Nah, kalau gambaran indah soal Papua ini kemudian dirusak citranya oleh aktivis Papua yang tergabung dalam pelayaran Freedom Flotilla, timbul pertanyaan besar di antara kita “masih pantaskah mereka disebut orang Papua bahkan mewakili kepentingan Papua? 

Indonesia Perlu Bersikap Tegas 

Ketegasan sikap yang ditunjukan oleh pemerintah Indonesia merupakan hal yang patut diapresiasi. Pernyataan Menko Polhukam, Djoko Suyanto, dengan menginstruksikan kesiapan seluruh aparat keamanan baik militer maupun kepolisian guna mengantisipasi pelanggaran kedaulatan nasional dan gangguan keamanan, menunjukan bahwa Indonesia menaruh perhatian besar terhadap persoalan kedaulatan dan memiliki kapasitas serta kemampuan menjaga dan melindungi kedaulatan nasionalnya dari setiap kemungkinan agresi. 

Upaya para aktivis dan simpatisan OPM dengan kapal Freedom Flotilla untuk menerobos ke wilayah Papua tanpa izin, apalagi provokasi separatisme, dapat dimaknai sebagai pelanggaran kedaulatan nasional. Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk melakukan langkah persuasif maupun represif, termasuk opsi militer untuk merespon setiap bentuk dan upaya pelanggaran kedaulatan nasional. 

Permintaan klarifikasi Indonesia atas pemerintah Australia mengenai rencana Freedom Flotilla merupakan langkah penting dalam konteks diplomasi luar negeri. Pernyataan Menlu Australia, Bob Carr, bahwa pemerintah Australia tidak mendukung langkah yang dilakukan oleh Freedom Flotilla dan menghormati langkah Indonesia dalam kerangka melindungi kedaulatan nasionalnya menjadi penting untuk diketahui semua pihak, sehingga Australia tidak lagi menerapkan standar ganda sebagai negara sahabat. 

Selama ini, Australia kerap menunjukan sikap yang mendua terhadap Indonesia. Di satu sisi, Australia justru membuka pintu lebar bagi para pelarian OPM yang mencari suaka politik. Bahkan cenderung akomodatif terhadap rencana sejumlah anggota parlemen Australia yang dimotori oleh Richard di Natale asal Partai Hijau mendorong pembentukan kaukus parlemen mendukung Papua Merdeka, maupun digelarnya forum TEDx Sidney (2013) di mana menjadi ajang bagi Benny Wenda (aktivis OPM) dan Jennifer Robinson (pengacara Australia simpatisan OPM) untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia. 

Sikap pemerintah Australia ini tentu wajar jika menimbulkan keragu-raguan akan komitmen Australia terhadap Lombok Treaty yang menyatakan pengakuan Australia terhadap kedaulatan Indonesia, termasuk atas wilayah Papua. Australia perlu menyadari bahwa selama ini Indonesia memainkan peranan penting sebagai negara sahabat yang menguntungkan Australia dengan kebijakan yang ketat sebagai negara transit para imigran, pengungsi maupun pencari suaka yang hendak menuju Australia. 

Tanpa bantuan Indonesia, Australia akan dibanjiri ribuan para imigran dan pencari suaka yang akan menimbulkan masalah domestik bagi Australia. Karena itu, Australia harus dapat menunjukan sikap yang gentlement dan memahami ada hubungan resiprokal antar kedua negara bersahabat dalam isu kapal Freedom Flotilla dan aktivitas OPM di negaranya, kecuali memang Australia berada di balik provokasi separatisme Papua dan hidup dengan doktrin bahwa Indonesia adalah musuh dari utara yang diimajinasikannya selama ini? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar