Jumat, 30 Agustus 2013

Distribusi Pendapatan

Distribusi Pendapatan
Pande Radja Silalahi ;   Peneliti Senior CSIS
SUARA KARYA, 29 Agustus 2013


Salah satu kritikan yang sering dilontarkan kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden SBY adalah ketidakmampuannya memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat, biasanya digunakan koefisien Gini (Gini Ratio).

Nilai koefisien Gini berkisar antara nol (0) yang berarti distribusi pendapatan sangat merata sampai dengan satu (1) yang berarti distribusi pendapatan sangat timpang. Dengan kata lain, makin kecil Gini Ratio, maka distribusi pendapatan makin merata. Sebaliknya, makin besar Gini Ratio, makin pincang distribusi pendapatan.

Para ahli biasanya menciptakan klasifikasi kepincangan distribusi pendapatan menurut kriteria tertentu. Misalnya, kriteria kepincangan distribusi pendapatan rendah, sedang dan berat atau tinggi. Kepincangn distribusi pendapatan di Indonesia sebelum pemerintahan SBY biasanya diklasifikasikan sedang dengan Gini Ratio berkisar 0,30-0,35.

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2014 yang disampaikan oleh Presiden kepada DPR, 15 Agustus lalu, masalah ketimpangan itu dikemukakan. Dengan mengulas Gini Ratio, tampaknya pemerintah hendak menampik kritikan yang sering dilontarkan terhadapnya.

Yang sangat menarik perhatian adalah bahwa disebutkan (halaman 2-23), "Meningkatnya ketimpangan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini bukan disebabkan 'orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin', melainkan karena kemiskinan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Dengan penurunan angka kemiskinan, penduduk di golongan pendapatan bawah juga mengalami kenaikan kesejahteraan."

Pembelaan yang dikemukakan pemerintah jelas sangat menyesatkan dan seolah-olah membenarkan keadaan yang terjadi walaupun tidak diinginkan. Adalah benar tingkat kemiskinan di Indonesia bertambah baik. Apabila tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 16,66 persen dari jumlah penduduk, maka pada 2012 telah turun menjadi 11,7 persen. Secara kuantitas, apabila jumlah penduduk miskin tahun 2004 sebanyak 36,10 juta orang, maka pada tahun 2012 jumlahnya menjadi 29,14 juta orang. Tetapi adalah sangat menyesatkan apabila ukuran ketimpangan (Gini Ratio) disamakan dengan peningkatan kesejahteraan (kenaikan pendapatan).

Tidak dapat disangkal bahwa dalam pemerintahan SBY, kepincangan distribusi pendapatan masyarakat makin menganga. Pada awal pemerintahan SBY (2004), Gini Ratio Indonesia adalah 0,32, kemudian pada bulan Maret dan September 2012 menjadi 0,41. Hampir dapat dipastikan bahwa pada sisa pemerintahan SBY, kepincangan distribusi pendapatan masyarakat tidak dapat dipulihkan kembali seperti pada awal pemerintahan SBY. Selanjutnya adalah tidak benar apabila dinyatakan bahwa orang kaya tidak makin kaya.

Data yang dipublikasikan BPS menunjukkan bahwa tahun 2004, 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi menerima 42,07 persen pendapatan, dan 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima 20,80 persen pendapatan. Pada tahun 2012 (September) ternyata 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi menerima 48,94 persen pendapatan, dan 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah menerima hanya 16,88 persen pendapatan. Dengan data itu, tidak ada alasan untuk tidak mengakui bahwa yang kaya bertambah kaya, tetapi tidak ada juga alasan bahwa kesejahteraan masyarakat lapisan bawah tidak mengalami peningkatan.


Hanya dengan sikap jujur, permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi, masalah kepincangan distribusi pendapatan, dapat dipecahkan. Dengan sikap jujur melihat kelemahan yang ada, akan dapat diperbaiki indikator-indikator ekonomi yang selama ini dianggap tepat dan benar. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar