Jumat, 30 Agustus 2013

Kans Pencapresan Jokowi

Kans Pencapresan Jokowi
Thontowi Jauhari ;   Wakil Ketua DPW Partai Nasdem Jateng, Tinggal di Boyolali
SUARA MERDEKA, 29 Agustus 2013


NAMA Jokowi kian populer dalam jagat politik Tanah Air. Survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Pusat Data Bersatu (PDB), Indonesia Research Center (ICR), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengunggulkan mantan wali kota Solo yang kini menjabat  Gubernur DKI Jakarta itu sebagai tokoh politik yang punya elektabilitas tertinggi seandainya pemilihan presiden diselenggarakan saat ini.

Elektabilitasnya mengungguli tokoh senior politik, seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, bahkan Megawati Soekarnoputri. Jokowi memang sebuah fenomena. Ia mampu menaklukkan hati pemilih melalui gaya kepemimpinan politiknya. Model kepemimpinannya  ibarat oasis. Keberadaan oasis di tengah kegersangan padang pasir selalu menimbulkan kesejukan, kedamaian, optimisme, dan keterpeliharaan harapan.

Ketika kepemimpinan politik dalam era reformasi terbukti tak berpihak pada rakyat, lebih mementingkan diri dan kelompok, rakyat akan kecewa, bahkan muak. Ada kegersangan kepemimpinan politik yang membutuhkan kepemimpinan alternatif. Model kepemimpinan Jokowi yang autentik, polos, sederhana, jujur, dan visoner dipandang sebagai model kepemimpinan alternatif. Karena itu, dia  menjadi sosok yang dirindukan, simbol optimisme sekaligus harapan.

Tentang visionernya Jokowi, saya punya pengalaman pribadi. Ketika menjabat Sekretaris Komisi E DPRD Jateng pada Juni 2008 saya memimpin rombongan komisi itu ke Pemkot Solo, guna memantau objektivitas pelaksanaan penerimaan siswa baru dengan cara online. Sistem ini diterapkan untuk menjamin objektivitas, dan menjauhkan dari praktik KKN. Untuk meyakinkan kami, kepala Dinas Pendidikan Kota Solo mengatakan bahwa sistem penerimaan siswa baru tersebut benar-benar objektif, bahkan anak Jokowi tidak bisa diterima pada salah satu SMP negeri favorit di Kota Bengawan.

Bayangan saya ketika itu langsung tertuju kepada para tokoh politik nasional. Pertengahan 2008 memang menjadi tahun perekrutan caleg untuk Pemilu 2009. Ketika itu para tokoh politik nasional menyodorkan putra dan putri mereka untuk menjadi caleg, tentu dengan hak-hak istimewa. Pada saat yang sama, Jokowi ‘mengorbankan’ anaknya, tanpa melakukan ‘pembelaan’ supaya bisa diterima di SMP favorit, demi menegakkan sistem.

Membaca Peluang

Rombongan Komisi E kemudian menuju Balai Kota Solo, untuk berdialog dengan Wali Kota Jokowi tentang berbagai kebijakan, termasuk mengenai program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS). Dalam pikiran saya, Jokowi memang benar-benar pemimpin. Dia adalah kepala daerah visioner kedua yang pernah saya temui setelah I Gede Winasa, ketika masih menjabat Bupati Jembrana Bali. Angan-angan saya, Indonesia akan menjadi luar biasa bila model kepemimpinan Jokowi diterapkan oleh seluruh pemimpin politik.

Kini, yang saya rasakan 5 tahun lalu, telah menjadi perasaan publik. Jabatan Jokowi yang diembannya menjadi Gubernur DKI Jakarta makin memperkuat perasaan publik tersebut, lebih-lebih ketika media menjadikannya sebagai ’’pacar’’. Seolah-olah Jokowi diyakini menjadi Ratu Adil yang kehadirannya ditunggu-tunggu sebagaimana dalam mitos politik Jawa. Berbagai survei terhadap tokoh politik tentang tingkat elektabilitas capres kian mengibarkan Jokowi. Banyak pengamat mengatakan seandainya maju menjadi capres 2014, Jokowi akan menjadi pemenang.

Bagaimana peluang Jokowi untuk bisa maju menjadi capres 2014? Setidak-tidaknya ada tiga ”kendala” yang mesti diperhatikan. Pertama; kemungkinan sikap PDIP untuk bisa mengusungnya. Didukung publik seperti apa pun, Jokowi tidak akan pernah bisa meninggalkan PDIP, partai tempat kekaderan politiknya bersemai. Melihat berbagai pernyataan sikap perorangan fungsionaris partai itu, publik bisa pesimistis terhadap kemungkinan PDIP mengusung Jokowi.

Ketua DPP PDIP Puan Maharani misalnya, mengingatkan semua pihak untuk tidak memaksa partainya mengusung Jokowi sebagai capres hanya karena hasil survei. Ketua DPP PDIP Effendi Simbolon bahkan menyebut Jokowi belum matang dan tak akan dicapreskan tahun 2014. Body language yang bisa dibaca, PDIP ”belum ikhlas’’ mengusung Jokowi sebagai capres 2014.

Kedua; menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bisa jadi pencapresan Jokowi terkendala pengunduran dirinya sebagai gubernur. Ayat (3) Pasal 29 UU tersebut menyebutkan bila pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah dikarenakan atas permintaan sendiri maka pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian dan diputuskan dalam rapat paripurna.

Padahal mekanisme pengambilan keputusan di DPRD, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, diputuskan melalui musyawarah mufakat. Jika tidak dapat dilakukan secara musyawarah mufakat maka dilakukan melalui pemungutan suara. Prediksi saya,  proses ini akan menjadi sangat gaduh. Lebih-lebih saat ini PDIP hanya memiliki 11 kursi di DPRD DKI Jakarta.


Ketiga; Jokowi akan dituduh melanggar etika atau fatsoen politik. Tahun 2014  Jokowi baru genap 2 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta. Bila meninggalkan amanah rakyat hanya untuk mengejar momentum elektabilitas, ia bisa disebut oportunis, berpolitik hanya mengejar jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Tentu analisis kendala itu masih mendasarkan  konfigurasi politik saat ini. Kita masih menunggu konfigurasi politik setelah Pemilu Legislatif 2014 untuk bisa membaca kepastian peluang pencapresan Jokowi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar