Rabu, 28 Agustus 2013

Krisis, Kelembagaan, Ekspektasi

Krisis, Kelembagaan, Ekspektasi
Ahmad Erani Yustika  ;    Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS, 28 Agustus 2013


Pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi menyerang wilayah Asia dan terus merembet ke negara-negara lain. Krisis itu dipicu jatuhnya nilai tukar baht (Thailand) terhadap dollar AS pada 2 Juli 1997.
Depresiasi nilai tukar tersebut tanpa dapat diisolasi menjalar secara cepat ke Malaysia, Indonesia, Korsel, dan lain-lain. Indeks saham di Thailand turun 80 persen dan baht terdevaluasi 100 persen; harga saham di Indonesia anjlok 60 persen dan rupiah terdevaluasi sangat parah 600 persen; sedangkan di Korsel harga saham turun 65 persen dan won terdevaluasi 100 persen (Jang dan Sul, 2002). Dari data itu terlihat betapa parah dampak krisis moneter saat itu sehingga memengaruhi kinerja ekonomi keseluruhan, termasuk sektor riil. Saat ini, penurunan nilai tukar juga berjalan cukup cepat. Angka Rp 11.000 per dollar AS sudah tertembus.
Sumber krisis
Secara teoretis, sumber krisis nilai tukar bisa dilacak dari dua pandangan (Charoenseang dan Manakit, 2002). Pertama, pandangan yang berargumentasi fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan sebagai sumber utama krisis. Perspektif ini kerap disebut first generation model yang menjelaskan krisis mata uang sebagai hasil dari inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik. Kedua, keyakinan bahwa sumber krisis adalah kepanikan yang terjadi di sektor keuangan yang berinteraksi dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi.
Penjelasan ini kerap disebut second generation model, yang memberi penjelasan deskripsi generik hubungan teoretis antara model makroekonomi dan ekspektasi rasional, di mana diyakini ekspektasi di pasar berpengaruh terhadap keputusan membuat kebijakan ekonomi.
Dalam kasus Indonesia, pandangan first generation model itu dapat dilacak kebenarannya setelah melihat situasi fundamental ekonomi nasional saat ini. Neraca perdagangan pertama kali defisit pada 2012, yang sebenarnya dengan mudah dapat diprediksi karena 6 tahun terakhir pertumbuhan impor melebihi ekspor. Defisit neraca transaksi berjalan (NTB) terus terjadi karena repatriasi laba PMA melebihi jumlah investasi asing yang masuk, di luar arus modal keluar akibat makin pulihnya ekonomi negara maju.
Pada triwulan II-2013, defisit NTB mencapai 9,8 miliar dollar AS. Gabungan defisit neraca perdagangan dan defisit NTB membuat neraca pembayaran kian tertekan dan jadi sumber krisis nilai tukar. Hal ini masih ditambah defisit keseimbangan primer APBN yang negatif sejak 2011 sehingga solusi utang jadi keniscayaan. Jangan pula dilupakan, rasio utang (debt service ratio/DSR) pada triwulan II- 2013 mencapai 44,1 persen. DSR dihitung berdasarkan pembayaran utang dibagi penerimaan ekspor. Pada saat pembayaran utang kian besar dan ekspor menurun, DSR akan meningkat. DSR dianggap aman jika tak lebih dari 30 persen.
Sementara itu, menurut pendekatan kedua, pemerintah tak menyadari bahwa kebijakan kenaikan harga BBM dan kegagalan mengendalikan harga pangan telah memicu ekspektasi yang begitu besar terhadap inflasi. Pemerintah mudah diperdaya para analis yang mencoba menyederhanakan masalah bahwa inflasi bakal dapat dikendalikan sehingga tak akan melebihi 7,2 persen. Begitu inflasi Juli 2013 mencapai 3,29 persen dan disusul BI menaikkan bunga acuan sebesar 75 basis poin, masyarakat memiliki ekspektasi inflasi lebih tinggi dari pemerintah.
Tak mudah bagi pemerintah yang telah kehilangan kredibilitasnya untuk memulihkan kepercayaan masyarakat sehingga kepanikan muncul di pasar. Apalagi, sebagian besar pelaku di pasar adalah spekulan yang mengejar profit jangka pendek. Dua hal ini (kredibilitas pemerintah yang rendah dan spekulan di pasar keuangan) merupakan kombinasi yang sempurna untuk mengoyak stabilitas nilai tukar.
Paket ekonomi
Lantas, apa relevansi empat paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah dengan masalah yang terjadi? Terlihat sekali sebagian besar paket kebijakan itu kurang operasional dan tak menukik menembus jantung persoalan, sehingga wajar pasar merespons negatif.
Kebijakan mengerem laju impor sudah benar secara substansi, tetapi perlu masuk ke struktur lebih dalam dengan melihat 70 persen impor adalah bahan baku. Oleh karena itu, disinsentif impor perlu menyasar bahan baku ini, bukan sekadar kenaikan pajak impor barang mewah (yang persentasenya kecil terhadap keseluruhan nilai impor) dan impor minyak. Menjaga daya beli masyarakat lewat perbaikan tata niaga pangan tak dapat selesai sebulan, bahkan setahun pun belum tentu bisa. Mendorong ekspor dan perbaiki iklim investasi merupakan paket kebijakan ekonomi paling normatif, sejak lama hanya berhenti di atas kertas. Tak usah jauh-jauh, urusan lama tunggu di pelabuhan saja malah makin buruk dari waktu ke waktu.
Jangka pendek seharusnya pemerintah menyasar tiga hal. Pertama, kontrol lalu lintas devisa hal yang niscaya dilakukan. Sangat sulit bagi pemerintah dan bank sentral mengendalikan stabilitas ekonomi (nilai tukar) jika lalu lintas modal tak dibatasi, lebih-lebih ketergantungan sektor keuangan terhadap luar negeri cukup besar. Kedua, struktur defisit NTB antara lain disumbang repatriasi laba PMA. Pada 2012, pendapatan investasi langsung minus 17,1 miliar dollar AS dan hingga triwulan I-2013 minus 3,9 miliar dollar AS. Jika regulasi repatriasi profit PMA tak diatur, PMA jadi bencana bagi ekonomi.
Ketiga, sejak 2011 keseimbangan primer APBN sudah minus. Ini sinyal ketidaksehatan APBN meski rasio defisit fiskal dan utang terhadap PDB masih lebih kecil dari konsensus. Defisit keseimbangan primer ini dapat diatasi jika pemerintah punya komitmen menambah pendapatan dan efisiensi belanja anggaran.
Kebijakan pengurangan pajak untuk industri padat karya dan penghapusan pajak penjualan atas barang mewah menampakkan sinyal membingungkan. Jika ini berjalan, penerimaan pajak akan berkurang sehingga tujuan menahan defisit pada angka yang ditetapkan sulit dicapai. Kebijakan menahan defisit anggaran dan pengurangan pajak secara teoretis akan bertabrakan. Pemerintah lebih baik menempuh kebijakan realokasi anggaran dengan memperbanyak pos untuk pertanian, industri, dan UMKM yang punya potensi penyerapan tenaga kerja besar. Belanja modal diprioritaskan untuk mendukung sektor-sektor ini. Peluang realokasi ini sangat besar, apalagi ditambah kesediaan pemerintah mengurangi belanja barang, sehingga memberi rasa keadilan bagi masyarakat. Dengan jalan ini, penerimaan pajak tak terganggu dan tujuan penciptaan lapangan kerja dapat dicapai sekaligus.
Di luar aspek teknis di atas, krisis nilai tukar selalu merupakan fenomena kompleks. Ada pertautan antara kelembagaan dan ekspektasi masyarakat (pasar). Pada kelembagaan ekonomi, jika tak ada desain yang bisa menyatukan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter (juga koordinasi pada internal masing-masing otoritas), inkonsistensi kebijakan mudah muncul. Sekadar contoh, otoritas moneter sudah menaikkan bunga acuan BI untuk menekan inflasi, tetapi otoritas fiskal masih terus terobsesi pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi krisis tak ada kemewahan untuk memilih keduanya, harus mengambil prioritas paling penting. Berikutnya, pada kelembagaan politik belum ada protokol krisis yang melindungi tiap otoritas untuk mengambil kebijakan secara penuh. Jika situasi ini terus memburuk, trauma kasus krisis 1997/1998 dan 2008 akan terus menghantui otoritas. Absennya kelembagaan politik dan ekonomi itulah yang membuat ekspektasi pasar terhadap perekonomian menjadi makin gelap. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar