Kamis, 29 Agustus 2013

Krisis Tempe, Kedaulatan Pangan yang Rapuh

Krisis Tempe, Kedaulatan Pangan yang Rapuh
Ali Khomsan ;   Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
MEDIA INDONESIA, 29 Agustus 2013


KENAIKAN harga kedelai yang mencapai Rp9.000 per kilogram membuat perajin tempe/tahu kalap. Mereka berencana melakukan pemogokan nasional bila pemerintah tidak segera membereskan persoalan kedelai ini.

Bulog diharapkan segera berperan dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menggelar operasi pasar guna menekan harga kedelai sesuai harga eceran tertinggi di tingkat perajin yakni Rp7.450. Harus diakui bahwa melemahnya rupiah yang menembus angka 11.000 per dollar AS turut memengaruhi harga kedelai karena kedelai kita dipenuhi kedelai impor dari AS. Inilah ironi negeri agraris yang sungguh tidak membanggakan. Tanah Air yang konon subur gemah ripah loh jinawi nyatanya memiliki ketahanan pangan yang rapuh.

Munculnya krisis tempe benar-benar membuat kita risau. Mengapa? Karena bangsa Indonesia telanjur suka makan tempe. Tempe adalah laukpauk bergizi dan berharga murah. Bandingkan dengan saat kita menghadapi krisis daging sapi yang harganya menembus Rp100.000 per kilogram, masyarakat seolah tak acuh terhadap kenaikan daging sapi karena umumnya kita memang jarang makan daging. Daging adalah makanan mewah bagi sebagian besar penduduk Indonesia, bahkan ada anggota masyarakat yang hanya makan daging setahun sekali saat hari raya.

Kedaulatan pangan yang rapuh dicerminkan oleh impor berbagai komoditas pangan mulai dari beras, kedelai, susu, daging sapi, buah, dll. Sebagai negara agraris, Indonesia ternyata harus impor kedelai kurang lebih 60% dari total kebutuhan kedelai nasional. Kedelai Amerika yang bentuknya besar-besar ternyata lebih disukai karena menghasilkan tempe yang lebih bagus. Dalam jangka panjang, Kementan harus lebih serius dalam membenahi budi daya d kedelai, termasuk memotik vasi petani kedelai dan segera memprogramkan pemanfaatan lahan-lahan tidur untuk ditanami komoditas pangan termasuk kedelai.

Sebagai makanan rakyat, tempe disukai karena rasanya enak. Etnik Jawa dapat dikatakan sebagai penggemar tempe yang fanatik. Penduduk luar Jawa, ternyata, juga menyukai tempe, tetapi tidak `segila' orang Jawa.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, produksi kedelai yang melimpah lebih banyak digunakan untuk produksi minyak goreng. Sebagian lainnya diekspor ke negara-negara konsumen kedelai termasuk Indonesia. Di Healthy Foodstore di sana dijual juga tempe untuk masyarakat Asia yang bermukim atau sedang tugas belajar di Amerika. Dapat dikatakan bahwa tempe sebenarnya telah menjadi makanan dunia.

Prof Mary Astuti, seorang peneliti tempe dari UGM, menyatakan bahwa tempe semula dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada beberapa abad yang lalu. Pada sekitar tahun 1600 telah tercatat bahwa Pangeran Tembayat pernah menyuguhi tamunya dengan tempe.

Kajian tentang tempe oleh para ahli baru dimulai ketika zaman pendudukan Jepang. Pada saat itu para tawanan Jepang yang diberi ransum tempe dapat terhindar dari disentri.

Kini tempe diketahui berperan besar sebagai pangan sumber vitamin B12 dan kaya antioksidan. Senyawa yang terakhir itu memungkinkan tempe dapat digunakan untuk penangkal radikal bebas, mencegah penyakit degeneratif, dan menangkal proses penuaan dini.

Berbagai kajian telah membuktikan manfaat tempe untuk meraih hidup sehat. Formula tempe yang diberikan pada anak-anak yang menderita diare kronis akan mempercepat penyembuhannya. Diet tempe juga mampu meredam aterosklerosis pada hewan percobaan. Tempe mempunyai sifat hipokolesterolemia yang artinya dapat menurunkan kadar kolesterol tubuh. Barangkali itu sebabnya mengapa penduduk Okinawa di Jepang mempunyai rentang umur yang lebih panjang karena kegemarannya mengonsumsi kedelai.

Sebagai salah satu pangan tradisional, posisi tempe sulit tergantikan oleh pangan lainnya. Bahkan sebagian masyarakat yang sudah makmur hidupnya, yang menu makanan sehari-harinya banyak didominasi daging, ikan, atau telur, ternyata masih merindukan tempe sebagai lauk selingan. Hal itu tidak terlepas dari sejarah tempe yang panjang sebagai makanan rakyat yang sudah mendarah daging.

Dalam sebuah buku berjudul Stop Aging Now karya Jean Carper dinyatakan bahwa apabila burger Amerika yang kini menjadi menu andalan di restoran fastfood sebagian isinya (daging) diganti dengan kedelai, banyak anak muda yang akan terselamatkan dari kanker. Terlalu banyak makan daging merah memang diduga akan mencetuskan kanker. Dalam proses pemasakan, daging merah akan menghasilkan amina heterosiklik yang bersifat karsinogen. Meski demikian, kita tidak usah khawatir untuk mengonsumsi daging karena rata-rata orang Indonesia baru bisa makan daging sekerat dua kerat seminggu, alias sangat sedikit.

Persoalan kedelai mungkin sama rumitnya dengan persoalan beras. Artinya, petani kedelai di Indonesia sama menderitanya dengan petani padi. Petani adalah rakyat yang juga menginginkan hidup sejahtera. Mereka berhak menentukan pilihan komoditas pangan apa yang akan ditanam. Kalau ternyata menanam jagung lebih menguntungkan, mereka tidak peduli dengan budi daya kedelai.

Sebagai negara yang memiliki lahan subur tersebar di mana-mana ternyata kita tidak dapat mengandalkan sektor pertanian sebagai pendukung kesejahteraan masyarakat. Yang terjadi justru masyarakat petani menjadi kontributor kemiskinan. Kesan kuat yang muncul sekarang ini ialah bahwa petani merupakan profesi inferior.

Sektor pertanian identik dengan sektor marginal. Kesan demikian tidaklah salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut. Pada 1970-an kesejahteraan petani dengan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan sektor pertanian.

Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani guram, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Kita berharap bahwa kedaulatan pangan di negeri agraris ini segera terwujud, termasuk kedaulatan tempe. Jangan biarkan masyarakat berlamalama tanpa tempe karena tempe telah menjadi makanan idola untuk seluruh lapisan masyarakat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar