Kamis, 29 Agustus 2013

Membangun Optimisme

Membangun Optimisme
Hendri Saparini ;   Ekonom CORE Indonesia
SUARA KARYA, 28 Agustus 2013


Empat paket kebijakan diumumkan pemerintah akhir minggu lalu. Menurut Menko Perekonomian, paket kebijakan makroekonomi itu ditujukan untuk mencegah memburuknya perekonomian negara menyusul ambruknya rupiah dan pasar saham.

Efektifkah kebijakan itu untuk menyelamatkan ekonomi nasional? Reaksi pasar uang memperlihatkan, setelah paket diumumkan justru indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) melemah pada perdagangan sesi siang. Rupiah sedikit menguat. Namun ada pertanyaan: berapa besar Bank Indonesia (BI) mengguyur pasar pada hari itu? Sementara respons pasar barang dan jasa tentu tidak ada indikator cepat untuk bisa dilihat dari pengumuman paket kebijakan itu.

Satu hal yang menggembirakan, dalam paket kebijakan itu pemerintah sudah berusaha mengoreksi pendirian awal yang meyakini bahwa memburuknya perekonomian disebabkan efek global semata. Juga, pemerintah menyadari perlunya dilakukan kebijakan jangka menengah untuk memperbaiki struktur ekonomi.

Memang sejatinya melemahnya nilai tukar rupiah, sulitnya memupuk cadangan devisa, dan lain-lain hanya gejala. Namun rancangan itu tidak cukup untuk membangun benteng bagi ekonomi nasional. Apalagi paket kebijakan tidak ditambah dengan dimensi ekonomi politik. Andai paket tersebut dibacakan oleh Presiden SBY dan diawali dengan pidato menggelora mengajak seluruh masyarakat untuk menyelamatkan ekonomi, maka paket itu akan jauh lebih bermakna. Apalagi jika itu diikuti keputusan konkret, misalnya mengeluarkan inpres percepatan pelaksanaan UU No 71 tentang Mata Uang Tahun 2011 yang mewajibkan transaksi dalam wilayah NKRI menggunakan rupiah.

Lebih baik lagi apabila pemerintah mendorong para pejabat mengurangi simpanan dalam dolar. Pemerintah memiliki data kekayaan semua pejabat publik, sehingga tahu persis berapa dolar yang akan diguyurkan ke pasar jika kekayaan dipotong minimal separuhnya. Ke depan, apabila transaksi dalam negeri tidak boleh lagi menggunakan dolar, maka keinginan untuk menyimpan dolar atau mata uang asing lain akan berkurang.

Di Jepang, meski tabungan masyarakat besar, tidak ada budaya menyimpan mata uang asing. Selain semua transaksi dalam negeri menggunakan yen, kebijakan lain juga mendukung. Misalnya, bank atau penukaran uang asing tidak bisa ditemukan dengan mudah.

Pada saat disampaikan Menko Perekonomian, maka kebijakan penting itu hanya akan bersifat teknis ekonomis. Dari sisi teknis, meski langkah untuk menguatkan ekonomi dengan memperbaiki sektor riil sudah dibuat, arah pembangunan ekonomi jangka panjang masih banyak disaput ketidakjelasan. Paket mengurangi defisit transaksi berjalan dengan mendorong ekspor bahan mineral, misalnya, diharapkan mendulang devisa. Namun, kebijakan itu memberikan sinyal ketidakjelasan pada arah pembangunan industri nasional. Baru tahun lalu peraturan pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 tentang Kewajiban 
Membangun Smelter dikeluarkan. Namun dengan paket itu, peraturan tersebut dibatalkan sementara.

Demikian pula paket untuk menjaga daya beli masyarakat dengan mengubah tata cara impor guna mencukupi ketersediaan daging sapi. Pemerintah ingin mengendalikan inflasi, tetapi tetap mengandalkan impor--karena yang dianggap bermasalah hanya tata cara impor, bukan banjir impor daging sapi yang telah menghabiskan pasar bagi peternak dalam negeri.

Sayang sekali, momentum Presiden SBY memperbaiki pesan politik ekonomi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2013 tidak dimanfaatkan dengan maksimal untuk membangun optimisme ekonomi nasional. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar