Kamis, 29 Agustus 2013

Menata Kembali Otda

Menata Kembali Otda
Farouk Muhammad ;   Ketua Tim Kerja RUU Pilkada DPD;
Guru Besar Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana pada UI/STIK-PTIK
KOMPAS, 29 Agustus 2013


Indonesia terlalu besar dan beragam untuk hanya dikendalikan oleh satu pemerintahan pusat. Keanekaragaman yang luar biasa ditambah kondisi alamiah sebagai negara kepulauan merupakan realitas obyektif keindonesiaan.
Realitas tersebut telah memengaruhi para pendiri negara untuk memberlakukan desentralisasi sesaat setelah merdeka, ditandai dengan kelahiran UU No 1 Tahun 1945. Demikian pula para elite kekuasaan pada era Reformasi yang memandang sejumlah realitas itu sebagai alasan utama mengapa Indonesia perlu otonomi daerah. Namun, di lain pihak, Indonesia juga terlalu semrawut kalau diurus oleh begitu banyak orang dengan latar visi dan kepentingan yang sangat variatif. Bagaimana tidak, sejak 1999 sampai 2009, jumlah daerah otonom berkembang dari 26 provinsi, 223 kabupaten, dan 58 kota menjadi 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota. Jadi, dalam 10 tahun ini terjadi pemekaran 10 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Itu berarti ada 523 kepala daerah yang memiliki visi dan kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan demikian dipaksakan untuk mengurus rumah Indonesia.
Pengendalian pusat yang lemah serta aneka latar visi dan kepentingan lokal tersebut membuat bangunan Indonesia itu miring ke kiri, ke kanan, atau belum menemukan bentuknya yang stabil. Kondisi ini hanya melanggengkan sejumlah penyakit sosial-ekonomi (kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan) yang berlawanan dengan mandat konstitusi, yakni tercapainya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dengan potret itu, tak berlebihan jika dikatakan konsepsi dan implementasi otonomi di Indonesia belum berhasil dan masih terus mencari bentuknya yang ideal. Hal ini sejalan dengan hasil studi Mawhood di negara-negara sedang berkembang pada kawasan Afrika tropis (1987) tentang hambatan mendasar bagi implementasi kebijakan desentralisasi (bdk: Syarif Hidayat, 2005).
Pertama, struktur internal dan manajemen pengelolaan pemerintah daerah. Hal ini tecermin dari praktik-praktik mismanajemen atau bahkan nirmanajemen pemerintahan serta tumpang tindih kewenangan antartingkat pemerintahan, antara pemerintah pusat dan daerah, antara provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini perlu dibenahi secara serius yang pembenahannya bisa saja secara fundamental menyangkut sistem otonomi dalam NKRI sebagaimana digariskan oleh konstitusi.
Kedua, terbatasnya kemampuan keuangan yang dimiliki pemda. Kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian besar pemda kurang memiliki kemampuan dalam membiayai implementasi program- program yang telah ditetapkannya. Jika mau jujur, hampir semua daerah di Indonesia tak ada yang bisa ”hidup” hanya dari pendapatan asli daerah, selain DKI Jakarta. Tidak heran, pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah sangat bergantung pada alokasi anggaran pusat.
Ketiga, rendahnya keterampilan yang dimiliki para personel penyelenggara pemerintah daerah. Banyak fakta yang menunjukkan hubungan darah (nepotisme) dan uang (korupsi) merupakan daya tarik orang untuk berada dalam ruang-ruang birokrasi. Sementara kompetensi dan profesionalisme bukanlah aspek penting yang patut dapat perhatian. Akibat dari gejala ini, daerah miskin inovasi dan kreativitas dalam pembangunan. Alih-alih memikirkan pembangunan, elite daerah cenderung cari untung dari proyek-proyek pembangunan. Alih-alih melayani masyarakat, elite daerah justru minta dilayani bak raja-raja kecil daerah. Rendahnya kompetensi dan profesionalisme pejabat dan aparatus daerah adalah potret suram birokrasi, khususnya di negara berkembang.
Mencari solusi
Berkaca pada permasalahan dan hambatan mendasar di atas, perlu bagi kita mendesain ulang otonomi dan praktik pemerintahan yang selama ini berjalan agar lebih terarah dan produktif. Pemikiran berikut dapat jadi bahan diskusi sebagai bagian dari ikhtiar mencari solusi implementasi otonomi di Indonesia.
Pertama, menyangkut efektivitas otonomi. Desain otonomi Indonesia berdasarkan tafsir atas Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang menyematkan status otonomi pada provinsi dan kabupaten/kota serta kedudukan provinsi daerah administratif pemerintah berdampak pada ambiguitas manajemen pemerintahan secara nasional. Hal ini paling tidak mencuat dalam pembahasan RUU Pilkada, di mana pemerintah mengusulkan gubernur dipilih DPRD, dengan pertimbangan titik tekan (lokus) otonomi dan pelayanan publik bukan pada tingkat provinsi, tetapi kabupaten/kota sehingga yang dipilih langsung oleh rakyat cukup bupati/wali kota.
Dengan kata lain, kebutuhan kita saat ini adalah menentukan lokus otonomi pada satu level, apakah hanya provinsi atau hanya kabupaten/kota. Dengan penetapan satu lokus otonomi, baru kita bisa bicara tentang status (otonom atau administratif), kedudukan (kepala daerah), dan sistem perekrutan kepala daerah.
Dalam perspektif ini, ada dua alternatif yang bisa didiskusikan. Pertama, menetapkan satu tingkat otonomi di tingkat provinsi, sementara kabupaten/kota adalah daerah administratif provinsi sebagaimana berlaku di wilayah DKI saat ini. Kedua, kalau kita membaca konstitusi saat ini, sejatinya secara implisit otonomi yang kuat (lokus otonomi) adalah otonomi provinsi. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, NKRI dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, di mana masing- masing daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Rumusan ketentuan UUD ini justru memungkinkan penafsiran ”otonomi berjenjang”, artinya otonomi dari negara diletakkan pada provinsi dan dalam provinsi ada ”otonomi kabupaten/kota”. Jadi, di mana lokus otonomi? Berdasarkan tafsir ini ada pada provinsi.
Perlu dipahami, meletakkan lokus otonomi (negara) pada tingkat provinsi tidaklah berarti harus memperkuat SKPD pada tingkat provinsi. Bisa saja otonomi pada provinsi (penjabaran kebijakan pusat, pengarahan, dan pengawasan), tetapi operasionalisasi otonomi pada dasarnya ada pada kabupaten/kota. Sebagai daerah otonom, provinsi mengacu pada kebijakan nasional dan mendapatkan pengawasan atau supervisi dari pemerintah pusat.
Kedua, terkait mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan lokus otonomi di level provinsi, konsekuensinya gubernur dipilih langsung oleh rakyat sehingga memiliki dampak legitimasi kuat, sementara bupati/wali kota dipilih DPRD. Keuntungan langsung dari pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD akan terjadi efisiensi besar-besar atas dana penyelenggaraan pilkada dan mendorong efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ketiga, terkait pembentukan daerah otonom baru. Meski disadari kemampuan keuangan daerah terbatas, rupanya hal ini tak menyurutkan semangat pemekaran di sejumlah daerah. Dus, sebagian besar semangat dan inisiatif pemekaran tak didasarkan pada kebutuhan riil untuk tujuan kesejahteraan dan mendekatkan jangkauan pelayanan publik. Sebaliknya pemekaran didasarkan pada motif meraih oportunitas ekonomi dan kekuasaan bagi sebagian kecil elite. Alhasil, pemekaran menghasilkan pemborosan yang menggerogoti kemampuan keuangan pusat ataupun daerah, sementara hasilnya jauh dari harapan. Oleh karena itu, sangat perlu desain yang memberikan kejelasan ide pemekaran ini karena hal ini memiliki konsekuensi anggaran yang tidak kecil. Dalam hal ini, pemekaran dapat dilakukan atas kepentingan negara dan atas aspirasi daerah di mana tanggung jawab anggaran mengikuti secara konsekuensional.
Dengan desain otonomi berjenjang, lokus otonomi ada pada provinsi, pemekaran daerah yang relevan ada pada tingkat provinsi. Sementara untuk pemekaran kabupaten/kota secara selektif ditentukan oleh provinsi sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah. Provinsi tak hanya mengusulkan, tetapi juga harus bertanggung jawab atas pembiayaannya karena dana transfer daerah terbatas. Persetujuan seluruh kabupaten/kota mutlak diperoleh karena pemekaran akan mengurangi porsi dana transfer bagi tiap-tiap kabupaten/kota di provinsi. Bisa saja persetujuan pemekaran ditempuh dengan referendum provinsi sehingga menutup celah pemaksaan kehendak kelompok-kelompok tertentu yang ”memanipulasi aspirasi” seperti acapkali terjadi selama ini.
Keempat, evaluasi atas implementasi otonomi menegaskan betapa penting kualitas pemimpin dan kepemimpinan daerah. Pada dimensi kultural, perlu ditumbuhkan kesadaran kolektif, terutama di kalangan parpol dan independen, jangan main-main dengan kualitas kepemimpinan daerah karena sejatinya ia kawah candradimuka kepemimpinan nasional dan muara dari kemajuan dan kesejahteraan daerah. Pada dimensi regulasi, UU harus mengatur tegas persyaratan calon kepala daerah harus memenuhi kualifikasi maksimal karena mereka sejatinya primus inter pares, orang terpilih di antara masyarakatnya sehingga parpol dituntut memajukan calon yang bukan saja punya potensi menang (semata-mata atas dasar popularitas dan kekuatan finansial), melainkan juga mengedepankan rekam jejak, kualitas, dan kapabilitas sebagai pemimpin.
Atas dasar itu, DPD mengusulkan, dalam forum pembahasan RUU Pilkada yang sedang berjalan di DPR, diberlakukan peningkatan syarat calon kepala daerah, mulai dari syarat pendidikan, kemampuan manajemen pemerintahan daerah, dan pengalaman dalam pekerjaan terkait pelayanan publik. Petahana juga bersih dari kasus korupsi yang dilakukan bawahan (secara struktural) sebagai bentuk tanggung jawab manajerial. RUU harus menjamin pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD dengan kualitas lebih baik. Kekhawatiran akan praktik politik uang dapat diantisipasi dengan penguatan program pemberantasan korupsi sejak dini dalam prosesnya.
Bagi DPD, partisipasi politik atas dasar afiliasi seseorang terhadap tokoh atau incumbent (politik dinasti) tak bisa dibatasi karena bisa melanggar hak asasi seseorang, apalagi jika yang bersangkutan memiliki kompetensi dan profesionalisme. Yang bisa dibatasi adalah kondisinya, bukan hubungan atau afiliasi seseorang terhadap orang lain. Artinya, jika seorang bakal calon kepala daerah punya hubungan darah dengan petahana, maka karena kondisinya tersebut, UU bisa membatasi siapa yang dapat melanjutkan proses pencalonan. Kita menyadari, implementasi otda belum sesuai harapan terwujudnya kesejahteraan nasional. Muara pembahasan di atas adalah bagaimana mengefektifkan implementasi otda dengan menetapkan satu lokus otonomi di tingkat provinsi, mengikuti lokus otonomi maka pilkada dilaksanakan hanya untuk memilih gubernur, pemekaran kabupaten/kota jadi tanggung jawab provinsi. Selanjutnya memantapkan kualitas kepemimpinan daerah sehingga mampu mewujudkan esensi otda, yaitu kesejahteraan masyarakat. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar