Senin, 26 Agustus 2013

Mengembalikan Makna Islamisme

Mengembalikan Makna Islamisme
Ahmad Sahidah  ;    Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 26 Agustus 2013



PERTIKAIAN pro-Mursi versus anti-Mursi tidak hanya bergolak di Mesir, tetapi juga di sini, baik di jalanan maupun di dunia maya. Din Samsuddin menyerukan dukungan kepada presiden yang digulingkan tentara tersebut. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memprotes kekerasan tentara di depan Kedubes Mesir di Jakarta. 

Demikian juga, penentangnya, seperti Guntur Romli, terus menguak sisi buruk para pegiat Ikhwanul Muslimin di Twitter-nya. Juga Zuhairi Misrawi, pegiat Baitul Muslimin (BM), dan Ulil Abshar Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), menyebut penyokong Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai islamis dan pemahaman keislaman mereka sebagai islamisme. 

Secara tersirat, keduanya dikaitkan dengan kelompok yang memperjuangkan Islam politik, syariah, dan tidak toleran. Mengapa Islamis dan Islamisme mengandaikan makna sempit ini? 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan islamis bersifat Islam dan islamisme bermakna ajaran Islam (halaman 549). Kata itu serapan dari bahasa Belanda islamiche dan belum memasukkan kata turunan islamist Inggris. Dalam pembentukan kata pelaku dalam bahasa Inggris, seperti anthropologist dan psychologist, KBBI menyebut dua kata itu antropolog dan psikolog, bukan antropologis dan psikologis.

Dengan jelas, KBBI tidak sama sekali memaparkan takrif yang stereotip. Sedangkan islamisme dan islamis dalam kamus Inggris, selain mengandaikan pengertian KBBI, yaitu kepercayaan religius, prinsip atau jalan Islam, menerakan sebagai gerakan revivalis Islam yang acap dicirikan dengan konservatisme moral, literalisme, dan usaha untuk menerapkan Islam dalam seluruh ruang kehidupan (The Free Dictionary). Namun demikian, kamus berwibawa seperti Cambridge Dictionary tidak menerakan arti dasar yang terakhir. 

Menariknya, kata islamist yang diterjemahkan dengan islamis digunakan untuk menggambarkan kelompok yang memperjuangkan ideologi Islam dan secara otomatis berlawanan dengan nilai-nilai universal. Hanya, siapa yang memiliki wewenang memutuskan kelompok itu anti-universal atau tidak? Pada tataran etik, tentu orang-orang beragama akan merujuk kepada gagasan normatif dengan fondasi keimanan transendental. Sementara itu, kelompok ateis tentu menolak karena etika itu dianggap kesepakatan dan tidak memerlukan Tuhan. 

Tak Sejajar Agama Lain 

Ketika islamis berarti orang yang tertutup dan konservatif, mengapa tidak berlaku sama terhadap, misalnya, Buddhis? Islamisme mengandaikan pandangan literalisme, sedangkan Buddhisme tidak. Padahal, dalam kehidupan nyata, sebagian umat Buddha juga menunjukkan sifat-sifat serupa yang ditempelkan pada islamisme. Tentu saja, pelabelan oleh sarjana mengakibatkan istilah islamis dan islamisme lebih menonjolkan pengertian yang tertutup. 

Kalau istilah kunci, seperti Islam, hanya dengan ism dan ist bernada negatif, sedangkan penyematannya pada nama agama lain tidak, pada gilirannya apa pun terkait dengan agama Muhammad itu mengandaikan ketertutupan terhadap perkembangan baru. Padahal, konsep Islam terhadap pelbagai isu tidak tunggal. Tujuan syariah (maqasid al-syari'ah) bersifat progresif. Demikian juga, kaidah-kaidah fiqhyang mengandung lima asas menunjukkan kelenturan praktik agama. Malah, adat-istiadat bisa menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan dasar etik keagamaan (al-'adah al-muhakkamah).

Pandangan sarjana Barat tentang islamisme hakikatnya menggambarkan keyakinan umum mereka bahwa ada narasi besar tunggal yang mesti menjadi payung semua bagi praktik kehidupan. Padahal, Nietzsche dan Lyotard juga meyakini ketidakmungkinan adanya ideologi tunggal. Meski ada persaingan ideologi, dalam praktik demokrasi pemenang persaingan akhirnya menjadi pemerintah bagi semua golongan. Aneh, IM dikaitkan dengan ''islamisme''. Sedangkan, dalam penunjukan menteri hingga gubernur, IM tidak mengambil semua jatah. Malah, Mursi mempertahankan wakil presiden seorang perempuan Kristen Koptik. Pendek kata, pemerintahan Mursi bersifat inklusif. 

Karena itu, sesungguhnya pemerian kata islamisme bermasalah karena penggunaannya tidak sejajar dengan agama-agama lain seperti Buddhisme, Yudaisme, dan Konfusianisme. Ketiga yang terakhir tidak ditakrif dengan pengertian sektarian dan primordial dalam kamus. 

Sepatutnya, pengertian Islam itu merujuk kepada kitab suci yang dikaitkan dengan kata kunci lain seperti iman, Tuhan, dan rasul. Dengan begitu, pengertian Islam secara semantik merujuk kepada pandangan dunia (weltanschauung) sumber asli. Tentu, kritik atas perilaku muslim tidak dapat dielakkan. Namun, pelabelan seharusnya tidak ditumpangtindihkan dengan praktik. Banyak penganut agama lain mempraktikkan apa yang dituduhkan kepada ''islamis'', namun tidak memengaruhi pengertian nama agama tersebut dalam kamus. 
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar