Sabtu, 31 Agustus 2013

Mengubah Pola Makan

Mengubah Pola Makan
Sjamsoe’oed Sadjad ;  Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Tahun ini usia NKRI 68 tahun. Kalau generasi anak saya nanti mencapai usia setinggi umur saya saat ini, dan cucunya pun telah memiliki cucu, apakah mereka itu masih bisa makan nasi dan lauk-pauk seperti sekarang?
Ini masalah pangan bangsa di masa depan, 32 tahun dari sekarang. Berbagai opini mengenai pangan dengan data statistik lengkap menunjukkan betapa kritikal kalau kita tetap berpegang pada pola pangan kita saat ini yang dominan nasi dan lauk- pauk. Menghadirkan nasi dan lauk-pauk sepiring penuh baru berarti makan.
Bisakah diubah?
Fokusnya sejak dulu kala tidak berubah. Masalah pangan selalu dihadapi dengan intensifikasi budidaya padi. Kebijakan politik pangan pemerintah seperti itu sah- sah saja karena bagaimanapun kecukupan bahan pangan harus terjamin. Jika produksi dalam negeri tak mencukupi, impor pun jadi. Lalu, bagaimana peran masyarakat yang sebagian besar bukan petani padi?
Luas lahan untuk pertanaman padi di Jawa makin ciut akibat alih fungsi. Jumlah penangannya juga kian menyusut akibat bertani padi kurang memberikan penghasilan dibandingkan sektor lain. Buruh tani makin kecil jumlahnya sehingga untuk pekerjaan tanam dan panen kekurangan tenaga kerja. Faktor-faktor ini kurang mendukung upaya pengadaan logistik bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok sebagian besar bangsa ini.
Impor beras masih leluasa dilakukan, tetapi dengan jumlah penduduk dunia yang makin besar tiga dekade mendatang, impor akan makin susah dilakukan. Penting untuk mengubah kebijakan politik pertanian pangan kita. Kita juga harus bisa mengubah pola makan, dengan tak lagi membedakan komponen pangan di piring kita dan lebih mengarahkan pada pangan berbasis gizi dengan setiap unsurnya berkedudukan sama, apakah itu sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, vitamin, atau mineral. Semua harus berkecukupan masuk ke dalam perut kita, dan tak harus berbentuk makanan pokok dan lauk-pauk. Singkatnya, proses ”demokratisasi” unsur pangan di piring kita.
Kesulitan kita menggantikan nasi dengan sumber karbohidrat lain selama ini karena tak mudah mendapatkan kombinasi lauk- pauk yang sesuai selera makan kita. Betapa sulitnya menemukan lauk-pauk tiga macam dicampur dalam satu piring yang dapat memenuhi selera makan kita, apabila nasi kita ganti dengan jagung rebus atau ubi kayu rebus sebagai makanan pokok.
Sebaliknya, akan lebih leluasa jika sumber karbohidrat itu kita makan (sendiri-sendiri) bersama dengan udang goreng, ayam, tahu, atau tempe goreng sebagai sumber protein. Model ini kita sebut saja sebagai single dishes model (SDM) dalam pola makan kita menggantikan model nasi plus lauk-pauk (NPLp). Dengan SDM menggantikan NPLp, kita tak menghadapi kesulitan menyajikan sepiring makanan yang membangkitkan selera akibat tak sesuainya kombinasi lauk-pauk.
Pengembangan industri pangan
Masa 32 tahun adalah waktu yang akan dilalui menuju 100 tahun usia Indonesia merdeka. Waktu yang tidak panjang untuk mengubah budaya makan, kecuali kita berusaha keras di masing-masing keluarga, karena semua menyadari pentingnya mengubah pola makan demi keberlanjutannya generasi ke depan. Sekarang saja, pemerintah sudah mengampanyekan one day no rice. Jangan-jangan 32 tahun yang akan datang kita mencapai situasi one year no rice, kalau bangsa kita sudah berjumlah setengah miliar manusia, sesudah lahan sawah padi di Jawa tinggal separuh luas saat ini. Lalu, sumber karbohidrat apa yang bisa menjadi konsumsi sehari-hari kalau pola makan kita masih model NPLp?
Kita memang tidak perlu pesimistis dengan luasan lahan dan lautan kita yang begitu besar. Begitu pula dengan iklim tropis yang panas dan basah, pertumbuhan tanaman dimungkinkan sepanjang tahun, serta sumber protein berlimpah di lautan. Namun, kita juga tak boleh sembrono, terutama dihadapkan pada potensi bencana alam yang sering mengakibatkan produksi pangan merosot drastis.
Dengan perubahan pola makan dari NPLp ke SDM, kita bisa leluasa mengurangi konsumsi nasi kita. Dengan mengubah pola NPLp yang makan dengan satu tahap menjadi tiga tahap pada model SDM, akan lebih mudah mengganti nasi pada tahap kedua dan seterusnya dengan sumber karbohidrat lain. Hal ini bisa terjadi karena sumber karbohidrat kita proses jadi produk tepung. Sehingga yang kita makan bukan berwujud nasi lagi, tetapi roti, keik, kue, dan lain-lain. Semuanya proses industrial.
Segenap bahan pangan kita diupayakan menjadi produk industri sehingga bisa disajikan di meja makan secara instan. Untuk itu perlu didorong proses industrialisasi bahan pangan kita, baik sumber karbohidrat, serat, protein, lemak, maupun mineral. Langkah ini lebih memajukan sektor pertanian dan lebih cepat menyejahterakan petani kita. Semua akan sinkron dengan upaya lebih memopulerkan sistem makan kita dengan model SDM. Demi keberlanjutan hidup bangsa ini, perubahan budaya makan perlu kita lakukan dan jangan hanya terpaku pada proses produksi bahan pangan, khususnya padi sebagai makanan pokok. ●  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar