Jumat, 30 Agustus 2013

Menyoal Kualitas Legislator

Menyoal Kualitas Legislator
Nurudin ;   Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
SUARA KARYA, 29 Agustus 2013


Tidak ada sorotan paling tajam yang ditujukan pada partai politik (parpol) kita saat ini kecuali menyangkut kualitas calon legslator yang sudah didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum (PKU). Sorotan tajam berkaitan dengan banyaknya parpol yang memanfaatkan artis atau malahan mantan narapidana (napi).

Memilih legislator berkualitas memang harus, tetapi memilih yang benar-benar berkualitas memang bukan perkara mudah. Bagaimana mengukur kualitas anggota dewan? Apakah yang bergelar, apakah yang menjadi pemuka agama sehingga secara moral bisa dipertanggungjawabkan, atau memilih (mantan) aktivis yang selama ini kritis? Tidak ada jawaban yang pasti. Pemuka agama, bergelar tinggi, mantan aktivis mahasiswa juga punya persoalan jika sudah masuk ke lingkungan elit politik.

Namun demikian, ini tidak berarti menjadi pembenar bahwa parpol seenaknya saja memilih calon legislator. Dengan kata lain, karena banyak kasus yang menimpa para legislator selama ini bukan berarti parpol menyerah memilih seadanya. Yang miris, ada parpol yang mencantumkan mantan terpidana untuk masuk legislatif terlihat ketika maasih di daftar caleg sementara (DCS/sebut saja NS) pada ranking pertama. Tidak itu saja, ada seseorang yang sedang terlibat kasus di pengadilan juga dimasukkan dalam DCS (sebut saja SD) juga Ranking-1. Ada apa dengan parpol kita?

Sebenarnya, ada beberapa penyebab kenapa parpol dianggap tidak bisa memilih legislator yang berkualitas. Pertama, semangat Parpol masih asal target terpenuhi. Dengan kata lain, karena mementingkan target tenggat waktu dan harus menyerahkan daftar legislator, parpol membuat daftar asal jadi. Tak heran jika kalangan artis dan mantan napi pun masuk dalam DCS.

Semangat asal target terpenuhi telah menutup peluang parpol melakukan rekrutmen politik secara teliti. Lihat saja, nyaris jarang ada parpol yang khusus menyeleksi para calon legislator itu. Misalnya, tidak ada tim penyeleksi sejak awal, bagaimana mekanisme penyeleksian dan bagaimana memberitahukan ke publik sebagai bagian dari transparansi politik. Semua ditentukan sendiri oleh parpol.

Kedua, semangat kroni masih kuat. Tidak sedikit parpol yang memunculkan nama dari keluarganya sendiri atau masih ada hubungan "perkoncoan". Memang, bahwa pemilihan kroni itu bisa jadi berdasar kualitas sang calon. Namun demikian, semangat kroni biasanya bukan berdasar kualitas tetapi berharap ada keuntungan-keuntungan pragmatis yang didapatkan dari mencantumkannya menjadi caleg sementara.

Ini pulalah yang kemudian menjadi batu sandungan ketika kroni itu punya masalah hukum sementara yang memilih mempunyai kekuasaan. Jadilah proses hukum diputuskan lewat proses politik, dan dari situ usaha untuk mengurai proses hukum secara adil sering terhambat.

Ketiga, menjadi caleg harus punya uang cukup. Dengan demikian seorang caleg yang berkualitas tidak akan bisa menjadi caleg manakala tidak punya uang. Menjadi caleg kabupaten/kota saja harus merogoh Rp 100 juta-Rp 500 juta, caleg provinsi Rp 500 juta-Rp 1 miliar, caleg pusat bisa mencapai Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar.

Biaya tersebut antara lain digunakan untuk membuat alat peraga (baliho, spanduk, umbul-umbun dan kaos). Untuk baliho berukuran 3 x 4 meter bisa membutuhkan biaya Rp 500 ribu, bagaimana jika membuat ratusan baliho? Masih ada biaya lain seperti acara bersama dengan konstituen, honor saksi, uang transport dan lain-lain.

Jadi, betapa mahal biaya untuk menjadi calon legislator. Jika seseorang itu miskin darimana dia mendapatkan uang untuk mencalonkan diri? Itu belum termasuk "wajib setor" ke kas parpol. Apakah parpol mau rugi jika tidak mendapatkan keuntungan ekonomis sekarang dan nanti?

Dampak

Cara-cara yang dilakukan dalam penjaringan calon legislator seperti di atas tentu sangat rawan dengan kecurangan. Para kandidat itu akan punya semangat bagaimana mengembalikan "uang pangkal" yang sudah diinvestasikan untuk menjadi anggota dewan. Ini yang membuat maraknya penyalahgunaan wewenang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), disamping juga mendapatkan prestise.

Jika pada akhirnya, ada individu anggota parpol yang terlibat kasus, parpol akan melindunginya. Ini menyangkut soal "kesatuan korps" parpol. Alasannya, aib anggota parpol dianggap menjadi aib parpol itu sendiri. Karena kesatuan korps itu segala-galanya, maka pembelaan pada anggota juga bisa jadi semaksimal mungkin dengan mengorbankan apapun. Sebenarnya, parpol sudah mengendus ada anggota yang sangat mungkin nanti punya masalah melihat track record kandidat selama ini. Tetapi, alasan-alasan pragmatis atau jaringan kroni, membuat parpol tidak berdaya untuk menolaknya.

Jika sudah begini, usaha untuk mencari calon legislator yang berkualitas akan sulit terwujud. Yang jelas, caleg sudah ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Memang parpol masih bisa mengubah daftar susunan calegnya, tetapi itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ada kepentingan dan tangan-tangan bersembunyi dibalik penyusunan caleg.


Ada pesimisme masyarakat atas perubahan ke depan dengan melihat caleg di KPU. Namun, masyarakat tidak boleh terlena dan apatis atas itu semua. Mereka ikut bertanggungjawab untuk menyorot dan mempermasalahkan saat masih dalam caleg atau setelah menjadi anggota terpilih. Kritik dan masukan bukan usaha merongrong, tetapi menjadi bahan untuk perbaikan selanjutnya. Tentu saja jangan menjadi tukang kritik, meskipun ada saja tunggang-menunggangi dalam persoalan-persoalan politik. Politik memang banyak berurusan dengan siapa mengatakan apa, lewat mana, kepada siapa dan efeknya bagaimana. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar