Kamis, 29 Agustus 2013

Negara dan Pembiayaan Parpol

Negara dan Pembiayaan Parpol
Bawono Kumoro ;   Peneliti Politik The Habibie Center
MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2013


KASUS korupsi pembangunan pusat olah raga Hambalang dan impor daging sapi merupakan contoh dari sekian banyak kasus yang dilatarbelakangi perburuan rente partai politik (parpol). Belum lagi jika kita melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi di lingkungan legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) ataupun eksekutif (menteri, gubernur, dan bupati/wali kota).

Tidak dapat dimungkiri kebutuhan parpol terhadap dana besar agar bisa memenangi pemilu telah mendorong para politikus berlaku koruptif. Parpol membutuhkan sumber pendanaan besar agar mesin politik dapat berfungsi secara maksimal dalam mendulang suara pemilih. Parpol harus mencari cara agar eksistensi mereka tetap terjaga baik dalam masyarakat dan mampu meraih suara signifikan dalam pemilu.

Awalnya parpol menarik sumbangan dari para anggota mereka melalui iuran.
Namun, seiring dengan kian mahalnya biaya kampanye pemilu, parpol mulai mencari donasi dari lingkungan eksternal. Kini, hampir seluruh parpol di banyak negara mengandalkan sumber dana dari sumbangan perseorangan dan perusahaan.

Pada titik inilah sumbangan keuangan parpol perlu diatur. Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 memang telah mengatur sumber keuangan parpol. Ada tiga sumber keuangan parpol, yaitu, pertama iuran anggota parpol bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal oleh parpol. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan UU mengenai besaran iuran anggota. Namun, tidak banyak parpol yang menjalankan mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur.

Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum. Terkait sah menurut hukum. Terkait dengan hal ini, Pasal 35 UU Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan yang dimaksud: (1) perseorangan anggota parpol yang pelaksanaannya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, (2) perseorangan bukan anggota parpol paling banyak senilai Rp1 miliar per orang dalam waktu 1 tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 tahun anggaran.

Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/APBD a diberikan secara proporsional d kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara.

Berebut sumber dana

Akan tetapi, karena agenda politik setiap parpol sangat banyak dan memerlukan dana besar, sumber keuangan parpol sebagaimana diatur dalam UU tersebut tidak mencukupi dan memadai. Biaya politik yang sangat mahal mendorong parpol berlomba-lomba memperebutkan sumber-sumber keuangan negara. Anggaran negara pun dipandang sebagai sumber pendanaan yang sangat potensial. Parpol pun mulai berburu rente melalui kader-kader mereka di lembaga legislatif ataupun eksekutif. Perburuan rente yang dilakukan parpol ini jelas merugikan rakyat karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik.

Secara umum ada tiga modus utama perburuan rente yang dilakukan parpol. Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Modus ini dapat berupa: (1) candidacy buying dalam seleksi anggota DPR/DPRD, (2) menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, (3) membajak kebijakan dan anggaran, (4) transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan (5) transaksi dalam legislasi.
Kedua, melalui lembaga eksekutif. Parpol menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara (BUMN), dan institusi pemerintahan yang memiliki akses dana besar. Selain itu, modus ini juga dilakukan parpol dengan cara mendorong kader mereka untuk menjadi kepala daerah atau menyewakan parpol sebagai kendaraan politik dalam pemilihan umum kepala daerah kepada kandidat tertentu yang memiliki dana besar dengan harga fantastis.

Ketiga, melalui pengusaha. Pengusaha diminta memberikan sumbangan untuk kegiatan operasional dan kampanye sebuah parpol. Kemudian para pengusaha ini diberikan imbalan berupa kemudahan mendapatkan akses proyek-proyek pemerintah sehingga mendorong terjadinya korupsi.
Kontrol publik yang terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas semakin menguatkan persekongkolan para elite politik.

Aspek transparansi memang menjadi persoalan utama dalam hal praktik pendanaan parpol di Indonesia. Akibat ketiadaan transparansi keuangan parpol, publik pun tidak dapat mengetahui siapa saja pihak penyumbang, besarannya, dan seberapa besar sumbangan itu kelak berpengaruh terhadap parpol dan kandidat bersangkutan.

Berangkat dari realitas miris itu, diperlukan langkah-langkah perbaikan terkait dengan masalah keuangan parpol. Langkah-langkah perbaikan itu berupa reformasi keuangan parpol yang mencakup tiga hal, yaitu reformasi sumber keuangan parpol, reformasi pengelolaan keuangan partai politik, dan reformasi pengeluaran keuangan parpol.

Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan gagasan pembiayaan parpol oleh negara. Belakangan, gagasan ini kerap diwacanakan sejumlah pihak, baik pengamat maupun politisi.

Praktik kotor

Dasar utama dari pertimbangan gagasan pembiayaan parpol oleh negara adalah posisi dan peran strategis kehadiran parpol dalam kehidupan demokrasi dan kelangsungan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Tanggung jawab negara agar parpol berfungsi secara optimal pun kemudian menjadi logis dan relevan.
Alasan lain selama ini marak praktik korupsi yang menggerogoti APBN dan APBD. Praktik kotor itu banyak dilakukan oknum di legislatif dan ek sekutif. Selama ini, diperkira kan 30% ang garan negara dikorupsi, de ngan berbagai modus, teruta ma penggelembungan anggaran proyek.

Jika tahun ini belanja APBN mencapai Rp1.600 triliun berarti ada sekitar Rp480 triliun anggaran yang berpotensi untuk dikorupsi. Karena itu, ketimbang membiarkan penggalangan biaya politik melalui cara-cara merugikan negara tersebut, lebih baik mengalokasikan anggaran lebih besar bagi parpol.

Di saat bersamaan parpol harus didorong untuk meninggalkan cara-cara haram menggalang dana untuk memenuhi kebutuhan biaya politik. Jika masih ada parpol melakukan perburuan rente terhadap anggaran proyek-proyek negara, sanksi tegas harus diberikan, seperti diskualifikasi dari keikutsertaan dalam pemilu.

Selama ini alokasi dana APBN untuk parpol yang memiliki kursi di parlemen dapat dikatakan jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan parpol. Untuk itu, di masa mendatang perlu pengalokasian dana lebih besar dari negara bagi parpol dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka saat pemilu.

Meskipun demikian, subsidi negara terhadap parpol tidak harus serta-merta diartikan melalui pemberian uang secara tunai. Subsidi negara terhadap parpol dapat juga dilakukan secara nontunai, seperti menyediakan saksi untuk tiap-tiap parpol. Selama ini cukup banyak dana yang dikeluarkan parpol untuk membayar saksi saat proses pemilihan berlangsung. Hal itu dirasakan sangat membebani keuangan parpol bersangkutan.

Elaborasi di atas menunjukkan biaya politik tinggi untuk kepentingan pemilu sudah teridentifikasi sebagai pangkal persoalan. Kini tinggal kemauan politik negara untuk berani mengambil langkah-langkah terobosan untuk meminimalkan praktikpraktik kotor perburuan rente di masa mendatang.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar