Senin, 26 Agustus 2013

Paket Penjinak Krisis

Paket Penjinak Krisis
FX Sugiyanto  ;    Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB),
Kepala Pusat Penelitian Kajian Pembangunan Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 26 Agustus 2013


BENAR apa yang dikatakan ekonom Bank Pembangungun Asia (ADB) Iwan Jaya Aziz bahwa pemerintah jangan menganggap enteng penurunan rupiah saat ini karena bisa menjadi pintu masuk situasi krisis sebagaimana tahun 1998. Merespons situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan empat kebijakan ekonomi.

Beleid ekonomi itu mencakup pertama; mengerem laju peningkatan defisit transakasi berjalan, termasuk penurunan pajak barang mewah, penurunan impor migas seraya memperbesar biodiesel, dan meningkatkan pajak barang mewah untuk mobil CBU. Kedua; menjaga iklim pertumbuhan ekonomi melalui pengendalian defisit APBN dan insentif industri padat karya. Ketiga; stabilisasi harga dan inflasi melalai impor daging dan hortikultura berbasis harga. Keempat; mempercepat investasi, terutama infrastruktur. Cukup ampuhkah paket kebijakan tersebut untuk mengatasi kemungkinan terjadinya krisis?

Turunnya nilai tukar rupiah saat ini bukan hanya karena faktor psikologis pasar melainkan juga faktor fundamental. Tren penurunan rupiah secara konsisten telah terjadi sejak kuartal II/2011. Posisi rupiah pada Juli 2011 masih pada Rp 8.508 per dolar AS dan pada 23 Agustus 2013  turun 21,57% menjadi Rp 10.848. Pada periode yang sama cadangan devisa turun dari 122,67 miliar dolar AS menjadi 96,67 miliar dolar AS. Surplus transaksi berjalan turun dari 5,14 miliar dolar AS pada akhir 2010 menjadi defisit 24,07 miliar dolar AS pada akhir 2012, dan masih berlangsung hingga saat ini.

Ada Anomali

Penurunan surplus bahkan defisit tersebut, disebabkan menurunnya ekspor dan meningkatnya impor terutama sejak akhir tahun 2012. Ekspor turun dari 200,78 miliar dolar AS menjadi 188,49 miliar dolar AS, sementara impor meningkat dari 166,00 miliar dolar AS menjadi 179,88 miliar dolar AS. Dari dambaran itu, kita bisa melihat ada anomali.

Secara teori, penurunan nilai tukar rupiah mestinya dikuti meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, tapi kini yang terjadi sebaliknya. Dari gambaran itu, tampak jelas penurunan secara konsisten dalam rentang waktu panjang jelas bukan disebabkan faktor psikologis, walaupun dampak lanjutannya juga memengaruhi psikologi pasar.

Faktor fundamental lain yang kemudian menjadi pemicu kemelemahan rupiah adalah inflasi domestik yang sangat tinggi. Sampai Juli 2013 tingkat inflasi sudah 8,61% dari target 4,9%. Kenaikan harga BBM memicu tingginya tingkat inflasi. Faktor eksternal juga menjadi pemicu lain kemelemahan rupiah kali ini. Dolar AS menguat terhadap hampir semua mata uang dunia. Penguatan dolar AS bukan hanya dipicu oleh isu tapering melalui pengurangan secara bertahap pembelian obligasi dari 85 miliar dolar AS menjadi sekitar 60 miliar dolar AS, melainkan juga karena menguatnya ekonomi AS.

Banyak negara lebih siap menghadapi perubahan kebijakan AS tersebut, dibanding Indonesia. Sejumlah negara merespons dengan jurus yang sama dengan AS, yakni dengan tetap mempertahankan suku bunga bank sentral mereka pada posisi rendah dan cenderung menurun, atau setidak-tidaknya tidak menaikkannya.

Selain AS, Uni Eropa menetapkannya pada 0,50%, Inggris 0,50%, bahkan Jepang hanya 0,10%. Untuk negara-negara Asia, China 6,00%,  Korsel 2,50%, Thailand 3,00%, dan Filipina 3,50 %. Beberapa negara Asia yang lain memang lebih tinggi dari Indonesia, semisal India 7,25 %, tetapi cenderung menurun.

Indonesia saat ini menetapkan BI rate 6,50% dan cenderung meningkat. Respons Indonesia yang cenderung berbeda dari negara lain ini lebih mencerminkan katidaksiapan kita secara fundamental dibanding negara lain. Fundamental ekonomi kita cenderung lebih rawan dari beberapa negara tersebut.
Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah itu lebih sebagai ’’obat turun panas’’, daripada mengobati penyakitnya. Pemerintah sudah tahu permasalahannya sejak lama, hanya tak mau merumuskannya melalui operasional kebijakan, menunggu sampai perekonomian menjelang bahaya.

Dalam jangka pendek, harus bisa dipastikan empat paket kebijakan itu bisa diterapkan sampai tingkat operasional. Penyederhanaan dan pengefektifan perizinan satu atap misalnya. Itu bukan hal baru, tetapi praktiknya bisa berbeda. Mengurus izin usaha di Indonesia rata-rata butuh 47 hari —jauh lebih lama dari Malaysia yang hanya 6 hari (World Bank: Doing Business, 2013), walaupun praktiknya jauh lebih lama dari 47 hari.

Demikian juga tata niaga daging sapi dan hortikultura. Pemerintah sudah tahu penyebabnya sejak lama, hanya masalahnya tidak mampu memperbaiki tata niaga tersebut karena terhambat dan mempertahankan birokrasi yang buruk. Kasus korupsi terkait dengan impor daging sapi adalah sedikit contoh dari kebobrokan birokrasi kita.

Konsisten dengan laporan WEF 2013, untuk mendongkrak daya saing, pemerintah harus memperbaiki tiga faktor kunci, yakni  birokrasi yang tidak efisien, tingkat korupsi yang sangat tinggi, dan keminiman ketersediaan infrastuktur, baik kuantitas maupun kualitas. Tiga faktor ini mendapat penilaian paling buruk oleh WEF, dari 12 pilar daya saing  yang mereka survei.

Dalam jangka panjang, untuk mengurangi kerentanan ekonomi nasional terhadap krisis, harus ada perubahan mendasar strategi industrialisasi, khususnya pembangunan pada sektor dasar seperti pertanian dan energi. Selain sangat memalukan, itu sekaligus menunjukkan kebodohan kita mengingat hampir semua produk hasil pertanian kita harus impor.

Beras, kedelai, bawang merah, bawang putih, gula pasir, bahkan garam pun harus kita impor. Petani produsen kita terkulai, sementara importir berjaya. Apabila pemerintah tidak punya kemauan dan  kemampuan untuk melakukan penguatan  industri-industri  tersebut, jangan berharap kita bisa terhindar dari situasi sulit seperti saat ini.


Karena goncangan krisis tersebut lebih karena kemelemahan fundamental ekonomi kita, terutama pada sektor rill dan aspek kelembagaan maka hanya langkah perbaikan fundamental ekonomi dan kelembagaan yang dapat menolong untuk menjinakkan krisis yang sedang mengancam kita. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar