Sabtu, 31 Agustus 2013

Selebritas

Selebritas
Asep Salahudin ;  Esais dan Dekan Fakultas Syariah
 di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 31 Agustus 2013


Ustaz, kiai, tuan guru, ajengan, dan romo adalah gelar kultural yang biasa dinisbatkan masyarakat (umat) kepada orang yang memiliki kecakapan di bidang keagamaan.
Gelar itu tak berdiri sendiri. Interaksi simbolisnya berkelindan bukan hanya dengan pemahaman keagamaan (kognitif) yang disalurkan dalam wujud keelokan bertablig, melainkan juga keteladanan hidupnya. Keikhlasan, pilihan hidup asketik, kejujuran, satunya kata dengan perbuatan, kesederhanaan yang kemudian membuat sang kiai itu dihormati. Dari wajahnya tebersit karisma. Umat kemudian menyebutnya ”karamah” dan keberkahan. Jangankan fatwa, bahkan gestur tubuhnya dipandang mencerminkan jejak-jejak wibawa kenabian. Warasatul anbiya.
Kiai tidak ”mengetuk” pintu kekuasaan, tetapi justru kekuasaan yang mendatanginya. Di mana pun kuasa selalu membutuhkan jaringan legitimasi moral, dan kiai yang sejarah pengalaman kesehariannya bergumul dengan napas masyarakat dipandang dapat merepresentasikan keinginan massa, penyambung lidah rakyat. Di titik ini, kiai memerankan diri sebagai tenda moral dan jangkar kekuatan masyarakat madani.
Zaman kolonial
Tipikal kiai seperti itulah yang dahulu sangat ditakuti kaum kolonial. Mereka tahu bahwa di balik kibaran sarungnya tersimpan kekuatan mengonsolidasi rakyat untuk membangkitkan perlawanan terhadap ihwal yang dianggap mungkar dan kafir. Sekali ”jihad” diserukan, dengan serta-merta masyarakat termobilisasi dan serentak mengikuti sabda kiai. Dalam alam pikiran insan negeri kepulauan, kalau titah raja yang menggema dari keraton dianggap sebanding dengan perintah Tuhan, hal yang sama berlaku juga untuk kiai. Tausiah-nya yang didengungkan dari bilik pesantren dipandang sebangun dengan firman Tuhan.
Sartono Kartodirdjo menuturkan bahwa peristiwa penentangan sosial-politik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan Pemerintah Belanda sendiri, dipelopori para kiai. Jika diperlukan, para kiai menjalin hubungan dengan kalangan elite lokal (Steenbrink, 1984). Kartodirdjo mendokumentasikan dengan cukup baik fakta sosial perlawanan kiai ini dalam Protest Movement in Rural Java dan The Peasants’ Revolt of Banten in 1888. Sir Thomas Raffles dalam The History of Java menggambarkan, dalam setiap pergolakan sosial, hampir semua kiai di Nusantara menjadi aktor paling militan dalam menentang kaum kolonial, hampir tidak ada kiai yang melakukan politik kompromistis dengan penjajah.
Pada masa pergerakan mempertahankan kemerdekaan ”resolusi jihad” telah cukup menggambarkan tentang kekuatan karisma politik kiai. Resolusi jihad yang kemudian menjadi pemantik lahirnya peristiwa 10 November 1945. Bung Tomo menjalin hubungan sinergis dengan KH Hasyim Asy’ari dan politisi muda anaknya, KH Wahid Hasyim. KH Zainul Arifin (Laskar Hisbullah), KH Wahab Hasbullah (Barisan Mujahidin), KH Masykur (Laskar Sabilillah), batalion PETA yang hampir setengahnya dipimpin kiai Nahdlatul Ulama berada di barisan terdepan dalam pertempuran hari pahlawan itu.
Kiai hari ini
Itu dulu. Ketika dakwah keagamaan dilakukan dengan ikhlas. Tatkala budaya populer belum menyerbu semua segmen kehidupan. Hari ini riwayatnya lain lagi. Hikayatnya sudah sangat jauh berbeda.
Tersebutlah pada awal abad ke-21 fragmen kegaduhan mempersoalkan tarif kiai, lebih tepat lagi ustaz. Kita sesungguhnya tidak perlu ikut mencaci maki sang ustaz yang dengan telanjang memasang tarif atas kecakapannya dalam menyampaikan senarai firman Tuhan yang dianggap sakral dan konon haram ”diperjualbelikan” oleh sebagian kalangan.
Bukankah fenomena praktik ”memperjualbelikan” ayat-ayat Tuhan bukan hanya dilakukan ustaz, melainkan juga oleh para politisi, baik yang beraliran nasionalis, sekularis, sosialis, maupun agamis? Bahkan, bisa jadi aktivis ”partai yang berbasis agama” yang paling hobi mempraktikkannya. Kabar terakhir, yang terbelit kasus impor sapi yang menimpa sebuah partai dakwah, semua tersangka dan para saksinya dipanggil ”ustaz”. Semua media menulisnya dengan panggilan ”ustaz” walaupun nyata-nyata berlumuran ”kemungkaran sosial” (korupsi), malah disebut-sebut tidak hanya menyebar dinar, tetapi juga ”mengoleksi” sekian perempuan ghair muhrim. Sesuatu yang tidak terbayangkan menimpa kiai tempo dulu.
Betul apa yang pernah dibilang Michel Foucault bahwa agama memiliki energi metafisik untuk melakukan dominasi simbolis dengan efek dahsyat yang terkadang tidak diinsafi pemeluknya sendiri. Di balik kelihaian para pendakwahnya (dan kaum agamawan), tersembunyi naluri manusia: menyalurkan hasrat serta mengejar benda dan kekuasaan.
Kenapa tarif tidak perlu dipersoalkan? Sebab sesungguhnya sejak awal sang ustaz mungkin di bawah layar bawah sadarnya tidak memosisikan dirinya sebagai ”ustaz”, tetapi lebih sebagai bagian dari kerumunan selebritas atau minimal motivator yang mengambil agama sebagai bahan motivasinya. Halnya dunia selebritas, yang harus dikedepankan adalah ”tubuh” dengan segala aksesori pencitraannya. Yang diperlukan bukan kedalaman materi agama, apalagi penghayatan kudus religiositas, melainkan kepandaian beretorika. Bukan pencerahan, melainkan kesanggupannya membuat humor-humor yang bikin terpingkal-pingkal khalayak.
Mimbar infotainmen
Laikya selebritas, panggung utamanya bukan di masjid, madrasah, dan pesantren, melainkan di televisi. Media untuk melipatgandakan ”pengaruhnya” apalagi kalau bukan mimbar infotainmen. Bukan kitab kuning yang dilogati lewat bandungan dan sorogan. Sudah menjadi pasal besi bahwa bagi infotainmen yang menarik untuk dikabarkan adalah percakapan soal artifisial, semisal jenis kendaraan, merek sepatu, rumah tinggal, hobi, dan lebih menarik lagi cerita ”percintaannya” walaupun itu sah, misalnya, menurut agama seperti poligami. Maka, akhirnya ustaz harus menyesuaikan dengan selera pasar. Bukan sebaliknya. Dipilihlah Lamborghini, motor gede, wisata ke luar negeri, dan salon. Jika gaya hidup seperti itu tidak bisa ditutupi dengan penghasilan dari dakwah, dirangkaplah peran sebagai bintang iklan. Agen iklan tentu jatuh cinta kepada sosok yang dianggap memiliki massa.
Dengan tarif ustaz tidak ada yang salah. Tidak ada yang dilanggar. Sebab sejak sedari awal relasinya bukan ustaz dengan jemaahnya, melainkan ustaz dengan penggemarnya. Seorang idol dengan fansnya. Di wilayah ini, etika otomatis dianggap fosil, sebagai bagian silam norma skolastik. Sementara yang menahbiskannya sebagai ustaz bukan umat, melainkan televisi! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar