Sabtu, 31 Agustus 2013

Sindrom Kekuasaan

Sindrom Kekuasaan
Mudji Sutrisno ;   Budayawan
SUARA KARYA, 30 Agustus 2013


Ada empat sindrom dalam psikologi perilaku, terutama bertaut dengan kehendak untuk berkuasa. Pertama, sindrom Napoleon. Ungkapan ini diambil dari penggambaran tampilan Napoleon (pasca-Revolusi Prancis) yang berfisik pendek, tetapi berambisi besar menaklukkan Eropa. Secara psikologis, sindrom ini mau menunjuk gejala perilaku "si pungguk merindukan bulan", yang selalu mau tampil menguasai semuanya, "menjajah" kemerdekaan orang lain dan tega-teganya menyingkirkan orang lain atas nama kebenaran.

Intinya, "si cebol" ingin dilegitimasi dan diberi pengakuan sebagai penguasa. Ciri-cirinya, otoriter, merasa dirinya paling benar. Kekecilan fisiknya tak pernah diterimanya secara rendah hati sebagai keterbatasan, tetapi dijadikan pendorong untuk menyingkirkan yang berbeda dengan dirinya atau yang menghalanginya.

Kedua, sindrom pendiri. Setelah institusi mengalami regenerasi kepemimpinan di tangan yang lebih muda, ia yang dulu pernah menjadi pendiri tetap saja "berhasrat" untuk terus intervensi karena khawatir institusi yang didirikannya melenceng dari visi awalnya. Ini terjadi karena ia sudah menanamkan tradisi-tradisi yang harus terus diikuti meski sudah pensiun dan tidak menjabat lagi hingga menimbulkan "bayang-bayang" senioritas abadi.

Ketiga, sindrom post power. Yang amat lazim terjadi, setelah orang tidak memegang kekuasaan, tidak memiliki wewenang atau tidak menjabat lagi, tetapi masih mau berperilaku seperti masih di kursi jabatannya. Cirinya, ia tidak rela menyadari bahwa dirinya sudah tidak memegang kekuasaan lagi, maka yang terucap di mana-mana adalah kisah suksesnya dalam ekspresi his story.

Keempat, sindrom "anak mama" atau "anak papa". Sindrom ini karena terlalu banyak digendongnya si anak oleh mama atau papanya yang melambangkan proteksi berlebihan hingga mengalami ketergantungan. Orangtua tidak cukup memberi ruang bagi perkembangan kemandirian anak menuju pribadi dewasa yang otonom. Sindrom ini menghasilkan orang-orang dengan pribadi heteronom, tidak mandiri, dan selalu banyak pertimbangan dalam bersikap dan bertindak.

Ciri-cirinya, mudah bercurah-hati atau mengeluh serta mengungkapkan apa saja yang menjadi ketidak-enakan yang sebenarnya untuk orang dewasa merupakan tantangan pergulatan biasa, namun baginya menjadi medium untuk meminta perhatian. Seakan-akan seluruh dunia harus tahu dan mengerti bahwa ia sudah bekerja keras demi orang lain.

Refleksi keempat sindrom di atas penting diketahui untuk menjelaskan kaburnya nilai-nilai yang benar, baik dan indah yang kita hidupi saat ini. Budi cerdas dan nurani jernih sangat diperlukan untuk mengatasi fenomena sindrom politik. Apalagi, jika politik dimaknai sebagai permainan kekuasaan dan wewenang untuk menggapai kesejahteraan bersama.

Di dasar pemahaman kekuasaan termuat kemampuan dan kegiatan apa pun untuk mengontrol orang lain demi kepentingan si empunya kuasa. Dari sini, begitu mudahnya politik tergelincir untuk menjadikan hidup bersama sebagai ajang perebutan kuasa untuk saling mengerkah (memakan). Sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes, homo homini lupus bahwa manusia adalah serigala yang saling mengerkah sesamanya.

Agar tak tergelincir, ada baiknya dalam berpolitik perlu mengacu pada apa yang ditawarkan Driyarkara bahwa "manusia semogalah menjadi sahabat atau rekan bagi sesamanya" (homo homini socius). ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar