Sabtu, 31 Agustus 2013

Sisi Paradoks Intervensi AS

Sisi Paradoks Intervensi AS
Asrudin ;  Pengamat Hubungan Internasional,
Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
MEDIA INDONESIA, 31 Agustus 2013


RENCANA Amerika Serikat (AS) untuk melakukan in tervensi militer ke Suriah kian mendekati kenyataan. Keseriusan itu ditunjukkan AS dengan mengirimkan empat kapal perang perusak mereka ke perairan Suriah. Militer AS bahkan telah menentukan 50 target serangan. Serangan itu akan melibatkan rudal Tomahawk, yang dipersiapkan dari kapal perang yang ditempatkan di Laut Mediterania (Reuters, 28/8).

Rencana mengenai intervensi AS ke Suriah itu mengemuka setelah keluar kabar bahwa rezim Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia dalam konflik melawan oposisi pada 21 Agustus lalu. Akibat serangan senjata kimia itu sekitar 1.729 warga sipil tewas dan 6.000 lainnya mengalami gangguan pernapasan.
Untuk memuluskan rencana intervensi militer AS tersebut, Presiden Barack Obama mulai menghubungi sekutunya untuk menjaring dukungan. Hasilnya Turki, Inggris, dan Prancis menyatakan siap membantu menyerang Suriah.

Jika merujuk ke niatan intervensi militer ke Suriah, tampak jelas terlihat alasan humanitarian di dalamnya. Namun, isu intervensi militer untuk kemanusiaan itu sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan oleh para ahli dan praktisi hubungan internasional. Perdebatan itu menyangkut absah atau tidaknya sebuah intervensi dilakukan karena sifatnya yang melanggar kedaulatan.

Penerapan R2P

Ide untuk melakukan intervensi militer untuk kemanusiaan oleh AS bukanlah hal baru. Sebelumnya intervensi NATO yang dipimpin AS pernah dilakukan di Kosovo (1999), Irak (2003), dan Libia (2011). Namun, di antara ketiga aksi intervensi itu, Libia dinilai yang paling absah.

Pada kasus intervensi AS plus NATO ke Kosovo dan Irak, sebagian pengamat menilai tindakan tersebut illegal but legitimate. Ilegal sebab tindakan tersebut tidak mendapat persetujuan Dewan Keamanan PBB, tetapi absah jika dilihat dari sudut moral.

Namun, intervensi di Libia justru dinilai sebagian pengamat itu tampak absah karena AS dan NATO menerapkan norma responsibility to protect (R2P). Apalagi norma R2P itu diperkuat Resolusi DK PBB 1973 tentang zona larangan terbang di Libia. Resolusi itu dikeluarkan untuk menyikapi pemimpin Libia Moammar Khadafi yang bertindak secara brutal terhadap rakyatnya dalam melawan arus revolusi. Tindakan Khadafi itu telah memakan korban lebih dari 2.000 nyawa dan sejumlah pelanggaran HAM lainnya.

Intervensi atas Libia itu yang dianggap Stewart Patrick (2011), Penasihat Senior Hubungan Luar Negeri AS, sebagai penggunaan kekuatan militer pertama yang tanpa ragu menjunjung norma R2P. Norma itu merupakan konsep yang diperkenalkan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) pada Desember 2001.

Meski ditentang Venezuela, Rusia, China, dan India, konsep R2P itu tetap diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB No A/60/1, khususnya paragraf 138 dan 139, dan bersifat `rekomendasi'. Dalam perspektif hukum internasional, suatu rekomendasi yang dihasilkan Majelis Umum PBB mempunyai konsekuensi yang berbeda jika dibandingkan dengan resolusi DK PBB dan juga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Na mun, karena R2P mengacu ke hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional yang ada, de ngan negara-negara terikat di dalamnya, negara-negara menjadi `berkewajiban' memenuhi segala konsekuensi, termasuk menerapkan prinsip-prinsip R2P tersebut (Djundjunan & Wirakara, 2009).

Melalui R2P itulah, AS merasa berhasil menerobos kebuntuan karena adanya tembok penghalang intervensi sebagaimana terkandung dalam piagam PBB dalam Pasal 2 (4) mengenai prinsip nonintervensi.

Kebuntuan itu bisa dipecahkan setelah ICISS mengeluarkan rekomendasi yang cukup cerdas terkait dengan R2P yang isinya menyatakan pada setiap negara berdaulat terdapat tanggung jawab memberikan perlindungan kepada seluruh warganya, dari berbagai tindak kejahatan kemanusiaan, yang diakibatkan terjadinya perang saudara, pemberontakan, atau penindasan di dalam negara (Djundjunan & Wirakara, 2009).

Apa yang di lakukan ICISS itu sebenarnya merupakan upaya untuk merekonsep tualisasi makna kedaulatan tradisional Westphalia (1648) dengan memberikan konsepsi kedaulatan alternatif, dengan kedaulatan diterjemahkan sebagai tanggung jawab (sovereignty as responsibility). Dengan begitu, kedaulatan menjadi bermakna sebagai hak dan tanggung jawab berbagai pemerintahan di dunia untuk melindungi warganya.

Paradoks

Apa yang terjadi di Libia sebetulnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Suriah. Selama perang saudara di Suriah, rakyat sipil yang tewas melebihi angka 100 ribu dan jumlah pengungsi telah mencapai hampir 2 juta. Jumlah angka kematian dan pengungsi itu terus bertambah seiring dengan adanya dugaan penggunaan senjata kimia oleh pasukan Suriah di daerah padat penduduk, timur Damaskus, pada 21 Agustus 2013. Jika pola penggunaan senjata kimia terus terjadi, berarti korban jiwa akan terus dan terus bertambah.
Itu tentu merupakan kejahatan perang terhadap kemanusiaan yang sangat serius.
Meski PBB belum bisa menyimpulkan hasil penyelidikan mereka terkait dengan siapa yang menggunakan senjata kimia, AS dan Inggris meyakini rezim Al-Assad telah menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri.

Jika memang benar rezim Al-Assad terbukti menggunakan senjata kimia, penerapan R2P melalui intervensi militer itu bisa saja dilakukan. Meski ada upaya pemblokiran terhadap DK PBB melalui veto Rusia dan China, AS dan sekutu mereka masih bisa diizinkan melakukan intervensi terhadap Suriah di bawah payung hukum internasional. Mereka diizinkan untuk mengambil langkah-langkah yang luar biasa dalam mengurangi skala besar bencana kemanusiaan di Suriah dengan menghalangi penggunaan lebih lanjut senjata kimia.

Namun, yang menjadi masalah di sini ialah ada pada AS sebagai penggagas intervensi di Suriah. Sebuah dokumen rahasia CIA mengungkap bagaimana AS di era pemerintahan Ronald Reagan ternyata pernah membantu pemerintahan Saddam Hussein dalam invasi Irak ke Iran pada 1980-1988. Dokumen CIA itu dipublikasikan majalah Foreign Policy (FP) edisi Senin (26/8).

Foreign Policy mengangkat isu itu terkait dengan wacana yang digulirkan AS untuk mengintervensi Suriah dengan dalih penggunaan senjata kimia. Menurut FP, Irak telah menggunakan gas mustard dan sarin pada awal 1988, untuk empat kali serangan besar. Sepanjang perang itu, setidaknya 20 ribu prajurit Iran tewas dan 100 ribu lainnya terluka akibat serangan senjata kimia yang dilakukan Irak. Bukankah serangkaian serangan gas saraf oleh Saddam Hussein itu jauh lebih mematikan daripada yang terjadi di Suriah?

Sebagai negara yang ikut meratifikasi Protokol Jenewa pada 1975, AS seharusnya menekankan untuk tidak menggunakan senjata kimia dalam perang dan setuju untuk mencegah negara lain berupaya menggunakan senjata tersebut. Namun, lucunya, jika AS dulu mendukung Irak menggunakan senjata kimia, kini justru melarang Suriah menggunakannya. Itu sama saja artinya dengan memutarbalikkan logika intervensi yang absah menjadi tidak absah dan tidak absah menjadi absah berdasarkan kepentingan AS semata. Bukankah itu sebuah paradoks? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar