Senin, 26 Agustus 2013

“Washington Post”, Riwayatmu Kini

“Washington Post”, Riwayatmu Kini
Ignatius Haryanto  ;    Peneliti Media di LSPP, Jakarta
KOMPAS, 26 Agustus 2013


Cukup mengejutkan, awal Agustus 2013 muncul pengumuman bahwa koran legendaris di AS, Washington Post, dibeli Jeff Bezos, bos Amazon.com, dengan nilai cukup fantastis, 250 juta dollar AS atau lebih kurang Rp 2,5 triliun.

Situs BBC menyebutkan, pembelian dilakukan atas kapasitas Bezos pribadi. Sebelum pembelian ini, keluarga Graham, salah satu keluarga terpandang di AS, telah memiliki koran ini selama sekitar 80 tahun. Menurut duo sejarawan pers AS, Michael Emery dan Edwin Emery (The Press and America: An Interpretive History of the Mass Media, 1988), Washington Post dibeli Eugene Meyer dari keluarga McLean pada tahun 1933. Meyer membeli The Post karena ingin di ibu kota AS ada koran yang memberikan suara berbeda dan lebih bernuansa intelektual. Pada 1946, Meyer menunjuk menantunya, Philip L Graham, memimpin The Post. Keluarga Graham memegang tampuk kepemimpinan koran ini selama 10 windu.
Katharine Graham, istri Philip, mengambil alih tampuk kepemimpinan The Post tahun 1963 menyusul tindakan tragis bunuh diri Philip. Katharine berhasil menunjukkan kualitas kepemimpinannya saat The Post berhadapan dengan dua kasus besar awal 1970-an: kasus Pentagon Papers dan kasus Watergate, yang mendorong mundurnya Richard Nixon. Nixon mundur dari kursi kepresidenan akibat liputan investigasi dua wartawan The Post: Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang menggambarkan kecurangan penyadapan terhadap kantor Partai Demokrat menjelang pemilu. Liputan ini meraih Pulitzer pada 1975.
Peralihan kepemilikan Washington Post kepada Bezos ini menambah daftar panjang penjualan sejumlah media cetak di Amerika kepada pemilik baru. Sidney Harman—pengusaha peralatan audio—yang membeli majalah Newsweek tahun 2010; Chris Hughes pendiri Facebook membeli majalah New Republic tahun 2012; dan John Henry, seorang investor hedge fund dan pemilik Boston Red Sox,
membeli koran Boston Globe Juli 2013 (sumber: BBC News Magazine). Apakah pemilik baru ini akan mengubah total isi media cetak sebelumnya? Kita harus melihat perkembangannya.
Tanda-tanda kemunduran
Sebenarnya perpindahan kepemilikan The Post sudah bisa diperkirakan sejak sejumlah koran besar di Amerika tutup ataupun beralih kepemilikan setelah krisis ekonomi di AS yang membuat jumlah pengiklan surat kabar menurun drastis. Di lain pihak, kian berkembangnya media online juga turut memperparah kondisi Washington Post.
Dave Kindred, dalam buku Morning Miracle: Inside the Washington Post: A Great Newspaper Fights for Its Life (2010), telah menunjukkan tanda-tanda koran legendaris ini menuju kematiannya. Buku ini memaparkan kejayaan masa lalu koran di wilayah timur AS ini sembari menggerutu mengapa koran sebesar ini harus takluk dengan roda sejarah yang seolah tak memihak mereka. Wartawan veteran The Post, Gene Weingarten, yang menjadi narasumber Kindred menyebutkan, ”Buku yang kamu tulis ini adalah kisah tentang sebuah surat kabar besar yang menuju kematiannya, tetapi ia mati secara terhormat.”
Donald Graham, mewakili pemilik lama The Post, awal Agustus 2013, mengatakan, mereka akhirnya rela melepaskan kepemilikan The Post sembari berharap pemilik baru akan melakukan perbaikan demi kemajuan koran itu. Graham memuji Bezos yang dianggap genius dalam bisnis media masa kini dan keahliannya sudah terbukti.
Banyak reaksi terhadap pembelian Bezos atas Washington Post. Tara Mc Kelvey dari BBC News Magazine mengatakan, Bezos tengah berjudi dengan nilai 250 juta dollar AS dan berjudi terhadap media yang dianggap kuno (old media), sementara yang sedang naik daun adalah media-media online yang dianggap sebagai media baru (new media). Sebelumnya The Post, yang juga memiliki Newsweek, telah melepas kepemilikannya tiga tahun lalu kepada Sidney Harman. Menurut Alliance for Audited Media, lembaga audit sirkulasi koran di AS, koran Washington Post adalah koran ketujuh terpopuler di AS dengan total sirkulasi 474.767 kopi per hari.
Pihak yang cukup optimistis dengan pengambilalihan ini juga tak sedikit. Banyak yang memuji langkah penjualan The Post kepada Bezos. Jim Brady, mantan Redaktur Pelaksana thewashingtonpost.com, tak menduga The Post akan dijual kepada Bezos. Sementara ia sendiri merasa eksperimen yang ia lakukan pada media online-nya tak sia-sia, ”Namun, mungkin dengan Bezos, ia akan mempercepat proses transisi dari media cetak ke media digital.” Jeff Jarvis, penulis buku Google, juga memuji tindakan Bezos yang hendak menyelamatkan salah satu institusi besar di AS. Namun, ia menyelipkan pandangannya bahwa mungkin saja Bezos tengah melakukan tindakan filantropi dengan langkah ini. Jarvis berharap masuknya Bezos akan mulus membawa The Post memasuki era pascamedia cetak.
Refleksi untuk Indonesia
Bisnis media di Indonesia saat ini belum sedramatis kondisi di AS. Pertumbuhan surat kabar di Indonesia memang melambat, tetapi pertumbuhan media lain (seperti televisi) masih berkembang meski belum sampai memaksa media tertentu gulung tikar. Memang transisi menuju media digital disadari para pengasuhnya di sana-sini, tetapi apakah betul sudah ditemukan model bisnis yang memadai untuk media online? Beberapa telah menemukan, tetapi banyak media lain yang masih kalang kabut menemukan formulanya.
Bukan tak mungkin kondisi di AS akan juga terjadi di Indonesia, entah berapa lama lagi. Tak bisa tidak, yang harus dilakukan adalah upaya menangkap esensi dari transisi menuju media digital ini. Media bentuk lama, seperti cetak, tetap ada, tetapi platform digital juga telah tersedia. Ini bukan semata soal memindahkan isi ke dalam format baru, tetapi juga terkait dengan cara bertutur atau cara menampilkan informasi yang harus juga menyesuaikan dengan kondisi baru.

Interaktivitas dengan pembaca, kedalaman informasi, tampilan visual yang menggugah, relevansi dengan kepentingan publik, dan independensi media adalah sebagian dari rumus yang perlu dirancang dan diterjemahkan secara spesifik buat media saat ini dan masa mendatang. Situasi ini tak perlu diratapi, tetapi harus dijawab dengan kerja keras untuk membuat media tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini dan masa mendatang sembari mengambil hikmah dari perkembangan yang telah lewat. Masa lalu, masa kini, dan masa mendatang memang terus saling berkaitan, termasuk bagi industri media dewasa ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar