Sabtu, 28 September 2013

Cermin Kehendak Rakyat

Cermin Kehendak Rakyat
Toeti Prahas Adhitama  ;    Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 27 September 2013


SEKALIPUN ada ungkapan banyak yang ditawarkan, pilih sesuai keinginan, bagi kalangan konstituen deret an panjang calon presiden (capres) atau calon legislatif (caleg) tidak memudahkan pilihan. Memilih di antara sekian banyak orang hebat memang tidak gampang. Apalagi setiap calon pemimpin menampilkan diri atau ditampilkan sebagai yang paling tepat. Seandainya konstituen homogen, barangkali persoalannya lebih mudah karena, paling tidak, para konstituen diasumsikan memiliki tolok ukur serupa, walaupun tak sama; tergantung sisi mana fokusnya. Ada yang fokusnya sisi spiritual, sisi nasionalisme, sisi kepandaian dan kecerdasan, atau integritas maupun kejujuran.

Bahkan ada yang mengandalkan penampilan. Unsur-unsur seperti itu yang menyebabkan banyak perusahaan public relations (PR) di negara-negara maju menjadi laku menjelang pemilu. Dengan mencermati bagaimana pasar konstituen, mereka akan merumuskan konsep kampanye yang tepat agar partainya laku. Di masyarakat yang berpolitik maju, pendidikan politik para konstituen dianggap memadai hingga mereka mampu membuat pilihan sendiri.

Kita sekarang sudah mulai ramai berbicara tentang jajaran pimpinan yang dibutuhkan masa depan. Bedanya dengan di negara maju, latar belakang pendidikan/pengetahuan politik kostituen kita belum merata, bahkan heterogen, hingga sulit mencapai hasil yang diharapkan menggambarkan kesatuan persepsi. Di samping itu, budaya baca belum juga tumbuh di negara yang sudah hampir tujuh dasawarsa merdeka ini. Lantas, dari mana sumber informasi dan inspirasi mereka, kalau bukan dari tayangan televisi? Itu pun mayoritas penonton akan memilih tayangan yang mudah dicerna dan menghibur. Bukan yang rumit dan berbelit-belit, yang dianggap mengganggu ketenangan pikiran.

Toh ada yang tidak terima ketika dikatakan, banyak di antara kita masih naif soal politik; yang menyebabkan capres dan caleg yang populer dan dermawan mungkin akan lebih mudah mendapat suara. Ini antara lain menjelaskan mengapa money politics masih marak. Elektabilitas tokohtokoh populer yang dermawan tentu lebih besar daripada yang pandai dan mengandalkan kejujuran semata, ataupun yang berintegritas, tetapi bersikap tegas kalau bukan keras.

Dalam suatu obrolan santai pernah ada komentar cerdas, “Untuk pemimpin masa depan, berhati baik saja tidak cukup. Perlu sikap tegas.“ Namun berapa banyak di antara kita menyadarinya? Partai-partai politik pun tidak merasa wajib mengurangi kalau bukan menghapuskan kenaifan itu, misalnya lewat pendidikan politik. Malahan mungkin akan banyak yang memanfaatkan kenaifan itu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Tuntutan perbaikan situasi

Tegas tidak selalu berarti keras. Seninya terletak pada bagaimana menerjemahkan konsep tegas. Misalnya, perilaku disiplin dan teratur menuntut sikap tegas pimpinan. Pembiaran akan memperkeruh keadaan. Bila kita baca situasi masyarakat akhir-akhir ini, secara realistis dan pragmatis kita tahu bahwa kerusuhan, kekerasan, dan keresahan sosial yang ada tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Itu bila kita mengangankan terwujudnya Indonesia yang kita cita-citakan. Pemilu 2014 memberi kesempatan untuk memperbaiki situasi dengan memilih jajaran pemimpin baru yang mumpuni. Yang menyedihkan, benih-benih kekacauan sosial ini justru sering dibangkitkan orang-orang yang diharapkan memimpin dan memberi teladan.

Banyak sinyalemen bahwa kita belum siap berdemokrasi. Apakah partai-partai politik sebagai pilar-pilar demokrasi merasa perlu memberikan pendidikan integritas kepada kader-kadernya, mengingat bahwa salah memilih pemimpin dilakukan di manamana? Materialisme dan pragmatisme telah menggerogoti. Wajar timbul kecurigaan terhadap partai-partai politik yang, notabene, melahirkan pemimpin-pemimpin politik. Maka ketika terjadi demo atau tawuran dalam berbagai bentuk, kita cepat curiga; apakah pesertanya murni atau sudah bermental bayaran?

Situasi ideal

Idealnya, sebelum Pemilu 2014, kekisruhan sosial-politik ini sudah bisa diatasi, walaupun belum sesempurna yang kita kehendaki. Mungkin itu pula yang digagas Abraham Samad ketika mengatakan kasus korupsi Bank Century akan selesai sebelum akhir 2012. Dia mengatakannya ketika baru diangkat menjadi ketua KPK, Desember 2011. Bahwa lebih dari satu tahun kemudian kasus itu belum juga tuntas membuktikan, bila kasusnya ada kaitannya dengan pusat-pusat kekuasaan ternyata penyelesaiannya memakan waktu sangat lama. Diperlukan beberapa hari untuk memvonis pencuri ayam. Kasus pencurian uang rakyat triliunan rupiah memerlukan bertahun-tahun, malahan mungkin prosesnya akan membeku sebelum mencapai titik akhir. DPR yang dinyatakan mewakili rakyat pun tampak tidak berdaya. Di DPR kedaulatan rakyat telah terbelenggu.

Kelirukah kalau dalam pemilu nanti ada kelompok-kelompok yang memutuskan menjadi golongan putih (golput)? Yang memiliki potensi menjadi golput tentunya yang mengerti situasi dan memegang prinsip tidak mau membohongi diri; selain mereka yang mulai kehilangan rasa percaya pada sistem politik yang ada. Kalangan intelektual muda cenderung bersikap demikian.

Jumlahnya memang kalah dibandingkan dengan kalangan politisi yang meyakini bahwa pemilu menjadi tuntutan demokrasi yang harus dibela dan dipertahankan. Selain itu, ada orang-orang yang tidak berkecimpung dalam pergaulan politik tetapi masih bersedia mengikuti arus karena tidak terlalu peduli siapa yang akan menang; asalkan kepentingan mereka terlindungi.


Kesimpulannya, kalau dalam Pemilu 2014 jumlah golput meningkat pesat, atau kita salah memilih pemimpin, tentu bukan semata-mata para calon pemimpin yang salah. Sebagian besar kesalahan terletak pada para pemilih sendiri. Para pemimpin hanya menjawab kehendak masyarakatnya. Bagaimana masyarakat, begitulah para pemimpinnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar