Jumat, 27 September 2013

Demoralisasi Pendidikan Lewat UN

Demoralisasi Pendidikan Lewat UN
Saeful Millah  ;   Alumnus Sekolah Pascasarjana (S3) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
KORAN SINDO, 26 September 2013


Meskipun mekanisme penyelenggaraan ujian nasional (UN) setiap tahunnya sudah diatur demikian ketatnya, mulai pendistribusian soal hingga pengamanan hasilnya yang melibatkan aparat kepolisian, pelibatan perguruan tinggi untuk menjamin independensi pengawasannya sampai pada pembuatan 20 paket soal berbeda untuk menghindari siswa bisa mencontek kepada teman di sebelahnya, selalu saja ada cara cerdik yang bisa ditempuh anak maupun sekolah untuk mengakalinya. 

Hasil survei terkini yang dilakukan Ifa H Misbach, psikolog dari Universitas Pendidikan Indonesia, yang disampaikan pada Konvensi Rakyat Menolak UN di Jakarta belum lama ini, sebuah konvensi UN tandingan yang diselenggarakan beberapa komunitas pendidikan mengungkap bahwa mayoritas responden yang diteliti (597 mantan siswa yang pernah ikut UN) mengaku pernah menyaksikan dan terlibat dalam praktik curang UN. Bahkan, karena begitu besar tekanan psikologis yang diterimanya, siswa yang tidak mencontek pun cenderung membiarkannya. 

Berlangsung sistemik 

Itu semua sangat dimungkinkan karena fungsi UN yang sejatinya dijadikan instrumen dalam rangka mengevaluasi sekaligus memetakan mutu pendidikan (assessment), di samping instrumen dalam rangka mengukur kemampuan akademik siswa (examination), dalam praktiknya saat ini telah bergeser menjadi instrumen dalam rangka memelihara citra dan pencapaian tujuan yang tidak ada sama sekali kaitannya dengan urusan pendidikan, bahkan justru sangat merusak tujuan luhur pendidikan. 

Di situlah praktik demoralisasi pendidikan terjadi. Bagi peserta didik yang tidak siap, misalnya, praktik kotor bernama kecurangan yang sangat merusak moral itu adalah satu-satunya pilihan untuk menghindarkan perasaan malu dan aib di mata teman-teman sekolah dan tetangganya. 

Bagi para guru yang belum bisa menjalankan tugasnya dengan baik, praktik curang itu terpaksa harus dilakukan sekadar untuk menutupi kekurangan dan kelemahannya dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Bahkan, bagi mereka pada umumnya, praktik tidak jujur yang sangat mencederai aspek moral itu juga tak jarang dilakukan hanya karena kemerdekaannya sebagai seorang pendidik terampas oleh banyak kepentingan di luar kepentingan pendidikan. 

Ironisnya, yang merampas kemerdekaannya itu tak jarang adalah kepala sekolahnya sendiri. Pasalnya, bagi kepala sekolah, angka kelulusan itu sangat diniscayakan dalam rangka memenuhi target kelulusan yang dibebankan atasannya, di samping dalam rangka memelihara dan menumbuhkan kepercayaan para calon orang tua yang akan menyekolahkan anaknya. 

Demikian seterusnya sampai pada para pihak yang ada pada jenjang di atasnya. Itulah yang telah menjadikan praktik curang dalam UN itu menjadi begitu sistemik. Bagi pejabat di lingkungan dinas pendidikan, angka kelulusan dalam UN itu menjadi sebuah harga mati karena dengan itu bisa jadi jabatan mereka merasa dipertaruhkan. 

Bahkan, praktik curang kian sulit dihindari karena keberhasilan UN bagi seorang kepala daerah adalah sebuah prestise yang tidak sedikit sumbangannya dalam rangka mempertahankan dan melanjutkan kekuasaannya. Dengan ilustrasi itu, saya ingin menegaskan bahwa praktik tidak terpuji bernama kecurangan itu menjadi sulit untuk dihindari (unevitable) karena masing-masing pihak punya kepentingan untuk melakukannya. 

Sekali lagi, bukan kepentingan pendidikan, melainkan kepentingan yang justru merusak misi luhur pendidikan. Itulah yang telah membuat praktik demoralisasi pendidikan lewat UN ini juga semakin sulit dihindari. 

Serahkan kepada guru 

Itu sebabnya jalan terbaik yang mesti ditempuh pemerintah untuk menghentikan praktik kotor yang setiap tahun terus berulang itu bukanlah dengan cara memperketat mekanisme penyelenggaraannya, termasuk dengan cara menambah lebih banyak variasi soal yang ternyata telah menambah kacau jalannya penyelenggaraan UN tahun ini, melainkan dengan cara menghapus pelaksanaan UN itu sendiri. 

Sikap ngototpemerintah untuk tetap mempertahankannya seperti yang ditunjukkan selama ini akan sama artinya dengan sikap membiarkan ketidakjujuran itu terus-menerus berlangsung menjadi tontonan telanjang yang justru diperlihatkan dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan, sikap ngotot pemerintah untuk mempertahankan UN ini juga bisa sama artinya dengan membiarkan sikap ambivalen dan inkonsistensi dunia pendidikan kita dalam membangun karakter generasi penerus bangsa ini. 

Di kelas pada satu sisi para guru sangat mengecam ketidakjujuran. Namun, melalui UN pada sisi yang lainnya, sikap tidak jujur itu seolah dihalalkan. Padahal, bangsa ini akan hancur karena ketidakjujuran para pemimpin dan rakyatnya. Sebagai penggantinya, serahkan saja keputusan untuk menentukan angka kelulusan itu sepenuhnya kepada guru atau sekolah. 

Toh, mereka itu bukan pemerintah yang sesungguhnya lebih tahu tentang kondisi apa saja terkait peserta didiknya. Jangan lupa, para guru itulah pula, bukan yang lainnya, yang sesungguhnya punya hak untuk melakukan evaluasi. Melalui pilihan itu, hak untuk melakukan evaluasi yang saat ini diambil alih negara bisa dikembalikan kepada guru atau sekolah. 

Melalui pilihan itu pula, guru bisa diberikan kewenangan untuk menentukan kelulusan peserta didiknya tidak melulu berdasarkan nilai murni hasil ujiannya, tetapi juga berdasarkan sikap dan perilaku sehari- harinya, berdasarkan akhlak atau karakter baiknya. Yang paling penting lagi, melalui pilihan itu, guru bisa dibebaskan dari segala bentuk tekanan dan kepentingan di luar kepentingan pendidikan dan karenanya diberdayakan. 

Kalaupun memang ada keraguan bahwa guru atau sekolah tidak akan objektif dalam menentukan angka kelulusannya, serahkan pula penilaian itu kepada masyarakat atau lembaga lain yang akan menggunakannya. Memang ada sesuatu yang harus dikorbankan ketika pilihan itu diambil karena pemerintah akan kehilangan sumber informasi yang sangat diperlukan dalam rangka standardisasi sekaligus pemetaan mutu hasil pendidikan.

 Namun, sumber informasi itu bisa diperoleh melalui metode lain tanpa harus ada UN yang mudaratnya ternyata jauh lebih besar ketimbang manfaatnya. Wallahu a’lam bi shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar