Sabtu, 28 September 2013

Haji sebagai Instrumen Perubahan

Haji sebagai Instrumen Perubahan
Fathorrahman  ;    Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 27 September 2013


PADA abad XVIII-XIX, pemerintah Hindia Belanda pernah mengeluarkan pernyataan larangan bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Karena secara kultural ibadah haji menjadi alat transformasi kesadaran yang berpengaruh terhadap relasi sosial-keagamaan dalam kehidupan masyarakat. Namun, atas saran Snouck Horgronje, larangan tersebut hanya dibatasi kepada kelompok menengah ke atas yang secara struktural memiliki peran pengubah masyarakat melalui pengetahuan dan kekuatannya. (Shaleh Putuhena: 2007).

Gambaran di atas menjadi dokumen sejarah bahwa haji menjadi salah satu instrumen penting yang mampu menciptakan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, haji menjadi strategi kebudayaan yang mampu menggerakkan semangat perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah Hindia Belanda yang menyengsarakan masyarakat Nusantara. Lalu, bagaimanakah dengan realitas haji yang hadir dalam suasana saat ini yang berbagai fenomena despotiknya tak kalah genting dengan suasana pemerintahan Hindia Belanda?

Pertanyaan ini patut dijadikan evaluasi agar haji yang menjadi penyempurna rukun Islam yang kelima, tidak menjadi ibadah seremonial belaka. Namun, haji harus mempunyai semangat pembebasan sebagaimana yang pernah hadir di kalangan masyarakat muslim Nusantara di zaman Hindia Belanda.

Tanggung jawab sosial

Ibadah mahdlah, termasuk ibadah haji, merupakan ekspresi keimanan yang tidak hanya bermakna kesalehan dalam beribadah kepada Allah (theomorfis). Melainkan bermakna pula sebagai komitmen dirinya dalam bermuamalah bersama manusia (anthromorfis) dan makhluk lainnya. Baik untuk menyerukan perkara yang baik (amar makruf ) atau mencegah tindakan yang buruk (nahi mungkar). Kedua terma ini menjadi landasan transendensi kemanusiaan untuk mencapai semangat emanasi yang menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan, dan dirinya dengan orang lain secara berimbang.

Merujuk kepada pemikiran Kuntowijoyo dalam buku Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi terma amar makruf berafiliasi kepada tindakan humanisasi, dan terma nahy munkar berafiliasi kepada liberasi. Keduanya menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi untuk menegakkan nilai-nilai keagamaan dan prinsip tanggung jawab sosial sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Maka, haji yang setiap tahun marak dilaksanakan umat Islam, bahkan untuk menun aikannya disertai dengan antrean panjang hingga puluhan tahun, semestinya menjadi instrumen perubahan secara partisipatoris dalam proses pemberdayaan masyara kat. Sebab, haji merupakan ibadah perjuangan dan pengorbanan yang menempa setiap ummat Islam dengan berbagai rukun yang sangat meletihkan. Bahkan, haji menjadi ibadah yang mampu menundukkan egoisme setiap individu di tengah pesatnya gaya hidup yang materialistis dan hedonistik. Mereka akan pasrah mengeluarkan jutaan rupiah untuk bisa menunaikan ibadah haji, meskipun secara fisik dan psikis sering kali terbentur dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Keberanian untuk menunaikan haji yang harus ditempuh dengan segala macam risiko material maupun immaterial, sejatinya dapat ditransformasi ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setidaknya, semangat perjuangan dan pengorbanan yang banyak ditumpahkan di Madinah dan Mekah dapat dimanifestasikan pula ke dalam proses-proses sosial pascahaji. Sehingga, haji memiliki visi dan misi penegakan ajaran Islam yang tidak hanya menyem purnakan rukun kelima, melainkan memaksimal kan peran tanggung jawab umat Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang masih dise aki berbagai per masalahan sosial-kea gamaan.

Peran serta yang patut dilaksanakan jemaah haji sepulangnya dari Tanah Suci, bisa dimulai dari tata cara amar makruf yang berciri humanitarian yang diteladani Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad yang sudah dihayati selama di Madinah dan Mekah. Jemaah haji tentunya bisa merekam setiap jejak historis para nabi tersebut melalui situs sejarah yang mendeskripsikan semangat perjuangan dalam menegakkan ajaran agama. Bahkan, tata cara nahi mungkar yang berciri liberatif dari kemaksiatan individual dan kemaksiatan sosial, perlu dijadikan sebagai bahan refleksi dan aksi yang penuh keadaban. Sehingga, ibadah haji betul-betul menjadi penyempurna kedirian seorang muslim yang tidak hanya berhenti pada level rukun Islam an sich, namun mampu mengontesktualisasikan nilai-nilai keislaman yang samhah dan hanifiyah dalam kehidupan sosial.

Recharge energi sosial

Berdasarkan penelitian kecil-kecilan yang penulis lakukan di 2011, terungkap bahwa salah satu alasan umat Islam rela meluangkan kesibukan dan mengorbankan materinya untuk menunaikan haji maupun umrah, ialah untuk mengisi ulang (recharge) energi keberagamaannya. Supaya, dalam menjalankan hidupnya pada kurun waktu berikutnya bisa bergerak lebih semangat, tulus, dan penuh kepasrahan. Dengan demikian, setiap tugas dan pekerjaan yang akan dilakukan memberikan kekuatan lahiriah dan bathiniah yang tenang.

Asumsi itu menyiratkan bahwa haji, yang secara esensial sama dengan ibadah mahdlah lainnya, secara spiritual memiliki persepsi yang beragam. Hal ini didasarkan kepada pengalaman masingmasing individu, yang secara subjektif, punya cara pemahaman dan penjelasan tentang bagaimana menjalani hidupnya setelah menunaikan haji maupun umrah. Meskipun, secara objektif sangat sulit untuk mengukur bagaimana korelasi antara haji dan kebangkitan cara kerja yang terbarukan.

Namun, bila haji memang dapat diyakini sebagai sarana ibadah yang bisa mengisi ulang energi baru, patut kiranya bila energi yang sudah berisi tersebut ditransformasi kepada tindakan-tindakan sosial yang tepat guna. Tujuannya agar haji mampu berperan serta sebagai salah satu agen perubahan secara kolektif, karena tren yang berkembang saat ini justru sebaliknya. Tren kini haji hanya dirayakan sebagai seremonial ibadah yang bersifat individualistik, dan pelaksananya seolah tidak mau tahu kondisi yang sedang menimpa lingkungan sekitarnya.

Salah satu problem krusial yang kini masih menunjukkan titik nadir adalah problem kemiskinan. Maka, seseorang yang sudah pulang haji atau umrah yang merasa memiliki energi baru harus menggerakkan energinya kepada tindakan amar makruf, yaitu dengan cara memberikan teladan bagaimana cara membantu mereka yang proaktif dan berkelanjutan, serta tindakan nahi mungkar, yaitu dengan cara membebaskan mereka dari jebakan ketidakberdayaan—meminjam istilah Robert Chambers—yang disebabkan multifaktor, baik secara kultural maupun struktural.


Dengan demikian, haji yang dahulu pernah menjadi instrumen perubahan masyarakat melalui pengetahuan dan kekuatan—yang sudah terbarukan—dan menjadi transformasi kesadaran kehidupan bersosial yang luhur, akan bisa menginspirasi jemaah haji yang kini sedang khusyuk menjalankan ibadahnya di Tanah Suci. Sehingga, ketika mereka pulang ke Tanah Air menjadi kelompok penggerak keagamaan yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial yang luhur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar