Rabu, 11 September 2013

Jokowi dan Sihir Berjamaah Media

Jokowi dan Sihir Berjamaah Media
Wahyu Kuncoro SN  ;    Dosen Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya
JAWA POS, 11 September 2013


RAPAT Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP baru saja usai. Momentum yang diharapkan jadi ajang pendeklarasian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) ternyata tidak terjadi. Ketua Umum DPP PDIP Megawati dalam pidato politik saat rakernas justru meminta para kader lebih berkonsentrasi mendulang suara dalam pemilu legislatif (pileg) agar PDIP bisa mengusung kader sendiri (Jawa Pos, 9/9).

Meski demikian, Megawati sudah memberi panggung di rakernas. Megawati memberi peran kepada Jokowi untuk membacakan Dedication of Life-nya Soekarno. Selain itu, Megawati menyebut nama Jokowi dalam pidato politiknya. 

Wajar bila Megawati ingin mengambil untung dari popularitas Jokowi. Megawati tidak ingin dukungan yang besar terhadap Jokowi tidak memiliki imbas signifikan ke PDIP. Sejumlah survei mengajarkan bahwa popularitas dan elektabilitas figur tertentu tidak selalu linier dengan dukungan terhadap partai asal figur tersebut. Menurut survei LIPI, rakyat ternyata lebih melirik figur potensial daripada partai politik pada Pemilu 2014. Hal itu tecermin dari hasil survei bahwa enam di antara sepuluh reponden akan memilih caleg daripada parpol. 

Ada pergeseran jika dibandingkan dengan pengalaman Pemilu 2009. Selain itu, survei menunjukkan, sebanyak 58 persen responden memilih berdasar potensi calon anggota legislatif jika pemilu legislatif diadakan saat ini. Adapun yang memilih berdasar parpol ialah 30 persen dan yang menyatakan tidak memilih 12 persen (Jawa Pos, 27/6). 

Realitas tersebut tampaknya dipahami para elite PDIP sehingga mereka memutuskan untuk tidak begitu saja melepas nama Jokowi ke pasaran agar bisa mengambil untung dari popularitas Jokowi. Memang, meski orang mendukung Jokowi sebagai capres, belum tentu dia akan nyoblos caleg dari PDIP. Nah, bila itu yang terjadi, PDIP tidak lagi menjadi pemegang "saham" terbesar dalam mendukung pencapresan Jokowi. 

Membuka Mata 

Menguatnya harapan mencapreskan Jokowi sesungguhnya juga menimbulkan dilema bagi penggemar Jokowi sendiri. Sebab, sebagian pendukung Jokowi berpandangan bahwa sebaiknya dia harus menyelesaikan tugasnya memimpin Jakarta. Memimpin Jakarta sesungguhnya bisa menjadi ujian bagi Jokowi sebelum nanti menjadi presiden. Namun, sebagian lain berpandangan bahwa inilah momentum Jokowi untuk menuju pemimpin nasional. Meski belum genap dua tahun memimpin Jakarta, komitmen dan kesungguhan Jokowi dalam membangun wilayahnya dianggap sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Jokowi layak diusung menjadi presiden. 

Menguatnya demam terhadap sosok Jokowi pada level tertentu sesungguhnya juga akibat peran media yang terlalu lebay (berlebihan) dalam mengekspos sepak terjang Jokowi. Artinya, media utamanya, media massa, punya "khilaf" dalam mengarahkan opini publik untuk mengelu-elukan sosok dan sepak terjang Jokowi. Terlepas dari realitas bahwa sosok Jokowi adalah sosok yang tengah digandrungi publik saat ini, publikasi media yang berlebihan dalam mengekspos Jokowi, bisa berarti media mempersempit peluang munculnya figur lain yang bisa jadi lebih baik daripada Jokowi.

Memang dalam konteks nilai berita (news value), tidak dimungkiri bahwa sosok Jokowi merupakan objek berita yang seksi. Seperti berjamaah, media dengan senang hati meliput apa pun yang dilakukan dan dikerjakan Jokowi. Bahkan, "membela" bila Jokowi dikritik. Itu klop dengan bisnis media, yakni media akan memberitakan hal-hal yang diinginkan para pembaca dan pendengar/pemirsanya. 

Namun pertanyaannya, apakah media tidak punya jiwa lain, selain hanya bekerja memenuhi "hukum pasar" seperti itu? Apalagi, media memiliki peran luhur sebagai pilar keempat demokrasi. Lantaran itu, media sepatutnya juga harus memiliki agenda setting untuk ikut serta berkontribusi dalam melahirkan tokoh dan figur baru selain Jokowi. Media juga harus kreatif serta mencari dan menemukan figur alternatif. 

Bangsa ini perlu diajak menyadari bahwa banyak figur lain yang muda dan progresif yang layak dimunculkan untuk memimpin bangsa ini. Bangsa besar ini tentu tidak boleh kalau hanya bergantung pada sosok Jokowi. Karena itu, media sejatinya juga harus bisa memberi kontribusi dalam menemukan figur-figur pemimpin bangsa yang layak "jual". 

Hampir mustahil kalau bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya mempunyai Jokowi yang dianggap bisa menyelesaikan masalah bangsa ini.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar