Sabtu, 28 September 2013

Kebijakan Transportasi Murah dan Mobil Murah

Kebijakan Transportasi Murah dan Mobil Murah
Danang Parikesit  ;    Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia
MEDIA INDONESIA, 27 September 2013


BELAKANGAN ini kita disuguhi pemberitaan menarik soal LCGC (low cost green car). Tidak saja persoalan substantif yang mengemuka, tetapi juga masalah perbedaan pandangan antara Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Perindustrian MS Hidayat, sehingga isunya berkembang dari masalah kebijakan publik ke diskursus politik. Beberapa menteri lain ikut juga memberikan pendapat, termasuk Menko Perekonomian dan bahkan Wakil Presiden yang berusaha `menenangkan' Jokowi.

Selasa (24/9), saya mengunjungi lokasi pameran IIMS 2013 di Kemayoran memenuhi undangan mantan Wapres Jusuf Kalla untuk berdialog masalah LCGC. Saat bertemu seorang anggota satpam saya sempat bertanya, apakah berminat membeli mobil murah yang ditawarkan di pameran. Dia menjawab, “Belum mampu, Pak!“. Sebelumnya, saya membaca dua berita menarik di media. Satu berita daerah memuat pernyataan perwakilan diler salah satu pemegang merek bahwa pemerintah memberikan subsidi Rp30 juta kepada pembeli mobil murah. Satu lagi berita nasional yang memuat pernyataan pejabat tinggi pemerintah yang menyatakan dampak LCGC terhadap impor BBM masih harus dilihat.

Subsidi besar

Informasi di atas akan menjadi lengkap apabila ditambahkan dengan beberapa telaah berikut. Pertama, apabila asumsi jumlah yang bisa diproduksi per tahunnya adalah 30 ribu mobil, kita dapat perkirakan bahwa besarnya insentif pemerintah yang diberikan kepada pembeli mobil murah akan mendekati Rp1 triliun. Perhitungan ini bisa bertambah lebih besar apabila kita melihat angka pemesanan mobil yang oversubscribed. Di wilayah DIY misalnya, sebuah ATPM sampai hari ini telah mengalami pemesanan lebih dari delapan kali dari kuota kendaraan kantor pusat. Insentif yang demikian besar berarti juga kehilangan pendapatan pemerintah bagi programprogram pembangunan program pembangun yang sangat berarti Insentif pada harga penjualan juga kurang tepat diterapkan. Apabila pemerintah bermaksud mendorong industri otomotif nasional, sebaiknya insentif ini diberikan ke industri hulu dan dengan demikian nilai tambah pada sisi hilirnya (downstream industry) bisa dikenai pajak untuk pendapatan negara. Bukankah mobil-mobil yang dihasilkan negara-negara lain dan dijual di Indonesia tidak memperoleh insentif harga jual dari negara mereka?

Kedua, asumsi bahwa pengguna mobil ber-cc besar akan menggantikan kendaraan mereka dengan LCGC juga perlu ditelaah lebih mendalam. Pemerintah menganggap bahwa perubahan dari mobil yang berkonsumsi BBM tinggi (10 km/1) akan mendapat penghematan dari pengurangan konsumsi BBM. Pemesan LCGC yang merupakan first car buyer adalah pemilik dan pengguna sepeda motor yang memiliki konsumsi BBM sebesar 40 km/l. Sementara itu, pembeli lain pada umumnya adalah mereka yang telah memiliki mobil dan bermaksud membeli mobil kedua, ketiga, dan seterusnya. Secara nasional, diperkirakan konsumsi BBM akan meningkat di luar pertumbuhan normalnya.
Analisis awal yang dilakukan memperlihatkan bahwa kenaikan ini bisa mencapai 1 juta liter per hari. Dilemanya ialah apabila tambahan kebutuhan ini diwajibkan dipenuhi dari BBM nonsubsidi, pasokan BBM nonsubsidi ke daerah-daerah masih menjadi persoalan. Apabila pembeli menggunakan BBM bersubsidi, akan terjadi kenaikan subsidi BBM yang tentu akan semakin memberatkan APBN kita.
Sebuah ironi apabila pemerintah didukung partai penguasa bersusah payah mendorong pengurangan subsidi BBM pada Juni 2013.

Ketiga, bahwa penambahan mobil pribadi yang dibiayai setiap pemilik akan membawa implikasi beban anggaran daerah yang lebih besar. Pemerintah daerah harus menyediakan infrastruktur, membangun, dan merawat jalan lebih banyak, menyediakan fasilitas parkir on-street yang tentu akan membebani publik. Anggaran daerah yang telah tertekan biaya pegawai akan semakin sulit dialokasikan untuk infrastrukur yang dibutuhkan.

Diskriminasi

Keempat, program mobil murah yang diproduksi di dalam negeri dan diberi insentif besar sungguh menimbulkan iri hati bagi pengguna angkutan umum yang hingga hari ini belum mendapat layanan yang nyaman dan terjangkau.
Program bis nasional yang murah dan dapat dibeli pengusaha dengan uang muka rendah atau bebas uang akan menjadi penyejuk bagi masyarakat ekonomi lemah. Mereka berhak mendapatkan perhatian negara dan pemerintah. Program low cost green bus akan memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pengusaha angkutan. Dengan demikian, masyarakat memiliki pilihan yang setara dan paling baik bagi mereka, apakah menggunakan angkutan umum yang nyaman dan terjangkau ataukah menggunakan kendaraan pribadi pada jaringan jalan yang bertambah macet. Sesungguhnya apabila lebih banyak orang menggunakan angkutan umum, pengguna kendaraan pribadi juga akan diuntungkan karena jaringan jalan berkurang kemacetannya.

Kelima, kebijakan transportasi tidak lepas dari kebijakan harga BBM. Vietnam yang hari ini membangun 3 jalur MRT sekaligus memiliki harga BBM sebesar Rp11 ribu. Negara-negara maju mendorong penggunaan angkutan umum dengan mengenakan konsep polluter's pay principle. Kalau dibuat analogi secara luas, “Siapa yang menggunakan sumber daya (ruang, energi) dan menghasilkan polusi lebih banyak, dia harus membayar lebih besar pula“.

Sayangnya prinsip ini tidak menjadi bagian dari kebijakan transport pricing di Indonesia. Mobil pribadi yang lebih boros ruang dan energi dibandingkan dengan kendaraan umum seharusnya dikenakan biaya penggunaan jalan yang lebih mahal. Konsep inilah yang mendasari implementasi ERP (electronic road pricing) di Singapura ataupun congestion charging di London, Inggris.


Jelaslah bahwa kebijakan LCGC ini bukanlah sematamata kebijakan di sektor perindustrian semata. Apa yang diperkirakan menguntungkan di sebuah sektor bisa membawa implikasi di sektor lain yang harus diperhatikan. Memang tidak mudah untuk melakukan penilaian komprehensif dari sebuah kebijakan. Analisis yang dilakukan bisa tidak akurat ataupun belum memperhitungkan faktor eksternal yang sulit diprediksi. Namun demikian, masyarakat perlu diedukasi mengenai berbagai aspek kebijakan ini sehingga mampu menilai apakah kebijakan tersebut memang sebuah kebijakan yang tepat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi apakah kita sebaiknya protransportasi yang murah atau mobil murah? Saya memilih transportasi yang nyaman dan terjangkau masyarakat banyak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar