Jumat, 27 September 2013

Konvensi Hambar

Konvensi Hambar
Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum 
Universitas Khairun Ternate
KORAN SINDO, 26 September 2013



Langit tata negara dan politik Indonesia pada Minggu malam pukul 20.00 WIB disuguhi warna lain. Bertempat di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Partai Demokrat—partai yang digambarkan oleh berbagai kalangan bernuansa partai keluarga Cikeas—ini mengenalkan 11 peserta konvensi calon presidennya. Mereka diberi kesempatan mendemonstrasikan mimpi-mimpi indahnya. Mengagumkah ? Mungkin iya. Mengapa? Harus diakui walau bukan yang pertama karena yang pertama itu telah menjadi milik Partai Golkar sejak 2004. 

Kreasi Konstitusional 

Untuk pertama kalinya konvensi sebagai sebuah cara partai politik menemukan kandidat presiden dan wakil presiden untuk dikontestasikan dalam pemilu presiden dipraktikkan di Amerika Serikat. Tetapi sesuai asal-usulnya, pranata ini tidak dimaksudkan atau dibayangkan oleh pembentuk konstitusi. 

Dalam perdebatan mereka pada Constitutional Convention 1786 di Philadelphia, gagasan ini tidak muncul, apalagi dimaksudkan sebagai cara memperoleh kandidat presiden yang harus ditempuh oleh partai politik. James MacGregor Burns, penulis buku Government by the People, memperkirakan untuk pertama kalinya gagasan ini muncul dalam panggung tata negara dan politik Amerika pada 1808. 

Para pemimpin federalis, sebut saja “blok federalis”, tulis Burns, bertemu secara rahasia di New York membicarakan siapa yang mesti dinominasikan sebagai kandidat presiden dan wakil presiden. Kenyataannya, cara ini, konvensi, belum direalisasikan pada tahun itu. Dua puluh tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1831 ketika “blok federalis” berada di bawah kepemimpinan Andrew Jackson, barulah cara ini, konvensi, benar-benar direalisasikan. 

Konvensi ini dengan sendirinya menjadi apa yang disebut Burns sebagai the first real national convention. Menarik walau berada pada garda terdepan usaha ini, Andrew Jackson, entahkarenaderajatetikanya atauhallainyangmerintanginya, tidak ikut konvensi nasional pertama ini. Jelas, konvensi lahir, tumbuh, dan mekar bukan karena diperintahkan oleh konstitusi, melainkan karena kebutuhan politik partai politik. 

Tak mungkin cara ini tak harus dilihat sepenuhnya sebagai sebuah kreasi blok federalis, yang dalam kenyataannya menemukan blok republicanism sebagai penantang terkuat dalam peta tata negara dan politik Amerika. Sebagai sebuah terobosan, jumlah delegasi dan syarat lainnya bisa berubah-ubah. Satu hal, dan ini sangat masuk akal, karena senafas dengan mimpi besar para pencetusnya, suara para delegasilah yang supreme, memutuskan, dalam arti suara delegasi adalah penentu tertinggi siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden. 

Para delegasi, yang tidak lain adalah pemilih terbatas ini, yang per definisi adalah rakyat di negara-negara bagian, itulah yang menentukan siapa yang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden. Keputusan konvensi, yang beresensi sebagai keputusan rakyat itu, untuk alasan apa pun, tidak akan dan tidak dapat diubah dan atau berubah. Rakyat menjadi tuan dalam konvensi ini. Bagaimana dengan konvensi Partai Demokrat saat ini? 

Hambar 

Akankah suara rakyat, atau pemilih terhadap para peserta konvensi, yang direkam melalui survei sungguh menjadi tuan, persis seperti yang berlaku dalam konvensi Partai Demokrat Amerika? Itulah soal terbesar dari konvensi Partai Demokrat Indonesia. Hukum tertinggi dalam Partai Demokrat adalah anggaran dasarnya. 

Menurut anggaran dasar partai ini, urusan pilih-memilih calon presiden pemilihan presiden dan wakil presiden diletakkan sepenuhnya pada ketua majelis tinggi. Sampai peluncuran konvensi Minggu malam pada 15 September 2013 anggaran dasar ini tidak berubah sama sekali. Andai tak diubah, dan kelak ketua majelis tinggi menggunakan wewenangnya, menyodorkan orang lain di luar mereka yang menang dalam konvensi sebagai capres partai ini, tentu sulit untuk tak mengatakan konvensi ini bernilai setara dengan pepesan kosong bagi peserta konvensi. 

Memang secara hukum boleh saja ketua majelis tinggi menerima apa adanya hasil konvensi. Siapa yang memperoleh suara terbanyak dalam survei nanti dialah yang dicalonkan oleh partai ini. Tetapi, itu tak menghalangi hak ketua majelis tinggi menggunakan wewenangnya. Andai ketua majelis tinggi hendak mengabaikan hasil survei, tindakan itu sah. 

Pada titik itu konvensi yang sesungguhnya merupakan medan kontestasi pendahuluan Partai Demokrat dalam menyongsong pemilu presiden dan wakil presiden, tak mungkin tak terasa hambar. Mengundang orang non-Partai Demokrat ikut dalam konvensi ini, namun andai akhirnya penentuan siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden tetap berada di tangan ketua majelis tinggi, sungguh bukan saja mengakibatkan ajang ini hambar, melainkan lebih dari itu. 

Terlalu sulit untuk tak menyematkan kata “diperalat” oleh Partai Demokrat bagi mereka- mereka yang ikut konvensi ini. Memang tunggangmenunggang selalu dapat dijumpai dalam permainan politik. Tetapi, perkara tunggang-menunggang sejatinya merupakan perkara permainan politik kelas amatiran untuk tak mengatakan tak bermartabat alias tak bermarwah dalam berpolitik. 

Boleh jadi, soal-soal itulah yang menggoda insting intelektual dan politik Pak Jusuf Kalla, Pak Mahfud MD, dan Pak Yusril Ihza Mahendra, yang semuanya dikenal luas sebagai politisi berkelas di negeri tercinta ini, dan mencegah diri mereka terjatuh ke dalam pusaran politik konvensi ini. Ketidakjelasan hukum dalam urusan nasib hasil survei setelah kampanye sungguh, sekali lagi, merupakan masalah terbesar yang membelenggu konvensi ini. 

Tak mungkin soal ini tak masuk dalam kalkulasi mereka. Keindahan tata negara dan politik yang menyembur dari konvensi ini terlalu mahal untuk dibiarkan kusut hanya karena ketidakjelasan hukum atas hasil survei itu. Tetapi, andai segenap fungsionaris Partai Demokrat tak sanggup berkata lain, selain membungkuk pada anggaran dasar dan secara positif membenarkan ketua majelis tinggi menggunakan kewenangan yang bersumber dari anggaran dasar itu, konvensi ini tak lebih dari sekadar lucu-lucuan politik kelas tinggi yang tak mungkin tak hambar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar