Senin, 30 September 2013

Laju Pelemahan Ekonomi

 Laju Pelemahan Ekonomi
Aunur Rofiq  ;  Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan,
Pebisnis Pertambangan dan Perkebunan
REPUBLIKA, 25 September 2013


Pelemahan nilai tukar rupiah dan laju inflasi yang tinggi akhir-akhir ini telah mendorong sejumlah asumsi makro ekonomi ikut berjalan terseok-seok. Tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan inflasi tahunan akan mencapai di atas 9 persen, IMF memproyeksikan mencapai 9,5 persen, dan Bank Indonesia memperkirakan bisa menembus 7,69 persen.

Inflasi tinggi ini telah mendorong pelemahan nilai tukar rupiah. Goldman Sachs, salah satu perusahaan investasi terbesar di Amerika Serikat, memperkirakan rupiah akan kembali melemah hingga level Rp 11.800 per dolar AS pada tahun depan, jauh lebih dalam dibandingkan estimasi sebelumnya di Rp 10.500 per dolar AS. 

Bank Dunia, IMF dan Bank Indonesia juga sudah mengoreksi target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 di bawah 6 persen. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,9 persen dari sebelumnya 6,2 persen. IMF juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 menjadi sekitar 5,25 persen dari sebelumnya 6,3 persen. 

The Economist dalam edisi terbarunya menurunkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,8 persen menjadi 5,1 persen. Bank Indonesia (BI) juga kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika awalnya bank sentral ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5,8 persen-6,2 persen, maka kali ini pertumbuhan ekonomi diturunkan jadi 5,5 persen-5,9 persen.
Bagaimana dengan defisit transaksi berjalan? IMF memproyeksikan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 4,4 persen dari PDB, naik signifikan dari kuartal I sebesar 2,6 persen dari PDB. Sementara, cadangan devisa juga terus menurun dan per Agustus, menurut Bank Indonesia (BI), Indonesia memiliki cadangan devisa per akhir Agustus 2013 sekitar 92,9 miliar dolar AS atau mencapai Rp 920 triliun.
Cadangan devisa Indonesia tercatat cukup rendah ketimbang negara-negara seperti India, Thailand, dan 
Malaysia. 

Cadangan devisa India pada Mei 2013 tercatat mencapai 287,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 2.878 triliun. Kemudian, Thailand pada Juli 2013 memiliki cadangan devisa sebesar 172,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 1.722 triliun. Malaysia memiliki ca - dangan devisa hingga 137,84 miliar dolar AS atau mencapai Rp 1.378 triliun. Ca - dangan devisa kerap dikaitkan dengan stabilitas nilai tukar dan kekuatan pem- bayaran utang luar negeri.

Cadangan forexBI yang sebesar 92,9 miliar dolar AS per akhir Agustus-- turun 18 persen tahun ini menurut Bloomberg--seharusnya cukup untuk memenuhi kewajiban utang Indonesia dan menyokong rupiah. Pemerintah juga dapat meminta bantuan dari anggota ASEAN lainnya melalui sebuah sistem swap yang didirikan usai krisis 1997. Meski demikian, cadangan devisa tersebut tidak akan cukup jika tidak dipakai dengan benar.

Dilema yang dihadapi Indonesia saat ini sama seperti 16 tahun lalu. Kebijakan moneter kerap kali menjadi alat untuk mencapai dua tujuan--menstabilkan rupiah dan menyehatkan ekonomi domestik. Namun, saat krisis kepercayaan tiba dan menimbulkan konflik, BI harus memprioritaskan kestabilan rupiah jika tidak ingin sepenuhnya gagal. Dengan kata lain, jika BI mengikuti saran standar IMF dan membiarkan rupiah terus meroket, tidak ada yang tahu seberapa besar kejatuhannya. Depresiasi mata uang adalah pilihan utama IMF untuk menghentikan krisis keseimbangan neraca pembayaran. Teorinya, fenomena ini akan mempermurah ekspor dan mempermahal impor.

Situasi saat ini berbeda dengan krisis tahun 1998 lalu. Saat itu inflasi menyentuh 60 persen dan nilai tukar rupiah turun tajam. Hingga menyentuh 17 ribu per dollar AS dan otoritas moneter juga menerapkan suku bunga tinggi. Kini, pasar sekali lagi mengalami guncangan dan apakah kebijakan moneter dapat melewati badai ini dengan aman atau harus lagi-lagi menghadapi krisis. Bank Indonesia pada Kamis (12/9) lalu kembali memutuskan menaikkan suku bunga acuan, BI Rate, 25 basis poin (bps) menjadi 7,25 persen. 

Ini artinya hanya dalam waktu empat bulan, suku bunga acuan Bank Indonesia melonjak 125 basis poin (bps), dari 6 persen menjadi 7,25 persen. Selain itu, BI juga menaikkan bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) sebesar seperempat poin persen menjadi 5,50 persen. Kenaikan suku bunga ini adalah cerminan komitmen BI yang difokuskan untuk pengendalian inflasi, melindungi rupiah di tengah sentimen global yang rapuh dan mengurangi defisit transaksi berjalan ke level yang masih bisa ditangani. Namun, apakah pengetatan kebijakan merupakan langkah yang tepat?

Memang, krisis 1998 lalu tampaknya tidak akan terulang. Saat itu, rupiah anjlok dan pemerintahan Soeharto harus mengemis dana talangan kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, terdapat beberapa kesamaan antara situasi 1997 dengan saat ini. Indonesia pun masih sangat rentan terhadap krisis akibat ketimpangan neraca pembayaran. Kebijakan quantitative easing yang dirilis bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, membuka arus investasi asing hingga membanjiri Indonesia. Dana ini secara perlahan mengangkat rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) kembali ke titik tertingginya pra-krisis 1997.
Laju ekspansi ini memang masih jinak ketimbang di sejumlah negara lain.
Namun, rencana The Fed yang akan mengetatkan moneternya telah pula mendorong pembalikan modal sehingga ikut mendorong penurunan nilai tukar rupiah dan pasar saham,.

Sekarang pemerintah juga dipusingkan oleh melebarnya defisit anggaran berjalan yang pada kuartal II mencapai 4,4 persen PDB. Dengan inflasi sekitar 9 persen, suku bunga riil masih negatif, yang berarti investasi masih murah--dan masih ada kemungkinan rupiah kian melemah. IMF memproyeksikan defisit transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia mencapai 4,4 persen dari PDB, naik signifikan dari kuartal I sebesar 2,6 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan yang besar adalah indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif sangat tinggi jika dibandingkan dengan ekspansi ekonomi di negara lain.

Berbagai negara telah merevisi pertumbuhan ekonomi, seperti AS, Cina, dan negara-negara Eropa yang memprediksi adanya penurunan pertumbuhan ekonomi di semester II tahun ini. Amerika Serikat mengoreksi pertumbuhan ekonominya dari 1,9 persen menjadi 1,7 persen. Sementara itu, Cina mengoreksi pertumbuhan ekonominya dari 8,1 persen menjadi 7,8 persen. Penurunan pertumbuhan perekonomian mengakibatkan mereka akan sulit menyerap ekspor nonmigas dari Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar