Minggu, 29 September 2013

Lurah Susan dan Kualitas Toleransi Umat Beragama

Lurah Susan dan Kualitas Toleransi Umat Beragama
Harry Bawono ;  Peminat Religious Archives Studies di Pusat Kajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan (Pusjibang Siskar)
DETIKNEWS, 27 September 2013


Puluhan orang yang mengaku warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan berdemo menolak Lurah Susan dengan alasan agama (detik.com, 25/09).

Lurah Susan yang dilantik sebagai Lurah Lenteng Agung baru-baru ini merupakan produk kebijakan lelang lurah dari Gubernur DKI Jakarta, Jokowi. Sedari awal pengangkatannya memang telah mengundang gelombang penentangan.

Para penentang itu secara lantang berseru dengan argumentasi agama, bahwa mereka menolak dipimpin oleh orang yang berbeda agama, kurang lebih seperti itu.

Tulisan dengan mengambil contoh kasus Lurah Susan ini ingin menunjukkan bahwa kasus penolakan Lurah Susan dengan dalih berbeda agama dengan mayoritas warganya merupakan cermin absurdnya toleransi umat beragama di Indonesia.

Absurdnya toleransi umat beragama ini berakar pada dua aspek, masalah struktural dan masalah sosio-kultural.

Masalah Toleransi Agama: Catatan Statistik dan Kasus Empirik

Dalam sebuah survei mengenai toleransi agama di Indonesia yang dilakukan oleh lembaga Center of Strategic and International Studies (CSIS) tergambar rendahnya toleransi beragama orang Indonesia.
Philip Vermonte, Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, mengatakan bahwa, "Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman", sebagaimana dilansir oleh tempo.co.id (05/06/12).

Penelitian yang dilakukan pada Februari 2012 ini, dilakukan di 23 Provinsi dengan melibatkan 2.213 responden. Dalam penelitian ini salah satunya mengungkapkan bahwa sebanyak 68,2 persen responden keberatan dengan adanya pembangun rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.

Menurut Philip Vermonte, realitas statistik itu menunjukkan betapa kontradiktifnya masyarakat yang mengaku demokratis tapi tidak dapat mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan menghargai perbedaan.

Dari uraian catatan statistik ini, coba kita simak beberapa contoh kasus empirik mengenai penolakan pendirian ibadah. Kasus yang terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 2011 ini berkutat pada penolakan atas pendirian Mesjid.

Menurut Walikota Kupang, Daniel Adoe, penghentian dilakukan karena adanya penolakan dari warga Batuplat (tempo.co.id 10/08/11). Kasus lain yang patut diketengahkan juga adalah mengenai penolakan pendirian gereja di daerah Kranggan, Jatisampurna, Bekasi.

Para pendemo yang menolak pembangunan gereja ini pun sempat rusuh karena memaksa masuk ke dalam kantor Walikota (dakta.com 03/03/13).

Bertolak dari catatan statistik dan uraian kasus empirik di dalam negeri, mari meloncat pada suatu kondisi yang terjadi di negara nun jauh di sana yang sedang santer di dera isu sentimen negatif terhadap penganut Islam paska serangan 11 September, Amerika Serikat.
Paska serangan 11 September isu rasis yang mengambil rupa agama mencuat hebat di Amerika Serikat, yang menjadi sasaran kali ini adalah penganut Islam. Kebencian terhadap Islam meluas, penganut Islam yang tidak tahu apa-apa menjadi korban dari sikap benci penuh stereotip tanpa dasar ini.

Dengan munculnya kasus ini ada hal yang menarik yakni sebuah stasiun televisi, ABC, membuat sebuah program televisi bertajuk "what would you do?".

Program televisi dengan kamera tersembunyi ini melakukan eksperimen mengenai isu rasisme terhadap agama. Pihak program membuat suatu situasi yang tidak diketahui pihak lain.

Situasinya adalah kasir di satu sisi & pembeli rasis di sisi lain merupakan pihak dari program televisi yang sengaja dijadikan sebagai pemicu kasus. Sementara pihak lain kebetulan salah satunya adalah seorang prajurit, tidak mengetahui sama sekali kegiatan eksperimen ini.

Program televisi ini ingin mengungkap respon spontan pihak lain ketika tengah berada pada suatu situasi dilematis dimana ada satu pihak yang bertindak rasis terhadap pihak lain.

Dari sini terungkap bagaimana seorang prajurit Amerika Serikat menghardik seorang pembeli yang rasis terhadap kasir sebuah supermarket. Pembeli tersebut menolak dilayani hanya karena sang kasir beragama islam.

Sang prajurit lantas menghardik pembeli rasis itu dengan mengatakan, "kita hidup di Amerika, setiap orang dengan keimanan apa saja berhak hidup di Amerika". (lihat http://www.youtube.com/watch?v=D3di8Vw15XY).
Dengan memunculkan contoh yang kontras di atas, penulis bermaksud ingin menampilkan suatu kondisi yang layak dan kondisi yang selayaknya tidak terjadi.

Hal ini sekaligus dapat digunakan sebagai bahan refleksi bersama bahwa rasionalitas sebuah negara yang berpihak pada keragaman, secara cerdas sejatinya telah dipikir masak-masak oleh para pendiri bangsa, maka itu beliau-beliau sekalian memilih dasar negara Pancasila dan merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 yang relatif sadar pada betapa pluralnya Indonesia.

Selain itu, penting untuk ditegaskan bahwa logika penolakan terhadap seseorang atau sekelompok orang atas dasar agama adalah sama sekali irasional.

Dan menurut penulis, kondisi ideal adalah ketika setiap warga negara berlaku sebagaimana sang prajurit dalam acara "what would you do?" itu.

Membedah Persoalan: Masalah Struktural dan Sosio-kultural

Dari catatan statistik dan uraian kasus empirik diatas, kasus penolakan terhadap Lurah Susan merupakan sekedar pantulan dari suatu masalah mendasar berkaitan dengan persoalan struktural dan sosiol-kultural.

Masalah struktural terkait dengan kebijakan legal formal, sementara masalah sosio-kultural terkait dengan pola relasi antar pihak yang berbeda agama.
Masalah struktural dan sosio-kultural inilah yang menjadi basis mengapa penolakan terhadap yang berbeda itu menjadi mungkin untuk tumbuh.

Masalah struktural. Masalah struktural yang mendasar adalah mengenai definisi agama versi pemerintah. Karena dengan acuan definisi inilah aturan legal lainnya mengenai kehidupan umat beragama disusun.

Dengan definisi yang timpang dan absurd, tentu saja berbuntut pada lahirnya berbagai aturan yang diskriminatif. Definisi agama versi pemerintah dibangun atas dasar tarik menarik kekuatan dalam masyarakat, yang penuh dengan kepentingan.

Dalam sejarah kehidupan beragama di Indonesia, negara dalam hal ini Departemen Agama tercatat telah dua kali mengeluarkan definisi mengenai agama, yakni pada tahun 1952 dan 1961. Pada tahun 1952 Departemen Agama mengajukan syarat minimum sebuah agama; adanya nabi, kitab suci dan juga diakui secara internasional.

Kemudian, akibat desakan dari beberapa kalangan terutama kalangan penganut aliran kepercayaan, definisi tersebut dibatalkan.

Sebagai gantinya, pada tahun 1961, definisi agama versi negara kembali mencuat dengan mengariskan bahwa agama mesti ditandai dengan kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya.

Sebagai implementasi konkrit dari definisi agama itu dikeluarkanlah PenPres 1 Tahun 1965 yang menetapkan ada 6 agama yang diakui.
Kemudian dalam UU No. 5 Tahun 1969 agama yang diakui menjadi 5: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha. Agama Konghucu dikeluarkan dari golongan agama ”resmi” dengan ditetapkanya Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tahun 1978. Baru kemudian pada era pemerintahan Gus Dur dengan diterbitkannya Kepres No. 6 tahun 2000, agama Konghucu diakui kembali sebagai "agama resmi".

Dari ini lantas definisi agama tersebut dijadikan acuan bagi pengkategorian antara agama dan bukan agama. Kata agama menjadi sedemikian sempit, hanya diperuntukan bagi ke-enam agama, sementara agama diluar itu dianggap bukan agama, agama-agama lokal misalnya.

Mereka yang tersingkir ini lantas ada yang digiring untuk mengaku beragamakan salah satu dari ke-enam agama tersebut atau dikategorikan oleh pemerintah sebagai penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sebuah kelompok yang dimaksudkan untuk tidak mendirikan agama baru, namun diarahkan untuk memilih salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. Hal ini berarti, para penganut agama diluar agama resmi merupakan pihak-pihak yang didefinisi sebagai tidak beragama.

Kebanyakan dari mereka terpaksa untuk akomodatif dengan mengaku beragama lain, misalnya, Sunda Wiwitan yang mengaku Hindu, Konghucu yang mengaku Budha. Ada juga yang tetap mempertahankan identitasnya, meskipun mengalami kesulitan dari memperoleh surat-surat kependudukan.

Masalah sosio-kultural
Merujuk pada pengamatan penulis terhadap kasus-kasus yang ada, masalah sosio-kultural yang mendasar adalah pola relasi antar pihak yang berbeda agama masih dalam bentuk relasi mayoritas-minoritas.

Merujuk pada Kinloch, relasi mayoritas-minoritas adalah jenis interaksi -baik individual, kelompok maupun institusi- yang terjadi antara kelompok yang memiliki kuasa untuk mendefinisikan kelompok atau pihak lain sebagai kelompok atau pihak yang berbeda dan inferior dengan berlandaskan pada asumsi fisik, kultural, ekonomi dan perilaku serta memperlakukan mereka sebagai pihak yang mesti di kuasai dan di diskriminasikan (Kinloch, 1979).
Dalam relasi mayoritas-minoritas, kelompok mayoritas setidaknya memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah eksploitasi dan diskriminasi, pemaksaan norma atau labeling dan mendefinisikan dirinya sebagai acuan atau panutan.

Dari karakteristik dasar tersebut secara garis besar, kelompok mayoritas dapat didefinisikan sebaga i sebuah kelompok yang memiliki kuasa dengan mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai kelompok yang normal dan superior, sementara kelompok (pihak) lain dipandang sebagai kelompok yang abnormal dan inferior.

Pendiskriminasian dan eksploitasi terhadap kelompok (pihak) lain lantas dianggap sebagai bentuk konsekuensi untuk melawan kelompok (pihak) lain itu.

Sementara, kelompok minoritas diposisikan sebagai sekelompok orang yang merasa atau didefenisikan oleh pihak mayoritas sebagai yang berbeda dan atau inferior dengan berlandaskan pada asumsi fisik, kultur, ekonomi, dan atau karakteristik perilaku, tereksploitasi sekaligus terdiskriminasi.

Dari ilustrasi terlihat jelas bagaimana relasi yang ada bersifat asimetrik. Pihak yang merasa mayoritas mendefinisikan pihak lain yang minoritas sebagai pihak penyimpang. Pihak mayoritas sebagai pemegang 'power' menjadi pendefinisi pihak minoritas, akhirnya acuan bagi pendefinisian mutlak bersumber dari nilai-nilai mayoritas tanpa peduli eksistensi pihak minoritas.

Sebagaimana pandangan Berger, pihak yang memegang sumber daya yang kuat akan memiliki kesempatan jauh lebih besar dalam menentukan suatu definisi tertentu (Berger & Luckman,1967).

Uraian masalah struktural dan sosio-kultural tersebut menggambarkan dengan jelas basis mengapa toleransi beragama orang Indonesia rendah, sebagaimana tercermin dalam survei CSIS.
Dan juga mengapa penolakan atas Lurah Susan kemudian muncul dengan landasan logika, agama yang dianut oleh Lurah Susan berbeda dengan agama mayoritas warganya.

Jalan Keluar

Setelah dibedah basis masalahnya, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana membenahi permasalahan yang terpampang diuraian sebelumnya sehingga kualitas toleransi umat di Indonesia membaik?

Hemat penulis harus memperhatikan dua hal, jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek adalah negara bersikap tegas sebagaimana yang dilontarkan oleh Wakil Bupati DKI Jakarta, Basuki Purnama alias Ahok, "Pokoknya prinsipnya kita, tidak mau pindahkan orang karena alasan agama. Enggak ada, ini negara Pancasila, mana ada pakai agama, mana boleh mindahin orang gara-gara agama".

Untuk jangka panjang, dapat dilakukan dengan membongkar masalah struktural dan sosio-kultural. Pembenahan masalah struktural bisa dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap segala macem aturan legal formal yang beraroma diskriminatif dan buta keragaman.

Contoh tindakan perubahan struktural adalah sebagaimana yang dilakukan oleh mendiang Gus Dur dengan mengakui kembali Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui negara. Sementara masalah sosio-kultural tidak bisa tidak dengan melibatkan segenap elemen institusi masyarakat, pendidikan salah satunya.

Melalui pendidikan inilah perspektif relasi mayoritas-minoritas dibongkar dan digantikan dengan perspektif yang memungkinkan keragaman diterima dan disikapi secara elegan tanpa ketakutan tak berdasar.
Hal ini bisa dilakukan dengan tidak saja mempelajari agama masing-masing sesuai kepercayaan yang dianut, tapi juga dengan memperkenalkan bahwa senyata-nyatanya terdapat realitas agama yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki logika serta nilai-nilai pegangan sendiri-sendiri.

Materi ini paling mungkin bisa masuk melalui pelajaran kewarganegaraan, cukup dengan memberikan pengenalan mengenai berbagai macam agama. Dengan mengenal agama lain, maka akan timbul saling pengertian antar satu sama lain, dari sinilah lantas kemudian muncul apresiasi sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi masing-masing pihak.

Diakhir tulisan ini penulis teringat pidato "I have a dream" yang dibawakan oleh Marthin Luther King, Jr. Pidato yang terjadi pada 28 Agustus 1963 ini salah satu petikannya berbunyi, "Saya bermimpi suatu saat nanti anak-anak saya akan hidup di sebuah bangsa dimana mereka tidak di cap atas dasar warna kulit mereka, melainkan atas dasar karakter yang mereka miliki".

Penulis juga memiliki mimpi, suatu saat nanti akan tiba masanya di Indonesia, ketika seseorang tidak lagi dilihat dari agama yang dianutnya, melainkan dilihat dari kualitas kemanusiaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar