Kamis, 12 September 2013

Pelajaran dari Kunci Mobil yang Berujung Maut

Pelajaran dari Kunci Mobil yang Berujung Maut
Fransisca Ayu Kumlasari  ;    Alumnus Fakultas Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 11 September 2013

TABRAKAN maut di jalan Tol Jagorawi (8/9) yang menewaskan enam orang masih menjadi trending topic di sejumlah media sosial saat ini. Yang membuat tragedi ini disorot luas karena pengemudi mobil penyebab kecelakaan tersebut ialah AQJ, 13, yang juga merupakan anak bungsu musikus Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Kini warga pun menunggu bagaimana kelanjutan perkara tersebut, apakah AQJ yang harus bertanggung jawab penuh, ataukah orangtuanya juga pantas untuk diganjar.

Dalam peraturan lalu lintas di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Lalu Lintas No 22 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1, disebutkan, `Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan ber motor yang dikemudikan'. Padahal, berdasarkan Pasal 81 ayat 1 dan 2, untuk mendapatkan SIM, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Dari sisi usia, untuk SIM A, C, dan D, minimal pemilik SIM harus berusia 17 tahun. Adapun B1 minimal 20 tahun dan B2 minimal 21 tahun. Dari rumusan hukum tersebut, AQJ telah terbukti melanggar hukum pidana dengan ganjaran empat bulan kurungan. Selain itu, faktor kelalaian yang telah mengakibatkan korban tewas, sesuai UU Lalu Lintas Pasal 310, dihukum enam tahun kurungan dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.

Apakah dalam kasus ini, AQJ bisa dikenai sanksi dimaksud, mengingat Pasal 32 (2) UU Sistem Peradilan Anak pun mengatur penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak b pidana dengan ancaman pip dana penjara 7 (tujuh) tahun. Kontradiktoris sanksi inilah yang masih mengundang perdebatan dalam proses hukum selanjutnya atas AQJ. Kalaupun AQJ nanti dijerat sanksi hukum kurungan, berdasarkan UU Perlindungan Anak, harus dalam konteks pendidikan dan penjeraan.

Bagaimana orangtua?

Dalam asas hukum pidana yang berlaku di negara kita, ada dua sistem konvensional sanksi yang dipergunakan yakni sanksi pidana (straft, punishment) yang menimbulkan efek sakit/penderitaan dan pemberian tata tertib (maatregel, treatment) dengan tujuan untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran hukum bagi anak. Dua sanksi tersebut untuk golongan anak memang tidak bersifat kausalismepunitif, namun paling tidak pengenaan sanksi tersebut bisa memberikan impresi hukum dan keadilan, agar kasus-kasus serupa yang merugikan pihak lain tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari.

Jika mengacu pada teori kausalitas, Ahmad Dhani dianggap perlu juga dimintai pertanggungjawabannya secara hukum menurut UU Pidana dan UU Lalu Lintas karena dengan lalai memberikan izin kepada AQJ yang baru berusia 13 tahun untuk mengendarai mobil. Padahal anak di bawah umur kurang mampu mengontrol emosi diri. Itu sebabnya surat izin mengemudi (SIM) hanya bisa diperoleh setelah berusia 17 tahun ke atas.

Secara perdata, kita menaruh respek dengan kesiapan Ahmad Dhani untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak korban sampai tingkat yang mereka mau, dan bersedia pula untuk menampung para keluarga korban untuk dipekerjakan dirinya. Namun, sejatinya proses pertanggungjawaban secara pidana oleh Ahmad Dhani terhadap kelalaian yang menimpa anaknya tetap harus mengikutinya sebagai wujud pelaksanaan iktikad hukum warga negara yang berdiri sama di depan hukum. Sebenarnya jika kepolisian konsekuen menerapkan hukum yang berlaku, di sinilah ruang pembelajaran dan kesetaraan hukum dapat diperlihatkan.

Hanya saja, preseden hukum kita belum menunjukkan itu. Banyak kasus yang melibatkan pejabat, keluarga pejabat, atau (keluarga) orang terkenal sering kandas dan tenggelam ditelan waktu. Alibi yang sering dipergunakan kepolisian bahwa antara pihak korban dan pelaku sudah tercipta mediasi pencapaian kesepakatan untuk berdamai termasuk menyelesaikan pemberian kompensasi material. Padahal di negara hukum seperti Indonesia implikasi dari proses hukum atas sebuah pelanggaran/kejahatan pidana harus tetap diperhatikan aparat hukum, sebagai bagian dari instrumen dalam menegakkan ketertiban dan ketaatasasan hukum yang sama dan berlaku adil pada setiap warga negara tanpa memandang bulu.

Pelajaran penting

Kasus kecelakaan dengan pelaku di bawah umur ini memberikan pelajaran penting terutama bagi orangtua. Apalagi menurut Hurt Report, sebuah penelitian di Department of Transportation di Amerika yang dikerjakan Profesor Harry Hurt dari University of Southern California Traffic Safety Center, menyebutkan bahwa anak berusia muda/di bawah umur rentan mengalami kecelakaan di jalan raya. Pengendara motor pada usia 16-24 tahun lebih dominan menjadi korban kecelakaan atau pelaku kecelakaan lalu lintas, karena kesadaran akan keselamatan dan tanggung jawab terhadap kepentingan umum masih sangat rendah.

Orangtua sebagai tempat berseminya nilai, kesadaran, dan tanggung jawab positif harus menjadikan rumah/ keluarga sebagai wadah edukasi emosi dan mentalitas dan tanggung jawab terhadap anak sehingga pencapaian kebutuhan dan kepenuhan diri (self actualisation) mereka sebagai anak dapat berlangsung baik. Ini penting ditekankan karena menurut riset yang pernah dilakukan Universitas Airlangga 2003, pelanggaran pidana yang dilakukan anak-anak di Jawa Timur selain karena kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), juga karena pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan masyarakat yang buruk (68,87%), dan lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%) yang berpotensi mengarah pada habitus kekerasan oleh anak. Selain itu, derasnya perkembangan teknologi informasi yang menciptakan perubahan gaya hidup juga telah menstimulasi anak untuk berperilaku seturut sistem dan gaya hidup yang ditawarkan di dunia maya.

Bahkan muncul semacam persepsi yang mendarah daging dalam status sosial keluarga tempat anak itu tumbuh, bahwa memberikan sebuah kepercayaan termasuk memberikan kunci motor/mobil kepada anak, merupakan upaya orangtua/keluarga mendorong anaknya memperoleh penerimaan di lingkungan pergaulannya untuk membangun kepercayaan diri.

Pola pikir/didik orangtua yang salah ini telah menjerumuskan anak ke dunia pergaulan yang labil dan menyesatkan. Diperlukan dukungan orangtua dalam mengontrol serta latihan mental yang baik kepada anak. Sosialisasi kepolisian tentang tertib berlalu lintas bagi kalangan pelajar cuma omong kosong tanpa ada dukungan kesadaran dan pemahaman dari orangtua. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar