|
TABRAKAN maut di jalan Tol
Jagorawi (8/9) yang menewaskan enam orang masih menjadi trending topic di
sejumlah media sosial saat ini. Yang membuat tragedi ini disorot luas karena
pengemudi mobil penyebab kecelakaan tersebut ialah AQJ, 13, yang juga merupakan
anak bungsu musikus Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Kini warga pun menunggu
bagaimana kelanjutan perkara tersebut, apakah AQJ yang harus bertanggung jawab
penuh, ataukah orangtuanya juga pantas untuk diganjar.
Dalam peraturan lalu lintas di Indonesia yang tertuang
dalam Undang-Undang (UU) Lalu Lintas No 22 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1,
disebutkan, `Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan ber motor yang dikemudikan'. Padahal,
berdasarkan Pasal 81 ayat 1 dan 2, untuk mendapatkan SIM, setiap orang harus
memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Dari sisi
usia, untuk SIM A, C, dan D, minimal pemilik SIM harus berusia 17 tahun. Adapun
B1 minimal 20 tahun dan B2 minimal 21 tahun. Dari rumusan hukum tersebut, AQJ
telah terbukti melanggar hukum pidana dengan ganjaran empat bulan kurungan.
Selain itu, faktor kelalaian yang telah mengakibatkan korban tewas, sesuai UU
Lalu Lintas Pasal 310, dihukum enam tahun kurungan dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000.
Apakah dalam kasus ini, AQJ bisa dikenai sanksi dimaksud,
mengingat Pasal 32 (2) UU Sistem Peradilan Anak pun mengatur penahanan terhadap
anak hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. anak telah berumur 14 (empat
belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak b pidana dengan ancaman
pip dana penjara 7 (tujuh) tahun. Kontradiktoris sanksi inilah yang masih
mengundang perdebatan dalam proses hukum selanjutnya atas AQJ. Kalaupun AQJ
nanti dijerat sanksi hukum kurungan, berdasarkan UU Perlindungan Anak, harus dalam
konteks pendidikan dan penjeraan.
Bagaimana
orangtua?
Dalam asas hukum pidana yang berlaku di negara kita, ada
dua sistem konvensional sanksi yang dipergunakan yakni sanksi pidana (straft, punishment) yang menimbulkan
efek sakit/penderitaan dan pemberian tata tertib (maatregel, treatment) dengan tujuan untuk memberikan pendidikan dan
pembelajaran hukum bagi anak. Dua sanksi tersebut untuk golongan anak memang
tidak bersifat kausalismepunitif, namun paling tidak pengenaan sanksi tersebut
bisa memberikan impresi hukum dan keadilan, agar kasus-kasus serupa yang
merugikan pihak lain tersebut tidak terulang lagi di kemudian hari.
Jika mengacu pada teori kausalitas, Ahmad Dhani dianggap
perlu juga dimintai pertanggungjawabannya secara hukum menurut UU Pidana dan UU
Lalu Lintas karena dengan lalai memberikan izin kepada AQJ yang baru berusia 13
tahun untuk mengendarai mobil. Padahal anak di bawah umur kurang mampu
mengontrol emosi diri. Itu sebabnya surat izin mengemudi (SIM) hanya bisa
diperoleh setelah berusia 17 tahun ke atas.
Secara perdata, kita menaruh respek dengan kesiapan Ahmad
Dhani untuk menanggung biaya pendidikan anak-anak korban sampai tingkat yang
mereka mau, dan bersedia pula untuk menampung para keluarga korban untuk
dipekerjakan dirinya. Namun, sejatinya proses pertanggungjawaban secara pidana
oleh Ahmad Dhani terhadap kelalaian yang menimpa anaknya tetap harus
mengikutinya sebagai wujud pelaksanaan iktikad hukum warga negara yang berdiri
sama di depan hukum. Sebenarnya jika kepolisian konsekuen menerapkan hukum yang
berlaku, di sinilah ruang pembelajaran dan kesetaraan hukum dapat
diperlihatkan.
Hanya saja, preseden hukum kita belum menunjukkan itu. Banyak
kasus yang melibatkan pejabat, keluarga pejabat, atau (keluarga) orang terkenal
sering kandas dan tenggelam ditelan waktu. Alibi yang sering dipergunakan
kepolisian bahwa antara pihak korban dan pelaku sudah tercipta mediasi
pencapaian kesepakatan untuk berdamai termasuk menyelesaikan pemberian
kompensasi material. Padahal di negara hukum seperti Indonesia implikasi dari
proses hukum atas sebuah pelanggaran/kejahatan pidana harus tetap diperhatikan
aparat hukum, sebagai bagian dari instrumen dalam menegakkan ketertiban dan
ketaatasasan hukum yang sama dan berlaku adil pada setiap warga negara tanpa
memandang bulu.
Pelajaran penting
Kasus kecelakaan dengan pelaku di bawah umur ini memberikan
pelajaran penting terutama bagi orangtua. Apalagi menurut Hurt Report, sebuah
penelitian di Department of
Transportation di Amerika yang dikerjakan Profesor Harry Hurt dari University of Southern California Traffic
Safety Center, menyebutkan bahwa anak berusia muda/di bawah umur rentan
mengalami kecelakaan di jalan raya. Pengendara motor pada usia 16-24 tahun
lebih dominan menjadi korban kecelakaan atau pelaku kecelakaan lalu lintas,
karena kesadaran akan keselamatan dan tanggung jawab terhadap kepentingan umum
masih sangat rendah.
Orangtua sebagai tempat berseminya nilai, kesadaran, dan
tanggung jawab positif harus menjadikan rumah/ keluarga sebagai wadah edukasi
emosi dan mentalitas dan tanggung jawab terhadap anak sehingga pencapaian
kebutuhan dan kepenuhan diri (self
actualisation) mereka sebagai anak dapat berlangsung baik. Ini penting
ditekankan karena menurut riset yang pernah dilakukan Universitas Airlangga
2003, pelanggaran pidana yang dilakukan anak-anak di Jawa Timur selain karena
kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), juga karena pendidikan rendah
(72,76%), lingkungan pergaulan masyarakat yang buruk (68,87%), dan lingkungan
keluarga yang tidak harmonis (66,15%) yang berpotensi mengarah pada habitus
kekerasan oleh anak. Selain itu, derasnya perkembangan teknologi informasi yang
menciptakan perubahan gaya hidup juga telah menstimulasi anak untuk berperilaku
seturut sistem dan gaya hidup yang ditawarkan di dunia maya.
Bahkan muncul semacam persepsi yang mendarah daging dalam
status sosial keluarga tempat anak itu tumbuh, bahwa memberikan sebuah
kepercayaan termasuk memberikan kunci motor/mobil kepada anak, merupakan upaya
orangtua/keluarga mendorong anaknya memperoleh penerimaan di lingkungan
pergaulannya untuk membangun kepercayaan diri.
Pola pikir/didik orangtua yang salah ini telah
menjerumuskan anak ke dunia pergaulan yang labil dan menyesatkan. Diperlukan
dukungan orangtua dalam mengontrol serta latihan mental yang baik kepada anak.
Sosialisasi kepolisian tentang tertib berlalu lintas bagi kalangan pelajar cuma
omong kosong tanpa ada dukungan kesadaran dan pemahaman dari orangtua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar