Jumat, 27 September 2013

Peluang Calon Presiden Partai Islam

Peluang Calon Presiden Partai Islam
Arfanda Siregar  ;   Dosen Politeknik Negeri Medan
TEMPO.CO, 26 September 2013


Tak satu pun tokoh partai Islam dapat menyaingi tokoh partai nasionalis seandainya pemilihan presiden Indonesia dilakukan sekarang. Demikian kesimpulan beberapa lembaga survei yang intens meneliti tentang elektabilitas bakal calon presiden. 

Sederet nama tokoh dari partai nasionalis, seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie, terus berkibar dan menenggelamkan elektabilitas tokoh Islam, seperti Hidayat Nur Wahid, Suryadharma Ali, dan Yusril Ihza Mahendra. 

Ibarat tamu, calon presiden dari partai Islam tak mendapat simpati dari penghuni rumah, terasing di tengah mayoritas umat Islam di negeri ini. Masih berpeluangkah capres partai Islam menyaingi capres partai nasionalis pada pemilihan presiden 2014?

Sejarah mengajarkan bahwa, selama partai Islam hanya membebek tokoh nasionalis, partai Islam terus menjadi pecundang di belantika perpolitikan nasional. Selama politikus Islam tak pernah berani tampil dan mengelola politik dengan kekuatan politik yang mandiri, konsisten, serta serius memperjuangkan cita-cita ideologi dan keyakinannya, lebih suka menjadikan kader partai nasionalis sebagai "patron" mereka, maka kontestasi perpolitikan nasional bakal terus dikuasai tokoh nasionalis. 

Kita masih ingat ketika pemilihan presiden 2009 lalu, tak satu pun tokoh partai Islam dilirik oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal, sedari awal, partai Islam mendukung pencalonan SBY sebagai presiden. PKS, PAN, PKB, dan PPP termasuk berkeringat jagung mendukung SBY meraih tiket pilpres, serta berkomitmen menjadi teman seiring sejalan di parlemen guna mem-backup kebijakannya jika kelak terpilih. Jelas, pada pilpres 2009, partai Islam all out mendukung putra Pacitan tersebut merebut tampuk pemimpin nasional.

Namun, ketika hari penetapan calon wakil presiden tiba, tak satu pun tokoh partai Islam dipinang SBY menjadi pendampingnya. SBY lebih percaya kepada Boediono, yang sama sekali tak berbasis partai politik (parpol). SBY memandang sebelah mata terhadap keberadaan kader partai Islam, dan memilih seorang akademisi yang sama sekali tak punya kekuatan di parlemen.

Segunung harapan dari kader partai Islam agar dipilih menjadi calon wakil presiden hanya angan-angan, bagai pungguk merindukan bulan. Sederet kader partai Islam, seperti Hidayat Nur Wahid, Hatta Rajasa, Suryadharma Ali, dan Muhaimin Iskandar, gigit jari seiring penetapan Boediono menjadi calon wakil presiden (cawapres). Ini realitas yang sangat menyakitkan bagi partai Islam.

Padahal kekuatan partai Islam saat itu bukan remeh temeh. Bayangkan, gabungan dari keempat partai Islam tersebut, yaitu PAN 6,0 persen, PPP 5,3 persen, PKB 4,9 persen, dan PKS 7,9 persen, telah melampaui perolehan suara Partai Demokrat yang hanya 20,4 persen. Seharusnya, dengan kekuatan konstituen basis Islam yang lebih besar dari dukungan Demokrat, tokoh yang berasal dari partai Islam-lah yang berhak mendampingi SBY, bukan seorang akademisi yang sama sekali tak punya basis suara konstituen.

Pemilu 1999 bisa menjadi pelajaran bahwa kekuatan partai Islam bisa sukses menyaingi partai nasionalis jika seluruh elemen partai Islam rela bersatu memajukan tokoh internal mereka. Meskipun saat itu PDI Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 1999, dalam pemilihan presiden partai ini gagal total menaikkan Megawati ke kursi presiden. Pembentukan Koalisi Partai Islam yang bernama Poros Tengah yang digagas Amien Rais mampu menaikkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia. 

Rekonsolidasi kekuatan Islam dengan memunculkan satu capres sejak sekarang tak salah dilakukan lagi, jika partai Islam berkeinginan menyaingi kader partai nasionalis pada pilpres 2014. Mulai sekarang, partai-partai Islam berkoalisi mencari capres dan cawapres alternatif yang dapat mengangkat harkat dan martabat politik Islam. 

Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa bulan yang lalu pernah memberikan kontribusi positif diskursus kandidasi presiden 2014 mendatang. LSI melakukan survei tentang elektabilitas kandidat presiden menggunakan kualitas calon sebagai indikator, yaitu bisa dipercaya, tidak pernah melakukan KKN, tidak pernah melakukan tindak kriminal, mampu memerintah dan mampu berdiri di atas semua kelompok, dan hasilnya menempatkan Mahfud Md. di tempat pertama (79). Sedangkan di tempat kedua adalah Jusuf Kalla (77), kemudian Dahlan Iskan (76), Sri Mulyani (72), Hidayat Nur Wahid (71), Agus Martowardojo (68), Megawati Soekarnoputri (68), Djoko Suyanto (67), Gita Wiryawan (66), Chairul Tanjung (66), dan lainnya.

Ternyata dua nama hasil penelitian tersebut, yaitu Mahfud Md. dan Hidayat Nur Wahid, berasal dari partai Islam. Yang menjadi persoalan besar yang harus dibereskan partai Islam untuk menaikkan elektabilitas kadernya justru berasal dari kalangan internal partai itu sendiri. Sering kali ketokohan partai Islam justru dihancurkan oleh pandangan sempit partai dalam menginternalisasi ideologi yang dianut. 

Pertama, rehabilitasi wawasan keislaman partai. Kegagalan tokoh partai Islam mendapatkan simpatisan adalah eksklusivitas isu yang dibawa, seperti penegakan syariah Islam, kewajiban berjilbab, dan lain sebagainya. Di tengah pluralitas bangsa Indonesia, tokoh partai Islam harus mampu membahasakan Islam yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan membumi. 

Partai Islam bisa melihat pengalaman Partai AKP di Turki, yang sekarang sudah mengalami proses transisi menjadi partai yang post-Islamist. Partai AKP di Turki itu tetap mendukung prinsip agama Islam, tapi tidak lagi berusaha menerapkan yang disebut sebagai aspek syariah dengan paksaan. Mereka mengakui bahwa itu bukan merupakan pendekatan yang paling baik. 

Kedua, rekonstruksi gaya kepemimpinan elite partai Islam. Ada kecenderungan gaya pemimpin di partai Islam hanya dikuasai segelintir elite partai. Keputusan strategis, seperti penentuan capres dan pimpinan partai, mutlak ditentukan oleh dewan syuro atau pimpinan partai. 

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, keberadaan capres dari partai Islam dalam kontestasi politik nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Justru yang membuat peluang capres Islam tersuruk ke bawah adalah ketidaksiapan dari masing-masing partai merelakan kader dari partai Islam lain didukung dengan maksimal. Bukankah kitab suci umat Islam mengatakan bahwa di atas persatuan umat Islam, rahmat Allah SWT akan lahir? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar